Sumpah pocong merupakan satu tradisi masyarakat Jawa dan Madura yang beragama Islam dan biasanya dilaksanakan di masjid dengan beberapa saksi. Dalam sumpah ini si ‘terdakwa’ dalam melakukan sumpahnya dibalut kain kafan layaknya orang yang sudah meninggal. Sumpah ini sendiri dilakukan biasanya untuk memecahkan sebuah kasus dengan sedikit bukti atau tak dapat dibuktikan sama sekali seperti tuduhan santet, harta warisan, dan lain-lain.
Dalam sistem peradilan di Indonesia sendiri sumpah pocong dikenal sebagai sumpah mimbar yakni sebuah sistem peradilan untuk memeriksa dan memutuskan kasus-kasus perdata. Meski tak tersirat dalam peraturan hukum perdata dan hukum acara perdata sumpah pocong bisa dikategorikan sebagai sumpah mimbar karena dalam pelaksanaannya sumpah ini untuk menyelesaikan perselisihan antara kedua belah pihak, yang satu sebagai tergugat melawan pihak lain sebagai penggugat.
Karena seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam sistem peradilan kita khususnya perdata harus memiliki bukti yang dapat diajukan dalam mengadili seseorang. Bukti itu sendiri terbagi dalam beberapa tahap yang antara lain bukti surat-surat resmi, beberapa orang saksi, dan bukti persangkaan yaitu dengan meneliti rentetan kejadian di masa lalu. Bila ketiga bukti ini belum juga memadai bagi hakim untuk memutuskan perkara maka barulah diajukan bukti lain yaitu berupa pengakuan dengan cara sumpah mimbar. Melalui bukti keempat inilah sumpah pocong melakukan peranannya.
Konon melalui sumpah pocong ini pulalah bila yang bersumpah ternyata berbohong maka yang bersangkutan pun akan mengalami berbagai kesialan seperti meninggal dunia (biasanya 1 sampai 40 hari setelah sumpah dilaksanakan) dan terkutuknya orang yang bersumpah ini hingga 7 turunan.
Jadi, meskipun kini jaman kian maju, sumpah pocong tetap mendapat tempat di masyarakat mengingat peranannya yang dianggap masih cukup kuat untuk menyelesaikan beberapa kasus yang sulit dibuktikan..