19 June 2013

Menang Kerbau Sebagai Asal Kata Minangkabau

Dibawah ini Budaya Nusantara cukilkan sebuah cerita tentang asal-usul kata Minangkabau yang berasal dari kata menang kerbau. Cerita ini Budaya Nusantara cuplik dari Novel karya Gus tf. Sakai yang berjudul Tambo, Sebuah Pertemuan. Selamat menyimak…

________________________________

Apa yang kuinginkan, sebetulnya, hanyalah seperti yang Ayah ceritakan: Sebuah dunia yang tenteram, suatu kehidupan yang sentosa. Tak ada perang, tiada tentara. Suatu kerajaan, suatu pemerintahan, atau mungkin lebih tepat suatu organisasi yang hanya memikirkan kesejahteraan bersama, menghilangkan sebutan bangsawan atau rakyat biasa dan yang membedakan antara yang satu dengan yang lain hanyalah peran masing-masing dalam kebersamaan.

Tapi aku bukanlah raja. Dan kakakku bukanlah Sutan Balun.
Bagaimanapun telah berubahnya Sutan Marajo, Baginda Aryawangsa Mauliawarmadewa besar di Majapahit. Sebagai seorang yang pernah memegang jabatan panglima perang, logikanya tak bisa dilepaskan dari tentara, dan senjata. Maka, “Kau bermimpi, Dinda. Tak ada kerajaan tanpa angkatan perang,” katanya ketika suatu hari aku menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku.

“Aku tak bermimpi, Kakanda. Bila perang dihilangkan dari bahasa, orang pun takkan mengerti cara melakukannya. Pernahkah Kanda dengar suatu daerah yang tak memiliki kata dusta dalam bahasanya? Itu karena mereka memang tak pernah melakukan dusta.”

“Untuk dusta mungkin saja. Tapi untuk perang tidak akan, Dinda. Sebelum orang lain mendahului kita, akan lebih menguntungkan kalau kita mendahului mereka.”

“Tapi logika itu bukankah bisa dibalik, Kakanda? Jika kita tak menyerang orang lain, orang lain pun tak punya alasan menyerang kita.”

“Orang akan membuat alasan. Selalu orang akan membuat alasan. Beribu-ribu alasan, Adinda.”

Begitulah. Tapi kusadari, ini fasal yang sama sekali berbeda dari Tarik Balas. Dan akan jauh lebih sulit. Berselisihnya dunia antara diriku dengan Aditiawarman atau Sutan Marajo Basa adalah penyebab utama. Kondisi seperti ini, diperlihatkan oleh sejarah, hanya bisa.dipecahkan dengan masuk ke dunia pertama untuk kemudian membawanya ke dunia kedua. Tapi, akan mampukah aku? Karena itu sama artinya dengan lebih dulu masuk ke dunia kakakku. Sejarah penaklukan itu.


Hanya ayahku Cati Bilang Pandai yang bisa mengerti. Hanya … hanya ibuku Bundo Kanduang yang mampu memahami. Setiap memandang Bundo, setiap memandang adikku Puti Jamilan, setiap memandang perempuan, perempuan mana saja dibelahan dunia mana pun, aku selalu melihat kekuasaan memporak-porandakan mereka. Di daerah taklukan juga di daerah kemenangan. Di daerah taklukan menjelma jeritan, di daerah kemenangan menjelma hiburan. Tak lebih dari benda, legitimasi dan apa yang orang laki-laki sebut keperkasaan.

***

Tapi, rupanya, aku tak perlu masuk ke dunia Baginda Aryawangsa Mauliawarmadewa. Hanya karena seekor kerbau.

Pada masa itu, bersamaan dengan tumbuhnya Pagaruyung, di utara iuga muncul sebuah kerajaan yang karena lokasinya baik cepat menjadi besar. Orang-orang menyebutnya Pasei, atau kadang-kadang Samudera Pasei. Dan hari itu, muncullah tiga orang utusannya ke Pagaruyung membawa sepucuk surat dari yang dipertuan di Pasei. Setelah membacanya, wajah kakakku menegang.

“Apa isinya, Kanda?” tanyaku.

“Perang!”

“Perang?! Kenapa harus berperang?” Aku mendadak ingat Kuntu punya hubungan dengan Pasei. “Apakah alasannya?”

“Bukan mereka! Kitalah yang punya alasan.”

“Kita? Aku tak mengerti, Kakanda. Boleh kubaca apa yang tertulis di sana?”

Kakakku Sutan Marajo Basa menyerahkan surat itu kepadaku. Setelah membacanya aku jadi tersenyum. Dan kataku, “Kenapa ini Kanda jadikan alasan? Kalau mereka hanya ingin mengadu kerbau, tidakkah sebaiknya kita layani?”

“Dengan kerajaan sebagai taruhannya? Jangan gila, Adinda!”

“Nah, kalau Kanda tak setuju ya, tolak saja. Kenapa harus berperang?”

“Ini penghinaan, Adinda! Mereka pikir apakah Pagaruyung tak punya angkatan perang!”

“Tapi bisa juga sebaliknya, Kakanda. Karena mereka tahu bahwa Pagaruyung kuat angkatan perangnya, mereka gunakan akal untuk menundukkan kita.”

“Akal?” Kakakku tertawa, “Mereka pikir, apa itu akal? Beraninya mereka menawar Pagaruyung hanya dengan sepotong akal.”

“Justru itu, Kanda. Kita harus tunjukkan bahwa kita lebih berakal daripada mereka.”

“Adinda! Yang kita pertaruhkan ingat, adalah kerajaan Pagaruyung!”

“Apakah Kanda takut kita akan kalah?”

Kakakku terdiam. Kubayangkan apa yang ia pikir. Tentulah ia ragu. Mengadu kerbau, dan kerajaan taruhannya. Kalau orang Pasei itu kalah, apakah mereka tak akan menyesal menyerahkan keraiaannya? Hanya karena seekor kerbau! Dan kalau kemudian ternyata Pagaruyung yang kalah?”

“Akan kita taklukkan mereka, Kakanda.” Lanjutku, “Kita buktikan bahwa kita tak hanya punya angkatan perang yang kuat, tapi juga memiliki binatang ternak yang terlatih. Lagipula, Kanda, dengan hanya mengadu kerbau, kita telah menghemat banyak biaya. Dan yang lebih penting, telah menyelamatkan banyak nyawa.”

Lama kakakku berpikir. Tentulah ia masih ragu. “Dinda,” katanya. “Kenapa kau begitu yakin bahwa kita akan menang? Punyakah kau suatu rahasia, suatu taktik, untuk mengalahkan orang-orang Pasei itu?”

“Tentu saja.” Aku tersenyum. Dan kataku segera pada pengawal, “Kita terima tantangan itu. Katakan kepada mereka.”

“Tunggu dulu, Adinda! Kau harus sebutkan padaku. Rahasia itu.”

“Kerbau binatang yang tak tahan berjalan jauh, Kakanda. Ia butuh istirahat yang lama untuk memulihkan tenaga. Dan selama itu, ia takkan punya nafsu bertarung.”

Kakakku kembali terdiam. Beberapa saat kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala. “Jadi,” katanya, “Pertarungan itu kita lakukan pada kesempatan pertama? Sesegeranya?”

“Ya,” kataku. Dan kepada pengawal, “Katakan pada si utusan itu, kita tunggu mereka — di sini,” lalu kusebutkan waktunya. Lebih cepat dari jangka tempuh yang kuperkirakan.

Masih kutambah, “Jika mereka kalah, katakan kepada mereka, mereka tak perlu menyerahkan Pasei.”

“Adinda!” Kakakku terkejut mendengar kalimatku yang terakhir.

“Maafkan aku, Kakanda. Seluruh daging, seluruh darah ini, kurelakan bagi Pagaruyung . Kerajan kita sudah demikian luas, untuk apakah lebih diperluas lagi? Jika sudah terlalu luas, Kakanda, akan sukar bagi kita untuk mengurusnya. Rakyat tentulah akan terlantar.”

Berangkat pulanglah si utusan. Kembali ke Pasei, menyampaikan jawaban dari Pagaruyung.

***

Kabar itu pun menyebar. Kabar yang tentu saja lebih menggemparkan daripada peristiwa pengadilan diriku. Penduduk terjauh dari Pagaruyung, kulihat, bahkan ikut
berdatangan ke ibu negeri. Penduduk dari muara Batanghari, dari muara Sungai Rokan, dari Indrapura, sampai dari Barus di utara, telah hadir di Pagaruyung malahan beberapa hari sebelum waktu yang ditetapkan.

Lokasi dimana kerbau itu akan berlaga, sebuah padang rumput yang cukup luas, telah pula kami bangun sedemikian rupa. Dibutuhkan beribu-ribu batang bambu untuk membuat pagar, dinding pembatas, tangga-tangga dan bangku agar rakyat bisa dengan teratur menyaksikan tanpa harus berdesakan. Di sebelah utara, arah keluar Pagaruyung, kami buatkan pula semacam tribun untuk yang dipertuan di Pasei dan para pengawalnya. Suatu hal yang kuharap akan mengesankan. Aku bahkan ingin Pagaruyung terlihat seperti tuan rumah yang tengah menyambut tamunya dengan ramah lalu menyuguhkan sebuah tontonan untuk sama dinikmati dalam keriangan. Di gelanggang itu tak kubiarkan ada kesan pertarungan, apalagi kesan bahwa kerajaan tengah dipertaruhkan. Tak ada tentara atau prajurit atau apa pun namanya yang lalu-lalang berkeliatan, bahkan juga nanti pada hari perlagaan karena memang begitulah yang kuinginkan. 

Tapi, apakah memang sesuai dengan apa yang kuperhitungkan? Ternyata tidak.

Ketika rombongan yang dipertuan di Pasei muncul memasuki Pagaruyung, kami tercengang dan kaget. Betapa tidak? Ternyata kerbau mereka tidaklah ditarik atau dihela oleh beberapa orang berkuda seperti yang kubayangkan. Melainkan berada dalam kandang kayu kokoh yang ditating dan dibawa oleh empat ekot gajah! Dan penampilannya demikian kekar dan gempal dan juga ganas, dan tampaknya tengah amat marah.

Dibandingkan dengan kerbau yang kami punya, jelaslah kerbau orang-orang Pasei itu unggul segalanya. Ketika kandang itu diturunkan, si kerbau malah menyeruduk-nyeruduk, menghantamkan tanduknya yang besar mencuat dan menerjang-nerlang ke seluruh penjuru kandang. Kakakku jadi gelisah.

“Apa akal kita, Adinda?” Cemas sekali suara Baginda Aryawangsa Mauliawarmadewa.

Aku tak bisa dengan segera menjawab. Bagaimanapun, ini memang di luar perkiraanku. Dan bagaimanapun pula, walau dipanggul oleh empat ekor gajah, takkan mungkin kerbau itu tak merasa capek dan lelah. Pastilah orang-orang Pasei itu telah memberikan sesuatu kepada kerbaunya sehingga si kerbau berada dalam kondisi yang demikian rupa.

“Mereka telah menggunakan akalnya, Kanda,” kataku. “Tentulah kerbau mereka telah diberi semacam obat perangsang atau entah apa.”

“Jadi?”

“Akan kita pergunakan cara yang sama. Kalau aturan mereka membolehkan hal-ha| yang tak lahiriah dipunyai oleh seekor kerbau, kenapa kita tidak?”

“Sudah kau temukan caranya?”

“Aku butuh waktu, Kanda. Untuk sementara kita perlakukan mereka layaknya benar-benar tamu. Kita persilakan mereka istirahat. Takkan mencurigakan. Mereka tentulah lelah.”

Dan sepanjang hari itu sampai siangnya aku memeras pikiran dan tak keluar-keluar dari kamar. Barulah setelah hari beranjak sore kudapatkan jalan keluarnya dan segera kutemui Baginda Aryawangsa Mauliawarmadewa.

“Bagaimana, Adinda?!” sambut kakakku. Bersamanya telah berkumpul para pemuka dan pembesar istana. Juga ayahku Cati Bilang Pandai.

“Sudah kutemukan, Kanda.”

“Apa yang akan kaulakukan? Bagaimanakah caranya?”

“Kubutuhkan seorang pandai besi yang benar-benar ahli.”

“O kalau itu, Adinda, jelas kita punya. Seluruh senjata angkatan perang dari dialah ketajamannya. Aku panggilkan ia menghadap?”

“Tak usah, Kanda. Biarkan aku sendiri yang ke tempatnya nanti,” lanjutku, “Selain pandai besi, aku iuga butuh beberapa tenaga: Mencari seekor anak kerbau yang masih menyusu dengan rakusnya.”

Semua yang hadir mengerutkan dahi, “Seekor anak kerbau?”

“Ya, Kakanda. Seekor anak kerbau yang belum berpisah dari induknya. Masih menyusu tapi sudah tumbuh bakal tanduknya.”

“Hanya seekor, Adinda?”

“Sebaiknya berapa ada. Biar nanti kita bisa memilihnya.”

“Kuperintahkan segera,” kata Baginda. “Masih adakah keperluan lainnya?”

“Sudah cukup, Kanda.”

Setelah memberi perintah untuk mencarikan apa-apa yang kuperlu, tak sabar kakakku mendekatkan wajahnya. “Ceritakan segera tentang kau punya rencana.”

***

Dan memang, tak ada yang mempertanyakan kenapa adu kerbau belum mulai iuga. Pihak tamu, yang dipertuan di Pasei bersama rombongan malah merasa amat senang. Betapa tidak? Selama dua hari di Pagaruyung, mereka diperlakukan lebih dari yang mereka harapkan. Bahkan mereka tak percaya: Orang Pagaruyung ternyata amat ramah dan tentulah sangat berbeda dari yang mereka dengar.

Pada hari ketiga barulah diumumkan, bahwa besoknya diselenggarakan aduan. Maka pada sepanjang sore hari ketiga sampai malamnya kusaksikan takyat telah berebutan ke arena. Mereka mencari tempat duduk, bahkan ada yang hanya tempat tegak, karena amat ramainya. Dan di tempat masing-masing itu mereka tak mau lagi beranjak, sampai pagi berikutnya.

Agak siang, masing-masing raja telah berada pada tempatnya. Tak ada teriakan perang, tiada ayunan senjata. Hanya suara terompet. Tiupan pertama pun menggema, panjang dan lama. Itu adalah tanda masing-masing pihak sudah harus menyiapkan kerbaunya. Tak lama sesudahnya, terdengar tiupan kedua, pendek dan berturut-turut, pertanda kerbau sudah harus dibawa ke pinggir arena.

Karena mungkin memang sudah lama disiapkan, kerbau yang dipertuan di Pasei tampil lebih dulu. Seekor kerbau yang sungguh luar biasa. Untuk mempertahankan gerak dan geliatnya, ada sepuluh prajurit yang berkutetan menjaga. Hidungnya mendengus-dengus dan mulutnya berbusa. Dan tanduknya yang besar mencuat, berkilat-kilat, selalu direndeng-rendengkannya. Apakah yang telah mereka berikan pada kerbau itu?

Kubayangkan bahwa diam-diam tentulah rakyat sudah meramal kerbau orang asing itu akan mengalahkan kerbau baginda mereka Sri Maharaja Diraja. Aku yakin, tak seorang pun di antara mereka, rakyat Pagaruyung, pernah melihat kerbau sebesar dan seberingas itu di Malayapura. Apalagi mereka tahu bahwa Baginda Sri Maharaja Diraja tak pernah tertarik kepada, jangankan memelihara, seekor pun hewan selain kuda.

Telah sejak tadi aku berada di antara mereka, di tengah rakyat Pagaruyung. Alangkah gaduh. Dari kerbau yang dipertuan di Pasei, mata mereka beralih mencari kerbau Baginda Sri Maharaja Diraja. Dan alangkah kagetnya orang-orang, dan tak percaya, bahkan ada yang mengerjap-ngerjapkan atau menggosok-gosok mata, begitu menyaksikan para pengawal Baginda di seberang yang lain menuntun seekor kerbau kecil - tak lebih dari seekor anak kerbau - memasuki lapangan.

Benar-benar seekor anak kerbau! Hanya saja, kerbau itu lebih punya tanduk dibanding kerbau-kerbau seumurnya. Tanduk? Seperti bukan tanduk. Kilatnya lain ditimpa cahaya. Besi? Yaa dua potong besi yang mencuat menyerupai tanduk. Dan kerbau kecil itu, anak kerbau itu, demi melihat ada seekor kerbau di seberang yang lain ia segera meronta-ronta seraya melenguh-lenguh serupa memanggil induknya.

Saat orang masih terheran-heran, tercengang-cengang, terdengar gema terompet ketiga, pendek berturut-turut kemudian ditutup oleh suatu tiupan yang paniang. Itulah tanda bahwa kerbau sudah harus diadu. Sisi di seberang yang satu, pihak yang dipertuan di Pasei, masih juga terbengong-bengong belum bereaksi atas aba-aba. Satu-dua orang malah masih celingukan mencari-cari kalau-kalau lawan dari kerbau mereka kerbau lain dan bukan kerbau kecil itu. Tapi tak ada. 

Sisi di seberang yang lain, kubu Pagaruyung segera melepaskan kerbau mereka sesaat setelah tiupan terompet terakhir. Dan kerbau kecil itu, anak kerbau itu, serta merta melompat menuju kerbau yang dipertuan di Pasei. Walau ragu-ragu, para prajurit yang dipertuan di Pasei melepaskan iuga kerbau mereka. Kerbau besar itu serta merta menghambur, melompat mendengus-dengus dan berputar-putar sejenak mencari sasaran, tapi mendadak tertegun ketika melihat seekor anak kerbau melompat seperti riang ke arahnya.

Tak ada pertarungan. Tak ada perlagaan. Yang orang-orang saksikan kemudian, kerbau kecil itu menyeruduk ke selangkangan si kerbau besar layaknya seekor anak kerbau kehausan ingin menyusu pada induknya. Kerbau yang dipertuan di Pasei belum juga menyadari. Tapi ketika anak kerbau Baginda Sri Maharaja Diraja menyeruduk-nyeruduk bagai kesetanan karena tak menemukan semacam ambing di sana, barulah kerbau besar itu terlompat-lompat. Kesakitan.

Berkali-kali besi runcing yang dibentuk menyerupai tanduk itu menusuk perut kerbau yang dipertuan di Pasei. Berkali-kali kerbau besar itu terlompat-lompat melenguh-lenguh berlarian kian kemari. Tapi ke mana pun kerbau besar itu lari berusaha menghindarkan diri, selalu saja disusul dan diseruduk oleh kerbau Baginda Sri Maharaja Diraia. Tak ayal, kerbau besar itu pun roboh. Berkelejotan.

Beberapa saat orang-orang masih kelihatan terpana. 

Tak ada yang cukup sadar bahwa segalanya telah selesai.

Lalu, entah dari sisi mana yang memulai, riuh tepuk tangan dan tempik sorak tiba-tiba meledak seperti hendak merengkah angkasa. “Hidup Baginda Sri Maharaja Dirajaaaa.. . ! Hidup Baginda Sri Maharaja Diraajaaaaa . . . ! Hidup Baginda Sri Mahanja Diiraaajaaaaaaa …!”

Pada sebuah tempat, di tengah-tengah lonjakan rakyat, aku tersenyum lega. Anak kerbau yang kupisahkan menyusu selama tiga hari, tentulah amat haus dan lapar. Pada bagian lain, di tengah lampiasan kemenangan para pemuka dan pembesar Pagaruyung, kakakku tampak celingukan. Mencari-cari diriku.