Arjuna Mintarogo merupakan sebuah lakon yang sering dipertunjukan, hasil gubahan dari kakawin Arjuna Wiwaha yang dikerjakan oleh seorang Sunan Surakarta pada abad XIX yaitu Paku Buwono III.
Meskipun lakon ini hanya sebuah hasil gubahan dari kakawin Arjuna Wiwaha, tapi bukan berarti naskah keduanya jadi sama persis. Dalam gubahan ini Paku Buwono telah bertindak cukup bebas terhadap naskah aslinya, tidak hanya dalam bahasa pilihan kata-kata, melainkan juga mengenai isinya.
Memang, Mintarogo menyajikan cerita yang sama secara garis besar seperti Arjuna Wiwaha, namun lakon ini menjadi menarik adalah karena baik secara linguistik maupun beberapa bagian jalan cerita yang sedikit membengkok, membuat naskah ini menurut beberapa pemerhati bisa dikatakan sebagai naskah asli. Kalau dibandingkan dengan naskah yang asli, maka lakon Mintarogo memperlihatkan suatu kiblat rohani yang demikian jelas, sehingga tokoh utama, Arjuna, kehilangan namanya dan hanya disebut berdasarkan aktifitasnya, yaitu “Mintarogo”, yang berarti: Badan yang Berdoa.
Khusus Mintarogo ini menjadi tokoh terkenal di semua lapisan masyarakat Solo. Dalam ajaran-ajaran kebatinan (juga dalam Pangestu) Mintarogo disebut sebagai teladan manusia yang sempurna.
Kadang-kadang nama Arjuna memang masih disebut, tetapi tidak sebagai seorang tokoh sejarah–raja dari abad XII– melainkan sebagai semacam manusia teladan, yang dalam hal ini siapa pun dalam batinnya bisa menyerupai Arjuna.
Dan berdasarkan unsur-unsur pokok seperti yang telah saya sebut di atas, maka pergeseran-pergeseran itu (yaitu sang raja, tapa dan penguasaan dunia) akan saya sedikit kupas di bawah ini…
a) Sang Raja
Dengan nama Mintarogo memang masih dimaksudkan seorang tokoh tertentu, namun sejak permulaan telah tumbuh kesukaran menghubungkan tokoh itu dengan tokoh tertentu. Seperti telah dikatakan, maka nama Arjuna hilang dan diganti dengan sebuah nama yang lebih umum, Mintarogo. Sebetulnya tidak begitu penting siapa orang itu, dari mana asalnya; ia hanya disebut menurut perbuatannya, ialah berdoa. Tapa membentuk manusia. Sang raja itu dari jaman baheula, kini hingga nanti menjadi sebuah cita-cita umum: sang manusia yang luhur budinya.
….Iya kang manuswa ugi
ing jagad iki,
sadaya pada buktiya ugi
maring batanira
pandita mangkana ambeké
iku kang tanpa warana lawan
ingkang akarya…
Arjuna menjadi lambang seorang manusia yang sempurna batinnya, budi jernih yang dijadikan pribadi, ciptahening.
b) Tapa
Dalam Mintarogo tapa memperoleh tempat yang makin besar, tapi tidak dilukiskan sedemikian plastis seperti dalam Arjuna Wiwaha. Tapa menjadi seperti semacam cara berdoa. potitis grana sika. bila dalam Arjuna Wiwaha tapa masih dimaksudkan sebagai satu persiapan untuk mencapai tujuan sejati, yaitu penguasaan dunia, maka dalam Mintarogo sendiri sebetulnya menjadi tujuan, atau sekurang-kurangnya itulah yang ditekankan dalam syair tersebut. Maka dari itu serat Mintarogo pernah disebut sebagai suatu jalan untuk memperoleh kesadaran diri yang makin besar dan semacam cermin kehidupan batin. Pamrih dilenyapkan, segala keinginan dipadamkan dalam konsentrasi batin keinginan manusia tidak lagi diarahkan kepada sukses duniawi, melainkan kepada Tuhan. Berdampingan dengan kekuasaan dunia nampaklah sekarang unsur lain yang telah kita kenal sebagai memayu ayuning bawana, manusia sebagai manikam.
c) Kekuasaan Dunia
Tujuan dari tapa Arjuna mempunyai aksen lain pula. Dalam syair Arjuna Wiwaha kerukunan sanak saudara disebut sebagai alasan pokok tapa Arjuna. Dalam Mintarogo tersebut dirumuskan sedikit berlainan. Ialah untuk membalas pehinaan dari pihak kaum Kurawa yang licik itu. Semulanya tujuan supra-duniawi itu bagi Arjuna hanya sebagai suatu selingan yang kurang menyenangkan dan yang menghalangi rencana-rencana duniawi. Kemudian hari kekuasaan dunia juga diartikan secara berlainan yaitu mempengaruhi dan kalau mungkin juga merombak struktur-struktur dunia. Menguasai dunia bukanlah penguasaan faktuil terhadap struktur-struktur, melainkan menjalankan hidup utama di tengah-tengah struktur-struktur (fana).
Arjuna, sang raja, telah menjadi seorang bijak yang bertapa yaitu Mintarogo. Tapanya bukan lagi persiapan, melainkan menjadi sikap hidup. Penguasaan terhadap dunia menjadi hidup utama di tengah-tengah dunia…