Tak seperti wayang-wayang pada umumnya yang ada di Indonesia, wayang suket termasuk jenis wayang yang belum terlalu dikenal luas oleh masyarakat. Tapi, berkat kegigihan pencetus sekaligus dalang yang mempopulerkan jenis wayang ini yakni Slamet Gundono, wayang suket mulai mendapat tempat di hati masyarakat. Disamping bentuk wayang yang tak seperti bentuk wayang pada umumnya, dan juga medium yang lumayan antik yaitu dengan menggunakan bahan rumput (suket dalam bahasa Jawa) untuk bentuk tiruan dari berbagai figur wayang kulit, ide cerita yang diangkat pun lebih segar dengan unsur kekinian, seperti misalnya tentang dunia politik yang sedang menghangat, cerita-cerita keseharian, dan sebagainya.
Oleh karenanya, tak seperti wayang lainnya, untuk pementasan wayang suket ini sendiri tak memerlukan tempat yang luas, pun dengan figur wayang yang tak terlalu banyak, dan juga nayaga untuk mengiringi pementasan dari wayang suket ini adakalanya sangat sedikit dengan tetabuhan yang apa adanya. Durasi pementasannya pun sangat fleksibel, pernah hanya 15 menit, pernah satu jam, pernah juga tiga jam. Meskipun begitu, jangan berpikir bahwa dengan segala keterbatasannya ini pementasan wayang suket ini menjadi sama sekali tidak menarik. Justru disinilah nikmatnya menyaksikan pementasan wayang suket dengan Slamet Gundono sebagai dalangnya. Segala keterbatasan itu menjadikan antara sang dalang dengan penonton nyaris tak ada jarak, bebas berimajinasi, dan bahkan antar keduanya kadang bisa saling berinteraksi satu sama lain.
BACA JUGA:
Slamet Gundono, ya inilah nama yang tak akan pernah bisa dipisahkan dengan pentas wayang suket, disamping karena konon beliau adalah ayah sekaligus ibu yang melahirkan ide wayang suket. Pria bertubuh tambun dengan bobot sekitar 350 kg, kelahiran Slawi, Tegal 19 Juni 1966 ini menemukan ide pementasan wayang suket sejak tahun 1997 lalu. Meski kedua orang tuanya adalah petani tulen, darah seni mengalir kental dalam nadinya. Pria bernama asli Gundono ini sejak kecil memang begitu menggilai pertunjukan wayang kulit, meski ia sendiri mengaku tak suka dengan kehidupan sebagai pendalang karena seperti yang ia kerap saksikan bahwa profesi dalang begitu dekat dengan minuman keras dan perempuan. Mungkin itulah sebabnya, setamat SD ia lebih memilih untuk melanjutkan sekolah ke tsanawiyah dan tinggal di pondok pesantren sebagai santri. Tapi, meskipun tinggal dalam suasana pesantren dan sibuk mengkaji berbagai kitab, rasa cintanya terhadap wayang sama sekali tak bisa dimatikan. Semakin ia mencoba melupakan wayang, kerinduannya pada dunia itu malah semakin membuncah.
Ia akhirnya menyerah dan memutuskan untuk mengikuti panggilan jiwanya. Selepas tamat Aliyah, Slamet memutuskan untuk masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta dan mengambil Jurusan Seni Pedalangan. Setamat dari kuliah, kemudian Slamet Gundono pun mulai aktif dan dikenal sebagai dalang wayang kulit. Tapi, entah karena sebab apa, ketika profesi sebagai dalang wayang kulit mulai dikenal masyarakat dan tawaran pementasan mulai ramai, tiba-tiba Slamet berbalik arah dan banting stir menjadi dalang wayang suket, satu jenis wayang yang pada masa itu biasanya hanyalah sekedar hiburan ringan dari sang kakek pada cucunya di pematang disela-sela menggarap ladang dan sawah.
BACA JUGA:
Keputusannya untuk menggauli wayang suket ini pada awalnya memang banyak dicibir dan diolok-olok, baik oleh teman sesama seniman maupun masyarakat umum. Tapi, berkat kegigihannya untuk mempopulerkan wayang suket dan juga ide-ide orisinil yang beliau pentaskan, wayang suket pun mulai banyak disukai masyarakat dan bahkan kini mulai sering berpentas hingga ke luar negeri. Slamet Gundono sendiri setelah kini sadar bahwa wayang suket mulai diminati berbagai kalangan, sedikit heran juga dengan pencapaian itu, karena pada mulanya beliau sendiri mengaku pertama kali mementaskan wayang suket adalah karena keterpaksaan. Waktu itu ketika Slamet berada di Riau, beliau diminta untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit. Tapi, setelah mencari wayang kulit kesana-kemari tak juga ketemu, memori bawah sadarnya mulai berjalan. Ia teringat dengan kehidupan masa kecilnya yang kerap melihat kakeknya menganyam bagian batang jenis rumput menyerupai model wayang untuk mengisi waktu istirahatnya. Pada saat itulah kemudian tercetus ide untuk mementaskan wayang dengan medium suket atau rumput itu. pada waktu itu adalah tahun 1997, ketika Slamet untuk kali pertama mementaskan pertunjukan wayang suket ala kadarnya dengan lakon “Kelingan Lamun Kelangan”. Itulah pertunjukkan wayang suket pertamanya. Bekal pengalaman pertama dari Riau itu ia bawa pulang ke tanah Jawa. Slamet Gundono mengumpulkan beberapa teman dan membentuk komunitas wayang suket yang kemudian ia pakai sebagai nama Padepokan Komunitas Wayang Suket, di Ngringo, Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah.
Pementasan wayang suket Slamet Gundono
Dari pengalaman beberapa tahun memopulerkan wayang suket, Slamet menandai orang-orang yang mengundang wayang suket tidak sekadar nanggap. Ia menangkap romantisme kuat pada mereka, yakni romantisme masyarakat agraris. Itu ada di ruang bawah sadar orang-orang kota. Tak hanya orang-orang asal Jawa yang antusias. Penonton di Berlin, Jerman, pun memberikan antusiasme serupa. Begitu terkesannya pada pertunjukan Slamet Gundono, beberapa penonton mengundangnya makan malam seusai pentas.
Selain lakon masternya, “Kelingan Lamun Kelangan”, ada lakon-lakon lain yang digarap Slamet Gundono, antara lain; “Sukesi atau Rahwana Lahir”, “Limbuk Ingin Merdeka”, dan “Bibir Merah Banowati” tergantung segmen dan keinginan pasar. Di tangan Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi tontonan yang enak, segar, dan penuh tuntunan. Ia berpijak pada seni tradisi dalam mengupas persoalan pada masa kekinian.