05 August 2013

Gatot Kaca, Ksatria Perkasa Nusantara dari Pegunungan Dieng

Alkisah dalam pengasingannya selama dua belas tahun Pandawa sempat mengembara sampai di sekitar Pegunungan Dieng. Dua belas tahun bukan waktu yang singkat untuk berputar-putar hanya di sekeliling India. Bhima dapat menaklukkan Raja Raksasa Harimba, penguasa hutan di pusat pulau Jawa. Adik sang raja, Harimbi jatuh cinta kepada Bhima, ksatria tinggi besar kuat berotot layaknya raksasa tetapi gagah penampilannya, tidak seperti raksasa yang rewo-rewo. Harimbi adalah raksasa wanita, akan tetapi hatinya sudah lembut, evolusi jiwanya mendahului penampilannya. Dewi Kunti, ibu Bhima yang waskita memahami wanita yang cocok sebagai pendamping sang putra, maka dia memoles Harimbi dengan operasi plastik zaman kuna menjadi wanita yang cantik, sehingga Bhima jatuh cinta. Dewi Kunti mendapatkan banyak ilmu dari Resi Durwasa, termasuk ilmu mendatangkan Dewa dan mempercantik wanita. Dewi Kunti juga ingat nasehat dari keponakannya, Prabu Kresna untuk menggunakan perkawinan sebagai pengikat persaudaraan. Sehingga seluruh Nusantara akan mendukung Koalisi Pandawa dalam berperang melawan Koalisi Korawa.

Gatotkaca mempunyai benih bawaan unggul kombinasi dari Bhima dan Harimbi. Sebagai raja muda di Pringgadani, Gatotkaca dalam Wayang Kulit Purwa digambarkan berujud raksasa, lengkap dengan taringnya. Namun sejak Susuhunan Paku Buwana II memerintah Kartasura, penampilan peraga wayang Gatotkaca dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa diubah menjadi ksatria tampan dan gagah, dengan wajah mirip Bima. Penampilan Gatotkaca yang khas adalah kumisnya yang lebat, sehingga di Jawa seseorang yang berkumis lebat dipuji sebagai keren bak Gatotkaca. Banyak nama Gatot di Jawa, karena orang tua sang anak berharap puteranya menjadi pahlawan Nusantara. Di tahun enampuluhan seorang anak yang melakukan sunatan sering diberi pakaian Gatotkaca dengan topi wayang, baju kotang bergambar bintang delapan, memakai badong, semacam hiasan punggung dan tentu saja kumis hitam dari bubuk arang.


Konon nama Kali Serayu sendiri berasal dari Sir Ayu, cinta kepada wanita ayu yaitu cintanya Bhima kepada Harimbi. Mata Air Kali Serayu berasal dari daerah sekitar Wonosobo yang bernama Tuk Bimo Lukar, Mata Air Bhima Lepas Pakaian. Arca Kunto Bimo bahkan ditempatkan di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang sebagai tanda bahwa Raja pembangun Candi Borobudur yang beragama Buddha pun menghormati Bhima, idola masyarakat setempat. Arca Bimo atau Kunto Bimo menggambarkan Bhima duduk bersila dengan sikap tangan dharmacakramudra. Ini isyarat pergerakan roda dharma. Bhima dalam perjalanan spiritualnya di Samudera Hindia menemukan jati dirinya setelah bertemu Dewa Ruci yang lidahnya berupa Acyntia, Yang Tak Dapat Diserupakan, kemudian dirinya digambarkan berada di dalam stupa dan telah mencapai ke-Buddha-an. Setiap ada kunjungan tamu negara, selalu ada acara merogoh stupa Kunto Bimo. Merogoh Kunto Bimo bahkan dianggap sebagai kepercayaan dalam tradisi setempat. Jika wanita berhasil menyentuh jempol kaki patung Buddha, atau pria menyentuh kelingking patung Buddha, maka keinginannya akan terkabul. 

Di dataran tinggi Dieng terdapat Candi Bhima, Candi Arjuna dan Candi Gatotkaca, selain juga ada Candi Semar. Juga terdapat Kawah Candradimuka, konon kawah tempat Gatotkaca digembleng menjadi ksatria perkasa. Terdapat juga legenda masyarakat sekitar Banyumas, bahwa kaum Korawa selalu memata-matai kegiatan Pandawa dalam pengasingannya. Dalam salah satu perkelahian mereka kemudian berlomba membuat kali sudetan ke Samudera Hindia. Bhima dengan kuku pancanakanya yang seakan menjadi kapal keruk berhasil menang menyudet kali dari pusar tanah Jawa ke Samudera Hindia melalui daerah Banyumas dan Cilacap. Sedangkan Korawa salah arah sehingga sungai yang digalinya malah bermuara di kali buatan Pandawa. Oleh Resi Bhisma kali Pandawa di sebut Serayu sedangkan kali Kurawa disebut Klawing. Tempat Bhima melepas pakaian selepas bekerja bakti disebut Tuk Bimo Lukar.

Kelahiran Gatotkaca
Kelahiran Gatotkaca menimbulkan kejadian yang menggemparkan. Tali pusarnya tidak dapat diputus dengan berbagai macam senjata keris dan panah. Alkisah Arjuna dan Karna sedang bertapa di tempat berbeda untuk mendapatkan senjata sakti sebagai persiapan perang di kemudian hari. Bathara Narada pembawa karunia senjata panah Kuntawijayadanu pun sulit membedakan kedua satria putra Dewi Kunthi tersebut. Dewa Surya memberi penerangan kepada tempat Karna bertapa, sehingga Narada memberikan senjata tersebut kepada Karna. Akan tetapi karena dia melihat tersirat semacam ketidak baikan dalam diri Karna, maka dia hanya memberikan Panahnya, sedangkan Sarungnya diberikan kepada Arjuna yang bertapa di tempat lain. Dengan berbekal sarung senjata Kuntawijayadanu tersebut, Arjuna memotong tali pusar Gatotkaca, akan tetapi sarung tersebut hilang masuk ke dalam diri Gatotkaca, sehingga Bayi Gatotkaca menjadi sakti. Setelah dewasa Gatotkaca tidak lupa kepada kebaikan sang paman, Arjuna dan pada hari ke lima belas perang Bharatayuda, dia mengorbankan diri untuk melenyapkan senjata Karna, agar pamannya dapat memenangkan pertarungan.

Setelah tali pusarnya putus, Gatotkaca dibawa Bathara Narada ke kahyangan untuk melawan Raksasa Kala Sakipu dan Kala Pracona. Karena Gatotkaca telah menyatu dengan sarung Kuntawijayadanu, maka Bayi Gatotkaca tidak dapat dibunuh mereka bahkan sempat menggigit mereka sehingga kedua raksasa itu mati.

Oleh Bathara Guru, Gatotkaca diberi tiga karunia. Karunia pertama adalah Kotang Antakusuma yang membuat Gatotkaca dapat terbang dengan cepat. Karunia kedua adalah topi bernama Caping Basunanda, yang mempunyai kesaktian apabila kena panas tidak terasa panas dan apabila kena hujan tidak menjadi basah. Karunia ketiga, berupa sepatu Pada Kacarma yang mempunyai kesaktian tidak akan terkena pengaruh dari suatu tempat.

Cinta membuat Gatotkaca lalai
Ketika menginjak dewasa Gatotkaca jatuh cinta pada Dewi Pergiwa, puteri dari Arjuna dan adik dari Abimanyu. Gatotkaca adalah seorang tokoh yang tahu balas budi. Karena Arjuna yang dapat memotong tali pusarnya kala dia masih bayi, maka dia selalu menghormati keluarga Arjuna, pamannya sendiri. 

Sejak kecil Gatotkaca dirawat Arya Kalabendana, adik ibunya yang paling kecil. Kalabendana yang berwujud raksasa kunthing, cebol mempunyai karakter sangat jujur, setia, suka berterus terang dan tidak bisa menyimpan rahasia. Dia sangat mencintai Gatotkaca keponakannya. Pada suatu hari, Gatotkaca bepergian bersama Abimanyu, sedangkan Dewi Siti Sundari putri Prabu Kresna yang menjadi istri Abimanyu ditinggalkan bersama Arya Kalabendana. Karena perginya berhari-hari tidak kembali, Dewi Siti Sundari meminta Arya Kalabendana mencari mereka. Dengan membaui keringat keponakannya Gatotkaca, Arya Kalabendana dapat menemukan Abimayu dan Gatotkaca yang sedang berada di kerajaan Wirata. Abimanyu sedang berkasih mesra berselingkuh dengan Dewi Utari. Begitu melihat hal tersebut, Arya Kalabendana berteriak, agar Gatotkaca dan Abimanyu cepat pulang, Dewi Siti Sundari di rumah amat cemas karena mereka belum pulang.

Dewi Utari, paham kalau Abimanyu sudah punya istri, dan sangat kecewa karena telah mengelabui dirinya. Dewi Utari memberikan laknat sumpah bahwa besok dalam perang Bharatayuda Abimanyu akan mati mendapatkan luka arang kranjang, banyak luka bersamaan pada tubuhnya. Gatotkaca marah dan menampar Arya Kalabendana, dan tanpa sadar tangan dengan kesaktian Bajramusti, Vajra Shakti, Tangan Geledek nya langsung mematikan pamannya. Sebelum meninggal, mata Arya Kalabendana berair, berkata lirih, “Dalam perang Bharatayuda kamu pun akan terbunuh oleh pamanmu sendiri”. Gatotkaca menyesal, akan tetapi dia menyadari bahwa seserorang yang menanam benih, pada waktunya tentu akan memanen hasilnya. Gatotkaca sadar paman yang dimaksudkan arya Kalabendana adalah Adipati Karna, putera Eyang Putri Dewi Kunti lain kakek.

Alam kembali menorehkan catatannya, tidak ada hal baru di dunia ini. Catatan lama berulang dengan berganti setting. Delapan ribuan tahun sebelumnya dalam zaman Prabu Arjuna Sasrabahu, Raden Sumantri tanpa sengaja membunuh adiknya Raden Sukrasana yang amat sayang kepadanya, sehingga dia pun mati di tangan Rahwana. Kali ini, Gatotkaca tanpa sengaja membunuh pamannya yang sangat sayang kepadanya, dan dia pun akan mati dalam perang Bharatayuda oleh Adipati Karna. Bukan secara kebetulan , kalau gambaran Raden Sukrasana dan Arya Kalabendana tidak banyak berbeda, seorang raksasa cebol dengan lidah celat sakti dan penuh kasih sayang. Jangan menyepelekan orang yang berjasa walau bagaimanapun penampilannya.

Pahlawan dalam perang Bharatayuda
Bagi Raden Gatotkaca: “Bagiku dharma-ku adalah sebagai perajurit untuk maju berperang, sangha-ku adalah Pandawa, persaudaraan pembela kebenaran, Kendra-ku, pusat tujuanku adalah Prabu Kresna”. 

Dalam perang Baratayuda Gatotkaca diangkat menjadi senapati dan gugur pada hari ke-15 oleh senjata Kuntawijayadanu yang dipanahkan oleh Adipati Karna. Senjata Kunta Wijayadanu itu melesat menembus perut Gatotkaca melalui pusarnya dan masuk ke dalam sarungnya yang menyatu di perut Gatotkaca. Saat berhadapan dengan Adipati Karna sebenarnya Gatotkaca sudah tahu akan bahaya yang akan mengancam jiwanya. Dia ingat hutang nyawanya terhadap pamannya yang akan segera dilunasinya. Ketika Adipati Karna memanahkan senjata Kuntawijayadanu, dia terbang amat tinggi. Namun senjata sakti itu terus saja memburunya, bak peluru kendali, seakan dibantu ruh paman Kalabendana yang pernah dizaliminya, sehingga akhirnya Gatotkaca gugur. Gatotkaca ingat pelajaran dari Kumbakarna yang sebelum matipun perlu memusnahkan musuhnya sebanyak mungkin. Ketika jatuh ke bumi, Gatotkaca berusaha agar jatuh epat pada tubuh Adipati Karna, tetapi senapati Kurawa itu waspada dan cepat melompat menghindar sehingga kereta perangnya hancur berkeping-keping dan semua senjata yang berada di dalam keretanya meledak dan membunuh banyak pasukan Kurawa.

Sebenarnya, sewaktu berhadapan dengan Gatotkaca, Adipati Karna enggan menggunakan senjata Kuntawijayadanu. Ia merencanakan hanya akan menggunakan senjata sakti itu bila berhadapan dengan Arjuna. Namun ketika Raja Duryudana menyaksikan betapa Gatotkaca telah menimbulkan banyak korban dan kerusakan di pihak Kurawa, ia mendesak agar Karna menggunakan senjata pamungkas itu. Hal itu tidak lepas dari strategi Prabu Kresna untuk melenyapkan Senjata Kuntawijayadanu yang hanya dapat digunakan sekali saja, sehingga Arjuna dapat memenangkan pertempuran. 

Pada waktu perang Bharatayuda, Gatotkaca sudah mempunyai tingkat spiritual yang tinggi akibat didikan Harimbi dan Bhima serta ajaran dari Prabu Kresna. Gatotkaca sudah sadar bahwa sebagai abdi, sebagai hamba, yang yakin akan keilahian Prabu Kresna, maka dia wajib patuh terhadap apapun perintah Kendra-nya, Prabu Kresna. Di Nusantara, Gatotkaca sudah mendapat pelajaran dari ibunya tentang bagaimana Raden Sumantri melakukan bakti kepada seorang PrabuArjuna Sasrabahu titisan Batara Wisnu. Kini dia akan mengulanginya kepada Prabu Kresna, titisan Batara Wisnu juga. Bagi seorang abdi atau hamba hanya ada one pointedness, eka grata, satu fokus sehingga dia bekerja tanpa pamrih pribadi lagi. Dalam bahasa musik karawitan, seluruh niyaga, penabuh gamelan dengan berbagai alat musiknya wajib patuh mengikuti alunan suara Sang Pembawa Vokal dalam irama yang harmoni. Para perwira, para menteri yang patuh dengan komandan sangat diperlukan dalam mempertahankan kewibawaan suatu negara. Gatotkaca ingat nasehat para leluhurnya di Nusantara yang berpesan bahwa setiap warga harus: “Melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sariro hangroso wani” terhadap negaranya. Nasehat leluhur tersebut dirumuskan secara resmi oleh Sri Mangkunagara I setelah 5.000 tahun kemudian. Setiap warga harus bertanggung jawab: merasa memiliki, membela dengan penuh pengorbanan, serta mengadakan intropeksi terhadap tindakan bangsanya. Bangsa Indonesia dapat dikatakan mempunyai genetik bawaan Gatotkaca yang diwariskan secara turun-temurun.

Dalam Bhagawad Gita Percakapan Ketiga, Karma Yoga, Prabu Kresna bersabda: “Alam ini memberi apa yang kau inginkan sebagai pengganti persembahanmu. Tetapi bagi yang menikmati pemberian alam tanpa mengembalikan sesuatu, akan dipertimbangkan sebagi seorang pencuri. Ia yang berkarya dengan semangat persembahan menikmati hasilnya, dengan cara demikian ia terbebaskan dari semua kejahatan. Mereka yang mementingkan diri sendiri, dengan cara demikian mereka memperoleh ketakmurnian”. Pelajaran Prabu Kresna kepada paman Arjuna tersebut tiba-tiba meresap ke dalam hati Gatotkaca. Aku harus tidak mementingkan diri sendiri, aku putra Bhima dari Pandawa, aku juga harus tahu balas budi kepada Paman Arjuna yang memotong tali pusarku dan aku harus tunduk kepada Prabu Kresna, titisan Wisnu.

Keteladanan Gatotkaca
Para leluhur kita mempunyai figur-figur keteladanan, yang menjadi inspirasi bagi generasi muda dalam berjuang membela negara dengan pengorbanan jiwa dan raganya.

Selanjutnya diperlukan tumbuhnya suatu kesadaran dalam diri bahwa hidup ini hanya bersifat sementara, ada awal yang diikuti pertumbuhan, kemudian proses penuaan dan akhirnya mati. Mencari kebahagiaan abadi dengan pamrih atau motivasi di luar diri kurang tepat, karena kebahagiaan abadi hanya terdapat pada sesuatu yang abadi. Semua yang ada di alam ini mempunyai awal dan mempunyai akhir sehingga bersifat tidak abadi. Yang abadi hanya Dia yang bersemayam didalam dan di luar diri. Menyatukan niat, pikiran, ucapan dan tindakan dengan Dia menimbulkan kebahagian murni. Apa pun yang terjadi di dunia ini terkena hukum sebab-akibat. Hanya menyatu dengan Dia, yang dapat melampaui hukum sebab-akibat. Alam telah memberikan teladan nyata dalam bertindak altruistis, penuh kasih, tidak membeda-bedakan dan hanya bertindak sesuai dengan kodrat yang ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa.

Pendidikan budi pekerti memegang peranan penting dalam pembentukan karakter di dalam diri, agar manusia hidup menggunakan hati nurani dan dapat mengalahkan egonya. Sudah saatnya kita bangkit, DNA Gatotkaca, Leluhur Sriwijaya dan Majapahit masih mengalir dalam diri kita. Para founding fathers sudah lama menunggu kebangkitan kita. Bangkit para Gatotkaca Nusantara. Bangkitlah! Hidup adalah sebuah perjuangan. Berjuanglah terus-menerus demi penegakan dharma, demi hancurnya adharma. Kita tidak di sini untuk saling jarah-menjarah, atau saling rampas-merampas. Kita tidak mewarisi budaya kekerasan dan barbar seperti itu. Jangan berjuang untuk tujuan-tujuan kecil yang tidak berguna. Jangan berjuang untuk memperoleh kursi yang dalam beberapa tahun saja menjadi kadaluarsa. Jangan berjuang untuk memperoleh suara yang tidak cerdas.

Berjuanglah untuk tujuan besar untuk sesuatu yang mulia. Berjuanglah untuk memperoleh tempat di hati manusia, ya manusia, bukan di hati raksasa. Berjuanglah untuk mencerdaskan sesama anak manusia, supaya mereka memahami arti suara mereka, supaya mereka dapat menggunakan hak suara mereka sesuai dengan tuntutan dharma. Perjuangan kita adalah perjuangan sepanjang hidup. Perjuangan kita adalah perjuangan abadi untuk melayani manusia, bumi ini dengan seluruh isinya, bahkan alam semesta. Janganlah mengharapkan pujian dari siapa pun jua. Janganlah menjadikan pujian sebagai pemicu untuk berkarya lebih lanjut. Berkaryalah terus menerus walau dicaci, dimaki, ditolak. Berkaryalah karena keyakinan pada apa yang mesti kita kerjakan. 

***

Diambil dari buku Be the Change karya Anand Krishna Dan di copas dari sini.