Tawur dalam masyarakat Dayak Ngaju merupakan sebuah laku spiritual yang dilakukan oleh pemimpin adat dalam bentuk permohonan kepada sang pencipta. Dan karena permohonan atau doa ini dengan harapan dapat terkabulkan maka bahasa yang digunakan dalam ritual ini pun harus dengan menggunakan bahasa yang baku dan yang diyakini memiliki kekuatan tertentu. Maka dari itu bahasa yang digunakan adalah sebuah bahasa Dayak kuno yakni bahasa Sangen yang diyakini masyarakat setempat sebagai bahasa kesanghyangan (bahasa langit). Dengan bahasa yang baku dan memiliki kesakralan tertentu itulah maka diharapkan akan ada pemaknaan yang sama antara sang pemohon dan sang termohon yakni Tuhan selaku pengabul doa.
Laku ritual tawur sendiri seperti makna etimologisnya yang berarti tabur atau menabur sesuatu maka pelaksanaannya pun tak jauh berbeda dengan makna etimologisnya yakni sebuah proses menabur sesuatu yang biasanya dengan media beras kuning yang dilakukan bersamaan dengan memanjatkan do’a yang dihajatkan manusia seperti meminta kesembuhan, keselamatan, syukur dan lain sebagainya. Namun, karena yang ingin saya bahas di sini hanya prosesi ritual Tawur Hasapa yakni sebuah media untuk mengukuhkan sumpah, maka tema ini akan saya persempit hanya untuk Tawur Hasapa saja.
Tawur Hasapa ini sendiri sebenarnya memiliki tujuan yang hampir sama dengan Sumpah Pocong di Pulau Jawa yaitu sumpah yang dilakukan di hadapan manusia dan Tuhan dalam hal kebenaran atas apa yang diingkari seseorang terhadap lainnya dan Sang Pencipta, hanya tentu dengan ritual dan prosesi yang berbeda. Dan karena Tawur Hasapa merupakan sebuah permohonan meminta keadilan (tepatnya petunjuk keadilan) terhadap dua orang atau lebih yang berseteru, maka seperti halnya prosesi tawur lain, Tawur Hasapa pun menggunakan bahasa baku dan tidak berubah-ubah, baik secara formasi maupun semantik. Karena konon apabila terjadi perubahan bahasa maka itu akan berpengaruh pada makna dan pemaknaannya yang berdampak kepada pengabulannya, sehingga ia tidak mempunyai kekuatan otoritas untuk menghakimi sesorang atau “memutuskan dan mengirimkan” sebuah vonis sosial maupun moral bagi yang melaksanakannya. Pendeknya, Tutur Hasapa adalah merupakan sebuah pengadilan adat yang digunakan pada orang-orang yang berperkara dan tidak menemui penyelesaian setelah melewati lembaga-lembaga yang dibuat manusia pada masa lalu.
Yang menarik dari upacara Tutur Hasapa ini sendiri adalah bahasa Sangen yang digunakan. Bahasa ini merupakan sebuah bahasa yang memiliki seperangkat kecerdasan linguistik yang hanya diwariskan secara lisan kepada para basir (pemimpin upacara adat). Bahasa ini sangat indah, penuh metaforis dan begitu berstruktur dalam pengucapannya. Sebagai contoh, untuk menyebut kata air diungkapkan sebagai nyalung kaharingan belum (zat alam yang memberikan kehidupan), hidup sebagai batang danum jalayan rengan tingang (sungai yang harus disusuri umur; kehidupan), dan surga sebagai lewu tatau habaras bulau habusung hintan hakarangan lamiang (sebuah tempat yang kaya raya berpasirkan emas bergundukan intan dan berkerikilkan permata) dan lewu tatau dia rumpang tulang rundung raja dia kamalesu uhat hong batang danum tiawu bulau (sebuah tempat yang kaya raya, tempat di mana tidak ditemui keletihan dan kecapaian,di dunia yang lain yang penuh kegelimangan), Tuhan dilambangkan sebagai Raja Tuntung Matanandau, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan (Raja yang Menguasai (atau berkuasa atas) Matahari, Raja yang Menguasai (atau Melebihi) kebesaran Bulan.
Tawur Hasapa yang dulu pernah digunakan oleh Tjilik Riwut mewakili 142 Suku Dayak Pedalaman Kalimantan di hadapan Presiden Soekarno di Jogjakarta dalam bersumpah-setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (1993:349) ini mempunyai urut-urutan ritual seperti yang tertuang dalam sebuah buku yang berjudul Worterbuch derPriestersprache der Ngaju Dayak, sebuah kamus bahasa Sangiang-Dayak Ngaju Indonesia-Jerman (1987) karya Baier dkk; (Seorang basir/pemimpin upacara adat duduk sambil menimang beras kuning dan kemenyan, kunir, rotan, abu, garam, dan minyak kelapa. Lalu kedua pihak yang berperkara saling memegang seutas rotan di atas sebuah kayu sebagai alasnya dan setelah mengukuhkan sumpah berikut ia sambil memotong rotan diiringi kalimat-kalimat penyebutan nama-nama yang berperkara dan penaburan beras sedikit demi sedikit sampai habis dan diikuti dengan menabur abu dan garam) (Berdehem)….. "Ehem behas/mamparinjetku ganam/salumpuk kilau riak hendan bulau/namparuguhku labatam/pananterusan ruwan lantin rabia/lampang kamaitan gulung manarusan langit/timbuk kajayam/basikap mametas hawun/manuntung riwut raweiku/ manambing salatan tisuiku/mangat manyembang Raja Tuntung Matanandau/Kanaruhan Tambing Kabanteran Bulan/mangat Ie mahining/bulau tampak bengkele/manyantuh rantunan tanduke/manahingan rawei/hayak manantuneng/batantar sumpah tingang. Amun……(menyebut nama si yang berperkara) toh hangga auh tanjaru dia toto/ tatarawang kilau kawu/lenyoh kilau uyah/bageto kilau uei. Amun ie hanggap auh toto/te taloh jari bulau/untung panjang/rabia nyame ambu jari sapaungut belum/sapaling tahaseng/jari penyang/panundung tarung/patarung sariangkat tinting."
Yang terjemahan bebas artinya kurang lebih sebagai berikut. "Ehem, beras kubangunkan rohmu/rohmu seperti riak cahaya emas/kugoncangkan rohmu/arwah bercahaya seperti kuning emas/timbul kemanjuran bergulung menerusan langit/menimbun kejayaanmu/bergerak berjalan menyingkap langit/meminta (kepada) angin panggilanku/supaya sampai (meminta kepada) Raja Tuntung Matahari/Raja Tambing Kebulatan Bulan/supaya Ia mendengar/(cahaya) keemasan telinganya/(manyantuh rantunan) puncaknya/mendengarkan perkataan/sekaligus mencermati/batantar sumpah orang (manusia)/. Kalau si……………. sampai (bersaksi) tentang kebohongan, tidak benar/(maka dia akan) beterbangan seperti abu/hancur seperti garam (menjadi air)/putus seperti rotan (yang dipotong)/Kalau ia anggap benar perkataannya/(semuanya) akan menjadi emas (berkat)/rejeki tak putus-putus/menggenggam emas sepanjang hidupnya selamanya/panjang napas(nya) (panjang umur(nya))/menjadi berkat/menjadi jimat dalam mengangkat (harum namanya; terangkat harkat martabatnya)."
Dan meski setelah prosesi Tawur Hasapa ini, sang ketua adat tak melakukan / menjatuhkan vonis apapun terhadap yang berperkara, tetap saja prosesi ini menjadi sedemikian penting bagi yang berperkara, karena seperti yang disebutkan dalam kalimat-kalimat di atas, waktu dan Tuhanlah yang kemudian akan memvonis siapa yang bersalah dan siapa yang tetap dalam kebenaran dengan cara memberi kelimpahan rezeki dan sebagainya terhadap yang benar dan menghancur leburkan hidup yang salah.