Sinar harapan perdamaian yang
dibawa Khrisna ketika pergi ke Hastinapura padam sudah. Khrisna segera pulang
dan menceritakan apa ya terjadi pada Kunti bahwa perang tak bisa dielakan lagi.
Kunti sangat sedih.
Kunti tak bisa menyembunyikan
perasaannya. Hatinya bertanya-tanya : “Bagaimana mungkin aku mengatakan isi
hatiku pada putra-putraku agar perang tak terjadi? Apakah aku harus berkata
‘pikullah kehinaan ini. Kita tak usah meminta bagian kerajaan agar perang urung
terjadi’. Tapi bagaimana dengan tradisi kesatria? Tetapi, sebaliknya apa
gunanya saling bunuh dengan saudara sendiri. Kebanggaan macam apakah yang akan
didapat dari membunuh saudara sendiri. Bagaimana aku harus menghadapi pilihan
ini?” Hati Kunti terbelah kedalam dua pilihan. Disatu sisi kehancuran total,
tapi di sisi lain, kehormatan ksatria.
Di pihak Kurawa, ada Bisma,
Durna, dan Karna. “Bagaimana mungkin anak-anakku bisa mengalahkan kombinasi 3
ksatria pilih tanding itu”. Untuk Bisma, Kunti yakin dia tak mungkin tega
melukai apalagi sampai membunuh Pandawa Lima yaitu: Puntadewa/Yudhistira, Bima,
Arjuna, dan sikembar Pinten/Nakula dan Sadewa. Begitu pun dengan Durna, beliau
tak akan mau membunuh mantan murid-murid kesayangannya. Tapi Karna. Karna
adalah ksatria pilih tanding yang begitu terobsesi untuk membunuh Arjuna demi
menyenangkan hati Duryudana. Dan ironisnya, Karna tak lain adalah anak
kandungnya sendiri yang artinya kakak tiri dari Arjuna sendiri.
Karena kekhawatirannya itulah
kemudian Kunti memutuskan untuk menemui Karna di sungai Gangga tempat di mana
Karna biasa melakukan pemujaan pada Dewata, dengan satu tujuan menerangkan
kepadanya tentang siapa Karna dan Arjuna sebenarnya. Begitu Karna mengetahui
asal-usul dirinya, Kunti berharap Karna mau meninggalkan Duryudana dan berbalik
membela Pandawa.
Setelah begitu lama menunggu
Karna bersemedi, akhirnya Karna selesai juga dari semedinya. Demi melihat Kunti
yang tersengat matahari begitu lama karena menunggunya bersemedi, Karna segera
membuka baju untuk melindungi kepala Kunti dari sengatan matahari.
Sesuai dengan adat kebiasaan,
Karna kemudian menghaturkan sembah, “Anak Rada dan sais kereta menghaturkan
sembah hormat.”
Kemudian Kunti pun menjawab,
“Karna, sebenarnya kau bukan anak Rada dan sais kereta. Kau adalah anak Batara
Surya yang lahir dari rahim Pritha yang sekarang dikenal sebagai Dewi Kunti.
Semoga kesejahteraan ada padamu selalu.”
Setelah itu, Kunti menerangkan
tentang asal-usul kelahiran Karna, dan memintanya untuk bergabung bersama
Pandawa untuk menegakkan kebenaran dan menjanjikan sebuah tahta kerajaan
setelah perang usai nanti.
Setelah mengetahui siapa dirinya,
Karna mulai bimbang antara meikuti kata-kata ibunya atau tetap membela
Duryudana yang selama ini membesarkan namanya. Dan setelah agak lama terdiam
akhirnya Karna pun dengan keteguhan hatinya menjawab, “Ibu, yang engkau katakan
berlawanan dengan dharma. Jika meninggalkan kewajibanku, aku akan menyakiti
diriku lebih parah daripada apa yang bida dilakukan seorang musuh kepadaku di
medan perang. Ibu telah merenggut semua hakku dengan membuangku, seorang bayi
yang tak berdaya, ke sungai. Mengapa sekarang ibu bicara padaku tentang
kewajiban seorang ksatria? Ibu tidak pernah membicarakan cinta ibu yang adalah
hak setiap anak. Dan sekarang, karena mencemaskan anak-anak ibu yang lain, ibu
menceritakan asal-usul kelahiranku. Jika aku bergabung dengan Pandawa, apakah
dunia nanti tidak akan mengutukku sebagai seorang pengecut? Aku dihidupi asam
garam putra-putra Destarata. Mereka percaya kepadaku sebagai sekutu setia. Aku
berhutang budi kepada mereka. Mereka memberiku perhatian dan kebaikan hati.
Setelah perang menjelang, engkau menghendakiku meninggalkan Kurawa dan
bergabung dengan Pandawa. Ibu, mengapa kau memintaku untuk menghianati asam
garam yang telah kumakan? Bagaimana mungkin aku meninggalkan mereka? Adakah
yang lebih hina daripada orang yang menghianati orang yang telah menolongnya?
Ibu terkasih, aku harus membayar hutangku, jika perlu dengan nyawaku. Jika
tidak, aku akan tidak lebih dari seorang pencuri yang makan curian selama
bertahun-tahun ini. Mohon maafkan aku.”
Lanjutnya: “Namun demikian, aku
tidak akan menolak sepenuhnya permintaan ibuku. Soalnya adalah antara aku dan
Arjuna. Dia atau aku yang harus mati di medan laga nanti. Aku tidak akan
membunuh anak-anak ibu yang lain, apa pun yang mereka lakukan kepadaku. Ibu
para ksatriabperkasa, engkau tidak akan kehilangan putra. Putramu akan tetap
lima. Salah satu dari kami, aku atau Arjuna akan tetap hidup setelah perang
ini.”
Mendengar kata-kata putra
sulungnya yang teguh dan sesuai norma-norma ksatria, hati Kunti semakin sedih.
Pikirannya campur aduk tidak keruan. Ia tidak kuasa berkata-kata lagi. Segera
dipeluinya Karna dan pergi tanpa bersuara.
Pikir Kunti: “Siapa yang bisa
menentang suratan takdir? Setidaknya ia berjanji tidak akan membunuh keempat
anakku yang lain. Itu sudah cukup. Semoga Dewata memberkatinya.”
Dan Kunti pun kembali menuju
kediamannya….