Kata Potehi berasal dari kata Poo berarti kain, Tay (kantong), Hie (wayang). Secara lengkap istilah Po Te Hi memiliki arti wayang kantong atau boneka kantong. Cara memainkan wayang ini adalah mirip dengan wayang golek yang berasal dari tatar Pasundan hanya saja bentuk wayang / boneka lebih kecil hingga cara memainkannya pun dengan memasukkan jari tangan ke dalam kantong kain dan menggerakkannya sesuai dengan jalannya cerita. Jumlah dalang yang terlibat dalam wayang potehi ini adalah dua orang yang masing-masing dalang memainkan dua boneka. Dari kedua dalang tersebut, satu orang adalah dalang inti, dan satu orang lagi asisten dalang. Masing-masing dalang memiliki perannya masing-masing. Dalang inti bertugas sebagai petutur jalannya cerita sedangkan asisten dalang adalah membantu sang dalang inti menampilkan tokoh-tokoh yang dilakonkan.
Berbeda dengan wayang biasa, jalan cerita ini biasanya bersifat serial dan tak habis dipentaskan dalam satu hari. Saking panjangnya jalan cerita yang dibawakan oleh sang dalang adakalanya satu cerita baru habis setelah 3 bulan. Umumnya, wayang ini digelar pada pukul 15.00 hingga 17.00 dan pukul 19.00 hingga 21.00. Lakon yang disampaikan pada masing-masing waktu berbeda. Misalnya, pada waktu siang digelar lakon Sie Bing Kwie (Kuda Wasiat), dan pada waktu malam lakon Ngoho Peng See (Lima Harimau Sakti).
Konon asal-usul wayang Potehi sendiri berasal dari kreatifitas 5 orang narapidana yang divonis mati pada masa dinasti Tsang Tian. Konon dari kelima narapidana yang sedang menunggu hukaman mati ini, ada satu orang yang begitu tabah dan mengusulkan kepada keempat temannya yang bersedih itu untuk tidak terlalu memikirkan kematian dan lebih baik menghibur diri sekaligus bersenang-senang. Usul tersebut disetujui oleh keempat kawannya dan mulai berkreatifitas membuat alat musik dari barang-barang yang ada. Misalnya tutup panci menjadi kecrek/gembreng, boneka dari sapu tangan. Mereka pun berhasil menciptakan sutu pertunjukan boneka dengan musik yang indah, yang mengisahkan kehebatan raja. Kehebatan tentang kelima narapidana yang memainkan wayang dari boneka kain ini kemudian didengar oleh sang raja hingga kemudian sang raja meminta mereka untuk mementaskan wayang tersebut di Istana. Karena kemudian sang raja merasa senang dengan pertunjukan itu akhirnya sang raja pun membebaskan mereka dari hukuman mati.
Lakon-lakon wayang Potehi yang sering dipentaskan adalah Sin Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, Poei Sie Giok, Loo Thong Sauw Pak. Lakon-lakon ini sebetulnya mirip dengan lakon kethoprak yang dikenal oleh masyarakat Jawa. Semisal, tokoh Lie Sie Bien adalah Prabu Lisan Puro, Sie Jin Kwie adalah Joko Sudiro, kerajaan Thai Toy Tong merupakan kerajaan Tanjung Anom, pangeran Thia Kauw Kiem adalah Pangeran Dono Wilopo, Jendral Ut Thi Kyong adalah Jendral Utoro.
Alat musik dari wayang ini sendiri biasanya adalah berupa gembreng besar (Toa Loo), rebab (Hian Na), kayu (Piak Ko), suling (Bien Siauw), gembreng kecil (Siauw Loo), gendang (Tong Ko), slompret (Thua Jwee). Ke-7 alat musik tersebut dimainkan oleh 3 orang pemain musik (satu orang memainkan 2 atau 3 alat musik). Wayang ini dimainkan dalam sebuah panggung (seperti panggung boneka). Di tempat yang agak luas, dibuat panggung lengkap dengan atap (seperti bedeng). Di sisi depan dibuatkan panggung kecil tempat boneka-boneka dimainkan. Dalang dan asisten dalang memainkan boneka sambil duduk. Mereka tidak perlu mengenakan pakaian khusus, seperti beskap (pakaian Jawa untuk laki-laki). Mereka boleh berkaos oblong atau bertelanjang dada. Tidak ada orang yang akan melihat mereka. Yang penting adalah cara mereka memainkan boneka hingga tampak hidup, dan suara.
Pertunjukan wayang potehi sendiri sebenarnya sebagai sarana ritual untuk memuja Dewa dan roh para leluhur. Maka dari itu pada dasarnya pergelaran wayang potehi ini sendiri tidak terlalu memusingkan adanya penonton atau tidak karena maksud digelarnya wayang ini memang dutujukan untuk menghibur roh leluhur dan Dewa-Dewa.