08 June 2013

Suluk Wujil Karya Penting Sunan Bonang

Pada kesempatan kali ini saya akan coba membahas Suluk Wujil karya Sunan Bonang dari segi puitika dengan konteks sejarah jawa Timuran dan perkembangan awal sastra pesisir di abad ke 15 dan 16 M. Teks asli Suluk Wujil sendiri dapat di jumpai antara lain dalam MS Bataviasche Genotschaft 54 (setelah RI merdeka disimpan di Museum Nasional, kini di Perpustakaan Nasional Jakarta) dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dilakukan oleh Poerbatjaraka dalam tulisannya “De Geheime Leer van Soenan Bonang (Soeloek Woedjil)” (majalah Djawa vol. XVIII, 1938).

Karena Suluk Wujil ini merupakan buah karya yang ditulis pada masa peralihan Hindu - Islam, maka Suluk ini pun mencerminkan hal-hal penggambaran kehidupan budaya, intelektual dan keagamaan di Jawa Timur yang sedang berada pada masa transisi religiusitas dari kepercayaan Hindu beralih menuju kepercayaan Islam. Peralihan itu sendiri ditandai dengan runtuhnya satu kerajaan Hindu terbesar terakhir di Pulau Jawa yakni Kerajaan Majapahit dan mulai besarnya kerajaan Demak Bintoro selaku kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa. Demak sendiri sebenarnya memiliki keterkaitan langsung dengan Majapahit karena sang pendiri Kerajaan Demak yakni Raden Patah merupakan putera raja Majapahit Prabu Kertabumi atau Brawijaya V dari hasil perkawinannya dengan seorang puteri Cina yang telah memeluk Islam. Dengan runtuhnya Majapahit ini secara langsung berpengaruh pada tata nilai kehidupan masyarakat sekaligus menandai perpindahan kegiatan kebudayan dari sebuah kerajaan Hindu beralih ke kerajaan Islam.

Di ranah sastra sendiri peralihan itu tercermin dari terhentinya kegiatan menulis sastra Jawa Kuna sepeninggal penyair terakhir Majapahit, Mpu Tantular dan Mpu Tanakung, yang meninggal dunia pada pertengahan abad ke-15 tanpa penerus yang kuat. Dengan begitu pusat pendidikan pun lambat laun beralih ke pusat-pusat baru di daerah pesisir yang dekat dengan Kerajaan Demak. Dari segi bahasa Suluk Wujil ini memperlihatkan gaya bahasa yang tidak biasa dan terkesan aneh karena menggunakan bahasa Jawa Madya yang memang pada saat itu tidak lazim digunakan dalam penulisan tembang. Tidak hanya itu, dari segi puitika pun, Sunan Bonang menggunakan gaya tembang Aswalalita dan Dandanggula yang menyimpang dari patron penyair-penyair kebanyakan di zaman Hindu. Oleh karenanya, hanya dari kedua ciri dan gaya tersebut saja kita langsung bisa merasakan semangat peralihan yang begitu kentara dalam Suluk Wujil ini. Tapi meskipun begitu, pilihan Sunan Bonang yang tetap mempertahankan penggunaan bentuk tembang Jawa Kuno yaitu aswalalita, yang didasarkan pada puitika Sanskerta dan juga banyak menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing dalam kebudayaan Jawa pada masa itu seperti misalnya tamsil wayang, dalang dan lakon cerita pewayangan seperti Perang Bharata antara Kurawa dan Pandawa, menjadikan karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan. Ciri lain yang membuat Suluk Wujil karya Sunan Bonang ini menjadi karya penting karena isi dari tembang ini memang menitik beratkan pada masalah hakiki seputar wujud dan rahasia-rahasia terdalam dari ajaran agama Islam dan dipadu dengan pertanyaan metafisik yang esensial dan menggoda sepanjang zaman yang memang begitu digandrungi oleh orang-orang terpelajar pada masa itu.

Demikianlah sebagai karya bercorak tasawuf paling awal dalam sastra Jawa, kedudukan Suluk Wujil dan suluk-suluk Sunan Bonang yang lain sangatlah penting. Sejak awal pengajarannya tentang tasawuf, Sunan Bonang menekankan bahwa konsep fana’ atau persatuan mistik dalam tasawuf tidak mengisyaratkan kesamaan manusia dengan Tuhan, yaitu yang menyembah dan Yang Disembah. Untuk lebih jelasnya saya kutipkan beberapa bait dari Suluk ini berikut terjemahannya oleh Abdul Hadi W.M :

1
Dan warnanen sira ta Pun Wujil
Matur sira ing sang Adinira
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat Panenggrane
Samungkem ameng Lebu?
Talapakan sang Mahamuni
Sang Adhekeh in Benang,
mangke atur Bendu
Sawetnya nedo jinarwan
Saprapating kahing agama kang sinelit
Teka ing rahsya purba

2
Sadasa warsa sira pun Wujil
Angastupada sang Adinira
Tan antuk warandikane
Ri kawijilanipun
Sira wujil ing Maospait
Ameng amenganira
Nateng Majalanggu
Telas sandining aksara
Pun Wujil matur marang Sang Adi Gusti
Anuhun pangatpada

3
Pun Wujil byakteng kang anuhun Sih
Ing talapakan sang Jati Wenang
Pejah gesang katur mangke
Sampun manuh pamuruh
Sastra Arab paduka warti
Wekasane angladrang
Anggeng among kayun
Sabran dina raraketan
Malah bosen kawula kang aludrugi
Ginawe alan-alan

4
Ya pangeran ing sang Adigusti
Jarwaning aksara tunggal
Pengiwa lan panengene
Nora na bedanipun
Dening maksih atata gendhing
Maksih ucap-ucapan
Karone puniku
Datan polih anggeng mendra-mendra
Atilar tresna saka ring Majapait
Nora antuk usada

5
Ya marma lunganging kis ing wengi
Angulati sarasyaning tunggal
Sampurnaning lampah kabeh
Sing pandhita sundhuning
Angulati sarining urip
Wekasing jati wenang
Wekasing lor kidul
Suruping radya wulan
Reming netra lalawa suruping pati
Wekasing ana ora

Artinya, lebih kurang:

1
Inilah ceritera si Wujil
Berkata pada guru yang diabdinya
Ratu Wahdat
Ratu Wahdat nama gurunya
Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung
Yang tinggal di desa Bonang
Ia minta maaf
Ingin tahu hakikat
Dan seluk beluk ajaran agama
Sampai rahasia terdalam

2
Sepuluh tahun lamanya Sudah
Wujil Berguru kepada Sang Wali
Namun belum mendapat ajaran utama
Ia berasal dari Majapahit
Bekerja sebagai abdi raja
Sastra Arab telah ia pelajari
Ia menyembah di depan gurunya
Kemudian berkata
Seraya menghormat
Minta maaf

3
“Dengan tulus saya mohon
Di telapak kaki tuan Guru
Mati hidup hamba serahkan
Sastra Arab telah tuan ajarkan
Dan saya telah menguasainya
Namun tetap saja saya bingung
Mengembara kesana-kemari
Tak berketentuan.
Dulu hamba berlakon sebagai pelawak
Bosan sudah saya
Menjadi bahan tertawaan orang

4
Ya Syekh al-Mukaram!
Uraian kesatuan huruf
Dulu dan sekarang
Yang saya pelajari tidak berbeda
Tidak beranjak dari tatanan lahir
Tetap saja tentang bentuk luarnya
Saya meninggalkan Majapahit
Meninggalkan semua yang dicintai
Namun tak menemukan sesuatu apa
Sebagai penawar

5
Diam-diam saya pergi malam-malam
Mencari rahasia Yang Satu dan jalan sempurna
Semua pendeta dan ulama hamba temui
Agar terjumpa hakikat hidup
Akhir kuasa sejati
Ujung utara selatan
Tempat matahari dan bulan terbenam
Akhir mata tertutup dan hakikat maut
Akhir ada dan tiada

Pertanyaan Wujil pada gurunya ini merupakan pertanyaan yang universal tapi sekaligus esensial. Universal karena memang semua orang ingin mengetahui jawaban-jawaban dari persoalan tersebut dan menjadi sangat esensial karena pad kenyatannya pertanyaan itu menukik pada masalah-masalah yang begitu inti dan tak jarang jawabannya belum mampu disediakan oleh ilmu lahir pada masa itu bahkan mungkin sampai masa kini seperti hakikat hidup dan kehidupan yang kemuian menyeret pada Persoalan tentang rahasia Yang Satu akan membawa orang pada persoalan tentang Yang Abadi, Yang Maha Hidup, Wujud Mutlak yang ada-Nya tidak tergantung pada sesuatu yang lain. Tuhan. Tapi tak jarang juga, persoalan-persoalan yang diajukan oleh Wujil pada sang guru ini kemudian melahirkan ilmu tersendiri (ilmu praktis) seperti ketika si Wujil mempertanyakan tentang bagaimana terbenamnya matahari dan bulan, akhir utara dan selatan, berkaitan dengan kiblat dan gejala kehidupan yang senantiasa berubah. Jawabannya menghasilkan ilmu praktis dan teoritis seperti fisika, kosmologi, kosmogeni, ilmu pelayaran, geografi dan astronomi.

Dan tampaknya, pertanyaan-pertanyaan kritis macam inilah yang ditunggu oleh Sunan Bonang, sebab hanya melalui pertanyaan seperti itulah Sunan Bonang dapat menjabarkan sekaligus menyingkap tabir tasawuf kepada Wujil. Lihatlah jawaban Sunan Bonang atas pertanyaan Wujil tadi:

6
Sang Ratu Wahdat mesem ing lathi
Heh ra Wujil kapo kamangkara
Tan samanya pangucape
Lewih anuhun bendu
Atunira taha managih
Dening geng ing sakarya
Kang sampun alebu
Tan padhitane dunya
Yen adol warta tuku warta ning tulis
Angur aja wahdat

7
Kang adol warta tuhu warti
Kumisum kaya-kaya weruha
Mangke ki andhe-andhene
Awarna kadi kuntul
Ana tapa sajroning warih
Meneng tan kena obah
Tinggalipun terus
Ambek sadu anon mangsa
Lirhantelu outihe putih ing jawi
Ing jro kaworan rakta

8
Suruping arka aganti wengi
Pun Wujil anuntu maken wraksa
Badhi yang aneng dagane
Patapane sang Wiku
Ujung tepining wahudadi
Aran dhekeh ing Benang
Saha-saha sunya samun
Anggaryang tan ana pala boga
Ang ing ryaking sagara nempuki
Parang rong asiluman

9
Sang Ratu Wahdat lingira aris
Heh ra Wujil marangke den enggal
Tur den shekel kukuncire
Sarwi den elus-elus
Tiniban sih ing sabda wadi
Ra Wujil rungokna
Sasmita katenggun
Lamun sira kalebua
Ing naraka isung dhewek angleboni
Aja kang kaya sira
… 

11
Pangestisun ing sira ra Wujil
Den yatna uripira neng dunya
Ywa sumambar angeng gawe
Kawruhana den estu
Sariranta pon tutujati
Kang jati dudu sira
Sing sapa puniku
Weruh rekeh ing sariri
Mangka saksat wruh sira
Maring Hyang Widi
Iku marga utama

Artinya lebih kurang:

6
Ratu Wahdat tersenyum lembut
“Hai Wujil sungguh lancang kau
Tuturmu tak lazim
Berani menagih imbalan tinggi
Demi pengabdianmu padaku
Tak patut aku disebut Sang Arif
Andai hanya uang yang diharapkan
Dari jerih payah mengajarkan ilmu
Jika itu yang kulakukan
Tak perlu aku menjalankan tirakat

7
Siapa mengharap imbalan uang
Demi ilmu yang ditulisnya
Ia hanya memuaskan diri sendiri
Dan berpura-pura tahu segala hal
Seperti bangau di sungai
Diam, bermenung tanpa gerak.
Pandangnya tajam, pura-pura suci
Di hadapan mangsanya ikan-ikan
Ibarat telur, dari luar kelihatan putih
Namun isinya berwarna kuning

8
Matahari terbenam, malam tiba
Wujil menumpuk potongan kayu
Membuat perapian, memanaskan
Tempat pesujudan Sang Zahid
Di tepi pantai sunyi di Bonang
Desa itu gersang
Bahan makanan tak banyak
Hanya gelombang laut
Memukul batu karang
Dan menakutkan

9
Sang Arif berkata lembut
“Hai Wujil, kemarilah!”
Dipegangnya kucir rambut Wujil
Seraya dielus-elus
Tanda kasihsayangnya
“Wujil, dengar sekarang
Jika kau harus masuk neraka
Karena kata-kataku
Aku yang akan menggantikan tempatmu”

11
“Ingatlah Wujil, waspadalah!
Hidup di dunia ini
Jangan ceroboh dan gegabah
Sadarilah dirimu
Bukan yang Haqq
Dan Yang Haqq bukan dirimu
Orang yang mengenal dirinya
Akan mengenal Tuhan
Asal usul semua kejadian
Inilah jalan makrifat sejati”

Dalam bait-bait di atas dapat kita lihat bahwa pada awal suluk ini Sunan Bonang ingin menegaskan bahwa Manusia dan Tuhan itu adalah dua entitas yang berbeda satu sama lain tapi karena manusia merupakan cerminan dari Tuhan-Nya maka dengan pengetahuan diri manusia pun dapat mendekat dan lebih mengenal Tuhannya. Manusia menjadi citra Tuhannya. Pencitraan Tuhan dalam manusia ini terangkum dalam pertanyan: “Siapa sesungguhnya manusia itu? Bagaimana kedudukannya di atas bumi? Dari mana ia berasal dan kemana ia pergi setelah mati?

Demikianlah, dengan berbagai symbol dan tamsil baik lokal maupun universal Sunan Bonang pada karyanya ini ingin mengajak penikmat karyanya untuk melalui tahap-tahap perjalanan jiwa manusia dalam upaya mengenal dirinya yang hakiki, yang melaluinya pada akhirnya mencapai makrifat, yaitu mengenal Tuhannya secara mendalam melalui penyaksian kalbunya.