Home » , , , » Cerita Perempuan (Bundo Kanduang), Dalam Kaba Cindua Mato

Cerita Perempuan (Bundo Kanduang), Dalam Kaba Cindua Mato

Cerita Perempuan (Bundo Kanduang), Dalam Kaba Cindua Mato



Oleh : Edwar Jamaris (Pusat Bahasa Jakarta)

1. Pendahuluan
Kaba Cindua Mato (KCM) adalah karya sastra Minangkabau yang popular, terkenal dalam masyarakat Minangkabau. Sebagai karya sastra yang popular, KCM ini terdapat dalam naskah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden (van Ronkel, 1921) dan di Perpustakaan Nasional, Jakarta (Juynboll, 1899 dan Sutaarga, 1972) dan diterbitkan dalam beberapa edisi, di antaranya, edisi van der Toorn (1886), Gurun (1904), Saripado (1930), Madjoindo (1964), Endah (1967), Singgih (1972), dan Penghulu (1980); serta pernah digubah dalam bentuk naskah sandiwara oleh Moeis (1924), Penghulu (1955), dan Hadi (1977 dan dalam Esten, 1992).

KCM ini juga telah dibicarakan oleh para ahli, di antaranya oleh Abdullah (1970) berjudul, “Some Notes on the Kaba Cindua Mato: an Example of Minangkabau Traditional Literature”; Esten (1992) membicarakan KCM ini tentang tradisi dan modernitas dalam sandiwara Cindua Mato dalam hubungannya dengan mitos Minangkabau, dan Djamaris (1995) melakukan penelitian perbandingan kepahlawanan Hang Tuah dengan Cindua Mato.

Sesuai dengan judulnya, karya sastra ini tergolong kaba, cerita prosa berirama yang panjang. KCM ini tergolong sastra pahlawan, sastra epos, atau wiracerita, cerita yang mengisahkan perjuangan seorang tokoh cerita untuk mencapai tujuan yang terpuji, membela negeri atau kerajaan Minangkabau.

Dalam KCM ini yang menjadi tokoh pahlawan adalah Cindua Mato, seorang hamba, pembantu utama Kerajaan Pagaruyung, alam Minangkabau.

Kerajaan Pagaruyung yang diperintah oleh seorang ratu yang disebut Bundo Kanduang dan putra mahkotanya, putra Bundo Kanduang, yaitu Dang Tuanku.
Bundo Kanduang sebagai ratu, Dang Tuanku sebagai putra mahkota, dan Cindua Mato sebagai pembantu utama adalah tokoh sentral dalam KCM ini, tokoh yang banyak berperan dalam cerita.

KCM ini mengisahkan kebesaran dan keagungan Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Tema pokok, tujuan perjuangan Cindua Mato adalah mengagungkan Ratu Kerajaan Pagaruyung. Tokoh yang ditonjolkan adalah Bundo Kanduang sebagai ratu dan Dang Tuanku sebagai raja alam Minangkabau, sedangkan Cindua Mato merupakan tokoh yang berfungsi mengukuhkan kebesaran dan keagungan Ratu dan Raja Minangkabau dengan cara membasmi kezaliman dan menegakkan kebenaran. Tema KCM ini adalah Ratu dan Raja Minangkabau adalah Ratu dan Raja yang besar dan agung.

Kerajaan yang besar dan agung tidak mungkin dikalahkan dengan kebohongan dan tipu daya. Raja yang zalim akan celaka, kejahatan akan dibalas dengan kejahatan, tipu daya dibalas dengan tipu daya. Amanat cerita ini adalah, jangan suka menodai, membohongi, dan menipu raja yang baik. Tokoh perempuan, Bundo Kanduang, sangat menonjol dalam KCM ini. Sebagaimana sudah umum diketahui dalam masyarakat Minangkabau, perempuan sangat dihargai dan dimuliakan. Perempuan disebut dengan istilah Bundo Kanduang dan laki-laki disebut niniak mamak. Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau adalah garis keturunan matrilineal, garis keturunan berdasarkan garis ibu. Harta pusaka, seperti rumah, sawah ladang diwariskan kepada kemenakan perempuan.

Dalam KCM ini, kita akan mengetahui bagaimana citra perempuan, apakah sesuai dengan kedudukannya dalam adat Minangkabau itu yang sangat dimuliakan. Berikut ini akan dibicarakan citra perempuan (Bundo Kanduang) dalam KCM ini.2) Citra Perempuan (Bundo Kanduang) dalam KCM, Bundo Kanduang diceritakan adalah ratu Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau, ratu yang besar dan agung. Keagungannya diketahui dari awal cerita. Ia menjadi raja dengan sendirinya sama terjadinya dengan alam Minangkabau. Karena ia bukan manusia biasa, tidak diceritakan bagaimana asal-usulnya, siapa ayahnya dan siapa ibunya.

Kebesarannya sama, bahkan lebih dari Raja Rum dan Raja Cina. Dia seketurunan dengan Raja Rum dan Raja Cina itu. Raja Rum dan Raja Cina pernah melamarnya. Lamaran itu disetujui, tetapi sebelum perkawinan dilaksanakan, raja-raja besar itu sudah meninggal karena tidak dapat mengimbangi kesaktian dan kebesaran Bundo Kanduang (Panghulu, 1980:161). Keagungannya juga terungkap melalui perlengkapan istana yang dimilikinya antara lain mahkota Kulah Kamar, kain Sang Seto Sigundam-Gundam, keris Curik si Mundam Giri (Panghulu, 1980:129).

Ia orang yang sakti. Ia mengalami hal-hal yang bersifat supernatural. Ia tidak mempunyai suami, tetapi ia hamil setelah diberi tahu oleh seorang Wali Allah melalui mimpi bahwa ia sedang mengandung seorang anak yang kelak menjadi raja Minangkabau. Ia disuruh minum air kelapa nyiur gading yang sakti. Setelah meminum air kelapa gading itu ia hamil dan kemudian lahirlah anaknya Sutan Rumandung yang bergelar Dang Tuanku, yang kelak menjadi Raja Alam Minangkabau, Daulat yang Dipertuan.

Bundo Kanduang diceritakan sebagai tokoh yang pintar, cerdas, arif bijaksana. Sebagai orang yang cerdas dan pintar, ia mengajar anaknya Dang Tuanku dan mengajari Cindua Mato dalam segala hal, antara lain, tentang adat istiadat, sopan santun dalam masyarakat, dan cara-cara memerintah (Panghulu, 1980: 131, 161-162).

Sebagai orang yang demokratis,, arif, dan bijaksana, ia tidak memutuskan sendiri segala masalah. Ia mengatur dan memberi tugas orang sesuai dengan jabatan dan keahliannya. Dalam pemerintahan ia dibantu oleh beberapa lembaga yang menjadi sarana kelengkapan pemerintahan yaitu lembaga Rajo Duo Selo (Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat (agama) di Sumpu Kuduih) dan Lembaga Basa Ampek Balai (Dewan Empat Menteri) yaitu Bandaharo di Sungai Tarab, Tuan Kadi di Padang Gantiang, Makhudum di Sumanik, Indomo di Saruaso (Panghulu, 1980:131).

Pengambilan keputusan tidak dilakukannya sendiri, tetapi selalu dibawanya bermusyawarah. Ia selalu berunding dengan pembantu-pembantunya. Keputusan yang telah diambil dalam musyawarah diikutinya walaupun bertentangan dengan keinginannya. Kebijaksanaan Bundo Kanduang terungkap ketika dalam sidang bersama dengan Basa Empek Balai, masalah Cindua Mato yang membawa Puti Bungsu dari negeri Sikalawi ke Pagaruyung diserahkan keputusannya kepada Bundo Kanduang, ia menolak secara bijaksana sebagai berikut.

“Manjawab Dang Tuanku, “Ampun sayo Bundo Kanduang-kicuah-kicang bunyi salahnyo-putuihkan malah hukum nangko.”

Manitah pulo Bundo Kanduang, “Indak denai mamagang adat-indak denai mamagang limbago-hukum syarak jauah sakali-adat pagangan Bandaharo-syarak pagangan Tuan Kadi-bicaro pulang kepadonyo-ikolah samo bahadapan.” (Panghulu, 1980:245).

Terjemahannya :
‘Menjawab Dang Tuanku, “Maafkan saya Bundo Kanduang-tipu muslihat macam salahnya-putuskanlah hukuman ini.”

Menitah pula Bundo Kanduang, “Bukan saya ahli adat-bukan saya ahli lembaga-hukum agama jauh sekali-adat dikuasai Bandaharo-syarak dikuasai Tuan Kadi-keputusan dikembalikan kepadanya-sekarang sudah berhadapan.”

Sebagai seorang ratu yang arif bijaksana, ia secara diplomatis memberi petunjuk kepada Basa Ampek Balai bagaimana cara menyambut kedatangan Imbang Jayo, raja Sungai Ngiang, yang sangat marah menuntut Cindua Mato yang telah melarikan Puti Bungsu, sebagaimana terungkap pada kutipan berikut.

Baruari Bundo Kanduang-manitah ka Basa Ampek Balai, “Jikok datang Imbang Jayo-jan disonsong dengan karih-songsong jo siriah dangan pinang-sonsong jo jamba jo hidangan-lawan jo adaik jo limbago-lawan jo sudi jo siasaik-apo dijapuik diantakan-ingek-ingek tantang itu.” (Panghulu, 1980:262)

Terjemahannya
Adapun Bundo Kanduang-menitah kepada Dewan Empat menteri, “Jika datang Imbang Jayo-jangan disambut dengan keris-sambutlah dengan sirih dan pinang-sambut dengan makanan dan minuman-ajak dengan adat istri-adat-ajak dengan siasat-apa dijemput diantarkan-ingat-ingat tentang hal itu.”

Demikianlah kebesaran dan keagungan Bundo Kanduang. Dari uraian di atas dapat disimpulkan citra Bundo Kanduang sebagai pemimpin di Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau. Ia adalah Ratu Agung yang memiliki sifat-sifat luar biasa; ia seketurunan dengan raja besar di dunia, yaitu Raja Rum dan Raja Cina, ia memiliki benda-benda yang istimewa, seperti mahkota Kulak Kamar, Kain Sang Seto, dan keris Curak si Pundan Giri; ia adalah seorang yang sakti setelah meminum air kelapa gading yang sakti. Ia pintar, cerdas, arif bijaksana, dan demokratis.(Edwar Djamaris, dari Pusat Bahasa, Jakarta)