19 May 2013

Kehidupan Orang Rimba dan Batin Sembilan


Pola hidup dan mata pencaharian Suku Rimba
Pola hidup Orang Rimba pada umumnya adalah berkelompok dengan satu pemimpin suku yang bergelar Temenggung dan satu wakil yang disebut dengan Depati yang bertugas mewakili Temenggung ketika yang bersangkutan berhalangan hadir dalam acara-acara penting suku mereka. Seorang yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Strata sosial lainnya yang terdapat dalam susunan kepemimpinan suku Rimba adalah adanya seorang yang bergelar Debalang yang tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan masyarakat dan seorang yang bergelar Manti yang tugasnya memanggil masyarakat pada waktu tertentu. Pengulu adalah sebuah institusi sosial yang mengurus dan memimpin masyarakat orang Rimba. Ada juga yang bertugas seperti dukun, atau ,i>Tengganai dan Alim yang mengawasi dan melayani masyarakat dalam masalah spiritual dan di bidang kekeluargaan, nasehat adat dan sebagainya. Seorang pemimpin atau Temenggung sendiri dalam masyarakat Rimba dan Batin Sembilan dapat dikenali dengan bentuk rumahnya yaitu seorang Temenggung mendiami sebuah rumah yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Kediaman Temenggung ini memiliki dinding kayu, atapnya dari daun dengan lantai yang kira-kira 2 meter lebih tinggi dari tanah. Rumah ini oleh masyarakat Suku Rimba disebut dengan Bubangan. Sedangkan rumah warga biasa yang disebut sampaeon lebih sederhana, dengan lantai kira-kira setengah meter tingginya dari tanah. Lantai dibuat dari batang kecil kayu bulat dan atapnya dibuat dari plastik hitam yang didapat dari pasar mingguan.

Disamping itu, selain bubangan dan sampaeon warga suku Rimba pun memiliki rumah lain yang disebut dengan sudung. Sudung ini bentuknya lebih sederhana yakni tanpa lantai dan hanya menggunakan atap saja yang biasanya terbuat dari plastik karena mengingat fungsi sudung sendiri yang hanya sebagai tempat tinggal sementara ketika sedang berburu atau pindah ke tempat lain saat melangun. Memburu binatang di hutan dilakukan sendiri atau dilakukan oleh beberapa anggota kelompok orang Rimbo. Mereka mungkin pergi jauh dari hunian dan tinggal di hutan beberapa hari sebelum mereka kembali dengan hasil buruan. Waktu itu ada satu atau dua orang laki-laki yang menjaga perempuan dihunianya. Ketika orang Rimba menemukan pohon di hutan yang menjadi bagian tanah tradisional mereka, dan pohon tersebut bernilai guna tinggi, seperti pohon kedondong dengan sarang lebah, atau durian yang belum dimiliki, orang itu bisa memberi tanda kepemilikannya di batang atau sekitarnya supaya orang Rimba lain tahu pohon itu tidak harto samo, tetapi milik pribadi. Memang, dalam tradisi suku Rimba harta itu dibagi menjadi dua jenis yakni Ada harta yang bersamo dan yang tidak bersamo. Misalnya, pada umumnya saat mereka membuka ladang dilakukan sebagai aktivitas gotong-royong tetapi kemudian ladang dibagi antara keluarga inti setelah tanah di buka dan kayu bekas di tempat itu dibakar. Setiap keluarga mendapat bagian tanah yang digunakan untuk menanam bahan makanan pokok seperti ubi kayu. Pohon-pohonan yang bernilai tinggi dan ubi kayu yang ditanam sendiri adalah harto yang tidak bersamo.

Selain berburu, pola mencari nafkah dari suku Rimba sendiri adalah dengan bercocok tanam. Mereka menanam ubi kayu (Manihot uthlissima) atau perkebunan kecil pohon karet (Helvea brassiliensis). Selain untuk di jual kepada orang luar (orang terang) tanaman yang mereka tanam pada umumnya sebagian besar untuk dikonsumsi sendiri. Uniknya, proses barter antara orang rimba dengan dunia luar (orang terang) itu sendiri tanpa komunikasi dan pertemuan secara visual sama sekali. Barang yang mau ditukar oleh orang Rimba ditinggalkan di pinggir sungai yang diketahui pedagang yang melewati tempat itu. Pada waktu pedagang lewat, dia menaruh barangnya yang ingin ditukar dan setelah itu dia akan kembali lagi. Orang Rimba kembali ke tempat penukaran setelah pedagang tak ada disana dan memilih yang diinginkan dari barang yang dimiliki pedagang. Mereka menaruh barang hasil hutan mereka yang menurut mereka setara dengan barang dari pedagang yang mereka pilih. Pedagang atau orang Terang kembali dan mengambil atau merubah yang dia ingin ditukar. Proses itu diulangi sampai kedua pihak puas tanpa komunikasi visual. Pada akhirnya proses penukaran selesai dan orang Rimba mengambil barang yang ditawarkan oleh orang Terang dan lalu bersembunyi dan masuk ke hutan.

Secara tradisional pada dasarnya kebutuhan makanan pokok dan kebutuhan lain dipenuhi oleh hutan. Gaya hidup tradisional terdiri dari berburu dan meramu (hunting and gathering). Di hutan mereka meramu buah-buahan, ubi, binatang kecil, kayu, dan damar yang pada umumnya, tetapi tidak selalu, dilakukan oleh kaum perempuan. Kaum laki-laki memburu binatang di hutan dan membuka hutan untuk ladang. Kaum laki-laki menebang pohon dan kaum perempuan memotong tumbuhan kecil. Pada umumnya mereka menggunakan uang hanya dengan orang luar (terang). Memburu binatang besar dilakukan oleh laki-laki dan pola berburu bergantung pada musim. Ada 3 jenis babi yang ditangkap, babi hutan (Sus vitatur), babi jengkot (sus barbatus) atau babi biasa (sus scrofa). Diburu juga rusa (Cervus equimus) dan kijang (Cervulus muntjac). Menangkap burung seperti tiung (Gracula relegiosa) elang (Haliastur Indus) dan gagak (Corvus macroynchus) serta, tupai atau poso (Lariscus insgnis) dan lain-lain.

Kaum laki-laki mempunyai hak untuk berburu. Kaum perempuan, pada umumnya isterinya, mempunyai hak untuk membagi yang diburu atau ditangkap oleh seorang laki-laki. Waktu mereka mencari makanan sendiri atau dengan keluarganya di sungai mereka menangkap harto sendiri, seperti siput, belut atau ikan dan beberapa jenis burung. Kadang-kadang anak-anak menangkap kelewar (kelelawor) kecil, sebagai makanan jajanan. Kalong besar keleluang atau kalong yang memakan serangga, beyut juga ditangkap dan sebenarnya sumber protein penting. Disamping berburu, perempuan dan laki-laki meramu ubi dan buah-buahan. Mencari ubi memakan banyak waktu, tetapi menurut informan rasa ubi liar lebih lezat dibandingkan ubi ladang. Beberapa ubi diambil dari hutan, seperti ubi kulit halus benor licin yang ukuran besarnya sampai 40-50mm tebal dan sampai beberapa meter panjangnya. Mereka harus menggali sampai kedalaman satu meter. Ubi rambat, benor bobulu yang dalamnya sampai setegah meter dengan bobot ubi sekitar 30-40 kg.

Disamping itu, sebagaimana layaknya sebuah suku maka suku rimba pun memiliki beberapa aturan dan kebiasaan tak tertulis yang masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya seperti untuk buang air kecil atau air besar biasanya di lakukan di daratan dan sangat tidak diperboleh kan untuk membuang hajat tersebut di sungai. Tujuan dari aturan ini sendiri adalah karena menurut orang rimba dengan membuang kotoran di daratan supaya tanah langsung dipupuki dan sungai yang digunakan untuk air minum tidak dicemari. Kebiasaan lain dari suku rimba adalah memelihara anjing - anjing dalam bahasa Rimba disebut dengan konotasi lucu penjilat burit (penjilat pantat) - untuk membantu orang Rimba berburu, dan juga menolong untuk membersihkan pantat anak dan bayi. Beberapa kali diamati anak yang bermain di sungai atau perempuan mencuci sarung. Walaupun mereka jarang atau tidak memakai sabun, kelompok tersebut kelihatannya tidak menderita masalah kulit atau bau badan. Menurut kepercayaan orang Rimba menggunakan sabun akan dimarahi oleh dewa-dewi.

Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Rimba sama dengan sistem kekerabatan yang berlaku di Minangkabau yakni sistem matrilineal. dan seperti halnya sistem matrilineal di beberapa tempat, di suku Rimba pun memiliki aturan yang hampir sama dengan di tempat-tempat lain yang menganut sistem ini tak terkecuali dengan adat pernikahannya. Kesamaan tentang pernikahan itu antara lain adalah saudara perempuan tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri diluar pekarangan tempat tinggal. Orang Rimba mengharamkan pernikahan sedarah (incest). Dan yang unik, dalam aturan adat orang Rimba sangat tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya saja, demikian pula antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba. Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain.

Ada tiga jenis perkawinan, yaitu; pertama dengan mas kawin. Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya. Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut. Orang Rimba menganggap hubungan endogami keluarga inti (saudara seperut/suadara kandung) atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang (incest) dilarang, sama halnya dengan budaya Minangkabau.

Mayoritas pernikahan adalah monogami, tetapi ada juga hubungan poligami atau lebih tepat poligini, yang kelihatannya untuk melestarikan asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial lain, samping melindungi sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda atau perempuan mandul. Umur harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada harapan hidup perempuan dan perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya dilakukan oleh laki-laki. Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan.

Kepercayaan dan Kosmos Orang Rimba
Menurut salah satu mitos yang di ceritakan orang Rimba, mereka berasal dari Pagaruyung (Minangkabau) dan bersumpah bahwa mereka tidak berkampung, dan tidak makan makanan binatang yang dipelihara termasuk ayam, bebek, kambing dan sapi. Makanan lain yang haram atau tabu termasuk telur dan susu. Dengan pengalaman hidup di hutan dan pengalaman interaksi terbatas dengan dunia luar, kepercayaan dan kosmologi yang muncul dan unik serta berbeda dari pola pikir masyarakat umum. Menurut kosmologi orang Rimba waktu mereka pindah ke dusun atau orang Melayu menguasai hutan (imigrasi dan transmigrasi) dianggap sebagai pemusnahan dunia atau kiamat. Pola pikir orang Rimba terkait dengan kata dasar “layu” artinya, menjadi lesu, kehilangan tenaga atau seperti bunga yang sudah lewat masa mekarnya dan mati. Sepertinya sudah menjadi sampah. Ada awalan dalam bahasa orang Rimba “me-” yang berarti, memboroskan, melimpah (Sandbukt 1984, 85-98). Arti “Melayu” dalam bahasa Melayu tidak jelas.

Juga harus dijelaskan ada hewan landak yang berjenis besar yaitu landoq (Hysterix brachyma), yang berjenis kecil, yaitu titil bonor (Atherurus macrourus) dan jenis ekor panjang, yaitu titil kelumbi (Trichys lipura). Menurut filosofi orang Melayu pada umumnya, kebanyakan daging dari hutan haram, kecuali satu-dua saja seperti landak. Bagi orang Rimba, landak termasuk beberapa jenis hewan lain yang tabu. Pada orang Rimba, makanan haram menurut orang Melayu adalah makanan halal bagi mereka. Sebaliknya, yang tabu untuk orang Rimba sering kali halal bagi orang Melayu. Dewa Silum-on dilihat sebagai kultivator pohon bambu dan juga dilihat sebagai orang “me-layu”, tetapi Dewa tersebut juga bisa dipanggil untuk melakukan hubungan dengan Dewa-dewi lain. Dewa Mato merego atau Harimau juga diklasifikasikan sebagai orang me-layu, yang cenderung mengharamkan manusia, termasuk orang Rimba.

Saat orang Rimba mendengar bunyi burung suci, gading, mereka berhenti dan berdoa supaya mereka bisa memperoleh hal-hal yang baik. Konsep dunia mereka dibagi halo nio atau dunia disini (dunia nyata) dan halom Dewa atau dunia di atas (dunia setelah wafat). Kedua dunia tersebut dikontraskan dengan istilah kasar dan haluy, atau kasar dan halus yang diatur oleh Tuhan. Tuhannya tidak bisa dilihat seperti juga Dewa, tetapi bisa didengar sebagai bunyi alam yang keras seperti kicau burung. Dewa-dewi berada di hutan, di puncak bukit, tempat air dan di pinggir sungai. Dewa-dewi yang tinggal di hulu sungai dianggap sebagai Dewa yang bermanfaat, Dewa-dewi yang tinggal di hilir sungai, tempat kebanyakan orang Melayu tinggal, dianggap sebagai pembawa hal-hal yang jelek seperti penyakit cacar dan pedagang budak.

Peristiwa seperti melahirkan anak, pernikahan, menyembuhkan seseorang, musim panen atau musim buah, merupakan peristiwa yang dirayakan dan sajian dibuat untuk menyenangkan Dewa-dewi. Pada waktu tertentu, mereka membangun sebuah balai atau balay, yang berukuran sampai 9 x 9 meter di tengah hutan dengan pondok-pondok sementara di sekitarnya. Balai itu disiapkan untuk sale, suatu ritual dengan nyanyian, tarian, berhiaskan dengan bunga-bunga, menghidangkan makanan, buah-buahan, daging, kecuali babi, ubi dan semacamnya. Hal itu dilakukan supaya hubungan dengan Dewa-dewi lebih baik dan bermanfaat bagi orang Rimba. Roh nenek moyang orang Rimba dianggap mengawasi kehidupan, dan dapat dihubungi pada saat upacara salé. Jiwa atau roh orang yang meninggal dunia berjalan ke alam baka. Orang yang belum mencapai kehidupan spiritual yang tinggi sebelum meninggal dunia berjalan ke tempat dekat Tuhan, hentew, (limbo).

Pemimpin spiritual juga berjalan ke hentew, untuk meninggalkan sifat-sifat duniawi sebelum menuju ke dunia Tuhan serta menjadi malaikat yang bisa menjadi Dewa bila menyampai tingkat spiritual yang cukup tinggi. Salah satu peristiwa lain yang terkait dengan kosmosnya dikenal dengan istilah melangun atau berpindah-pindah. Peristiwa itu terjadi bila mereka merasa kurang puas atau bila ada orang yang meninggal dunia. Mereka berpindah ke tempat lain supaya bisa re-group lagi sesuai keinginan mereka serta menghilangkan kesedihan. Orang yang meninggal dunia ditaruh di dalam pondok, di tempat tidur dengan kelambu tertutup.

Di dalam pondok lampu damar dinyalakan, dan disediakan beberapa hal, seperti makanan dan beberapa alat untuk berburu. Anjing milik orang yang meninggal diikat di dekatnya dan kelompok memberi tanda arah tempat baru, supaya orang yang bangun lagi dari kematiannya bisa ikut melangun bersama anjingnya. Sebelum orang luar, termasuk orang Rimba yang mau kembali ke tempat asli diijinkan oleh Temenggung, mereka perlu menyiapkan diri. Proses itu memakan waktu minimal selama 3 bulan. Orang yang mau masuk wajib membersihkan diri, artinya tidak boleh makan makanan yang tabu, seperti kambing, ayam, bebek, sapi dan telur atau memakai sabun yang harumnya akan menghina Dewa-dewi mereka. Menurut informan orang Rimba, mereka merasa takut melawan orang luar yang membawa senjata tajam. Alasannya, orang Rimba sudah mengalami kekalahan dan menyadari bahwa mereka diharamkan oleh orang luar. Persepsi orang Rimba terhadap kelanjutan penggunaan (sustainable) hutan sudah dimiliki sejak waktu lampau.

*****
P.S. Artikel ini dirangkum dari desertasinya Johan Weintré yang berjudul: ORGANISASI SOSIAL DAN KEBUDAYAAN KELOMPOK MINORITAS INDONESIA: Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra (Orang Kubu Nomaden)