Seperti yang kita tahu bersama bahwa seni budaya wayang di Nusantara ini begitu banyak variannya dari mulai wayang kulit, wayang beber, wayang thithi, wayang suket, wayang golek, wayang potehi hingga wayang orang. Dari sekian banyak varian wayang ini Arsip Budaya Nusantara akan mencoba sedikit membahas tentang satu jenis wayang yang berasal dari tatar Pasundan. Wayang golek, begitu seni budaya ini lebih dikenal. Sebenarnya wayang golek pun terbagi dalam dua sub genre yakni wayang golek cepak yang berkembang di daerah pesisir Cirebon dan wayang golek purwa yang lazim berpentas di daerah Pasundan.
Nah, konon karena wayang golek cepak yang berkembang di wilayah Cirebon merupakan sempalan dari wayang golek purwa maka berbeda dengan wayang golek cepak, pakem penceritaan yang biasa dipentaskan dalam wayang golek purwa ini lebih saklek dengan merujuk pada pakem wayang pada umumnya, seperti sumber penceritaan wayang yang berasal dari dua kisah epik yakni Mahabharata dan Ramayana, dibagi dalam beberapa babak pertunukan, dan sebagainya.
Jika kita kembali ke belakang, merujuk pada beberapa hasil penelitian para ahli, konon wayang golek ini sudah ada sejak masa animisme dan dinamisme (sekitar 1500 tahun SM). Pada mulanya, beberapa ahli wayang menyatakan bahwa seni pertunujukan wayang berasal dari India, karena merujuk pada sumber cerita wayang sendiri yang diambil dari dua epik terkenal asal India yakni Mahabharata dan Ramayana. Tapi, setelah dilakukan penelitian lebih jauh, para ahli kemudian berkesimpulan bahwa wayang adalah kreasi asli orang Indonesia, karena tidak ada pertunjukan yang sama ditemukan dalam budaya lain.
Pada awalnya, pertunjukan wayang adalah sebuah pertunjukan suci untuk keperluan upacara dan ritual-ritual keagamaan. Hanya saja dalam perkembangannya kemudian pertunjukan wayang ini lambat laun menjadi multi fungsi, dalam artian pertunjukan wayang tidak lagi hanya dipentaskan pada acara-acara sakral saja tapi juga dapat dipetaskan pada acara-acara biasa seperti halnya seni budaya lainnya seperti untuk memeriahkan hajatan perkawinan, khitanan, peresmian gedung, dan sebaginya, meski memang peran pertunjukan wayang masih juga tak tergantikan pada beberapa acara yang sakral dan bersifat sepirituil seperti pada upacara ruwatan, mengusir roh jahat, mapag sri, bongkar bumi dan sebagainya.
Mengenai pertunjukan suci yang kerap melibatkan pertunjukan wayang sebagai medium berinteraksi dengan dunia lain (dunia roh) ini terkait dengan kultur budaya di nusantara yang memang sejak dahulu kala agama atau kepercayaan di nusantara ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, tidaklah mengherankan apabila pada awalnya, wayang diciptakan sebagai pertunjukan arwah nenek moyang. Bahkan pada masa kini pun, banyak orang yang masih percaya akan keberadaan arwah nenek moyang dalam benda-benda tertentu, yang dianggap mempunyai kekuatan supranatural. Benda-benda tersebut, yang pada umumnya disebut jimat, terdiri dari keris, cincin, kalung, atau benda-benda sakti lainnya. Dalam usahanya untuk menghindarkan bahaya yang dibawa oleh arwah yang jahat, rakyat percaya bahwa mereka dapat mengandalkan pertolongan dari arwah nenek moyang dengan mengundang mereka dan memberikan tempat khusus, yang disebut unduk, sebuah boneka yang dibuat dari batang padi. Orang yang mempunyai keahlian mengundang arwah nenek moyang, disebut dukun. Sebenarnya, boneka inilah asal usul wayang. Beberapa orang ahli menyatakan bahwa kata wayang berasal dari wa (wadah) yang berarti tempat dan yang atau hyang, yang berarti dewa. ( Okke K.S. Zaimar dalam tesisnya yang berjudul Wayang Golek)
Konon menurut beberapa babad yang saya baca, kesenian wayang golek yang kita kenal sekarang ini adalah satu seni budaya yang umurnya jauh lebih muda dari wayang kulit. Wayang golek ini lahir karena didesak oleh kebutuhan tertentu mengingat kala itu mementaskan wayang kulit di siang hari merupakan kebiasaan yang tak lazim. Wayang kulit yang pada ketika kali pertama ada hanya dapat dipentaskan pada malam hari dengan memakai cahaya blencong (sejenis penerangan khusus yang menggunakan minyak tanah). Nah, untuk memfasilitasi kebutuhan pertunjukan wayang di siang hari inilah kemudian tercipta seni budaya wayang yang memakai medium wayang tiga dimensi berbentuk golek (boneka) yang dapat dipentaskan pada siang hari.
Kemudian masuklah Islam ke nusantara, dan seperti halnya kesenian tradisional lainnya, oleh para wali kesenian wayang golek pun dijadikan sebagai alat penyebaran dan pengenalan agama islam dengan pendekatan budaya. Dan karena, dalam syariat Islam tak diperbolehkan memuat segala sesuatu yang menyerupai bentuk dan sosok manusia, maka bentuk wayang golek yang semula bentuknya begitu mirip dengan manusia pun dirubah sedemikian rupa agar tak lagi menyerupai sosok manusia. Itulah sebabnya maka bentuk wayang berubah menjadi bentuk mahluk yang toh masih sangat mirip dengan manusia, meskipun segera tampak bahwa wayang itu bukan representasi manusia. Wajah dan tubuhnya dibuat sangat langsing, sedangkan tangannya tidak menampilkan proporsi yang baik dengan bagian tubuh yang lain. Sunan Kudus-lah wali pertama yang konon mementaskan pertunjukan wayang golek dengan bentuk baru ini.
Meski tak lagi berbentuk layaknya manusia, tokoh-tokoh yang diperankan oleh boneka ini tetap saja merupakan representasi dari tokoh-tokoh khusus dalam cerita-cerita epik yang dikisahkan. Tapi karena karakter boneka tak lagi bisa menggambarkan perasaan-perasaan maupun watak dari sang tokoh yang diperankannya, maka disinilah peran penting sang dalang. Sang dalang yang memainkan wayang pun dituntut untuk bisa menggambarkan perasaan tokoh yang terdapat dalam sebuah lakon disamping juga menjadi narrator yang menjembatani komunikasi satu arah antara tokoh dalam wayang dengan pera penonton. Perasaan para tokoh juga dapat diperlihatkan melalui lagu yang ditembangkan para pesinden (penyanyi) dan musik yang dimainkan para nayaga (pemain musik). Semuanya bersinergi satu sama lain untuk memunculkan karakter dan gambaran perasaan dari sebuah pertunjukan wayang yang dapat dimengerti dan menjadi sedemikian hidup di dalam benak penonton.