Tidak hanya pesta perkawinan yang bisa menelan biaya yang sangat besar, bahkan upacara kematian pun untuk beberapa suku bisa menelan biaya yang juga tidak sedikit bahkan hingga mencapai ratusan juta. Salah satu contoh upacara kematian yang menelan biaya cukup besar adalah salah satunya upacara Rambu Solo di tanah Toraja.
Upacara rambu solo adalah semacam perayaan atau upacara adat untuk penghormatan terakhir sekaligus mengantar orang tercinta yang telah meninggal dunia menuju ke alam puya atau alam baka. Dan karena ini merupakan upacara yang dilaksanakan demi untuk menghormati orang tercinta maka segala sesuatunya pun di buat semegah mungkin. Berpuluh-puluh kerbau dikorbankan, beratus-ratus babi disemelih, dan beribu-ribu ayam di potong untuk perayaan ini. Kerbau-kerbau dan binatang ternak lainnya yang akan dikorbankan ini diikat di sebuah pancang batu yang bernama simbuang batu. konon setiap keluarga memiliki batu-batu ini dan diwarisi secara turun temurun dari mulai upacara rambu solo yang pertama ketika keluarga atau dinasti mereka meninggal. Dan biasanya semakin tinggi status sosial yang disandang keluarga mendiang maka semakin meriah pula perayaan rambu solo ini. Oleh karena itu, karena upacara dan perayaan ini menelan biaya yang sangat besar dan memerlukan waktu yang juga sangat panjang (bisa hingga berhari-hari) maka tak jarang perayaan ini baru dilaksanakan 6 bulan setelah si mendiang meninggal. Jadi ketika ada salah satu keluarga di Toraja tapi belum melaksanakan upacara rambu solo maka Walau secara medis orang yang bersangkutan telah dianggap meninggal dunia, berdasarkan adat istiadat Toraja, orang yang mati dianggap sedang tidur selama keluarga belum menjalankan upacara Rambu Solo dan masih diperlakukan layaknya orang yang menderita sakit.
Perayaan upacara Rambu Solo ini dibuka dengan berkumpulnya segenap keluarga dan kerabat sang mendiang untuk melantunkan syair kesedihan dalam tarian yang disebut mabadong. Tarian mabadong ini menyimbolkan bahwa betapa keluarga yang ditinggalkan oleh mendiang begitu berduka sekaligus mengenang kembali-jasa-jasa beliau semasa hidupnya. Kemudian disusul dengan ritual berikutnya yaitu ritual Ma’tundan. Ma’tundan adalah sebuah prosesi untuk membangunkan arwah untuk diantarkan ke alam lain yaitu alam keabadian atau alam puya. Pada ritual ini suasana duka begitu terasa karena dengan dilaksanakannya prosesi ini maka arwah mendiang pun pergi meninggalkan keluarga untuk melanjutkan kehidupannya di alam puya.
Sementara itu disaat prosesi Ma’tundan ini berlangsung, di luar tepatnya di halaman lumbung padi diadakan ritual tumbuk padi yang dilakukan oleh para wanita tua yang memilii keahlian menumbuk padi di lesung. Bunyi-bunyian yang keluar dari lesung inilah yang kemudian mengiringi jasad orang yang meningga tersebut untuk dipindahkan dari rumah duka menuju rumah adat tongkonan untuk disemayamkan selama satu malam.
Maka, sanak saudara dan keluarga bahu-membahu mengangkat peti jenazah yang beratnya mencapai 100 kilogram untuk dinaikkan ke dalam rumah adat. Menurut adat Toraja prosesi ini melambangkan penyatuan kembali jenazah dengan para leluhurnya. Di dalam rumah adat, peti berisi jasad itu harus dijaga semalam suntuk oleh sanak keluarga.
Seiring dengan diangkatnya jasad mendiang ke rumah adat maka digelarlah tarian adat sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada mendiang. Kemudian kain merah yang disebut lamba-lamba sebagai lambang kebesaran suku Toraja pun dibentangkan untuk jalan yang akan dilalui oleh mendiang menuju alam puya.
Setelah sampai, peti jenazah pun diletakkan di bawah rumah adat yang digunakan sebagai lumbung selama tiga malam. Peletakan jenazah ke dalam lumbung selama tiga malam ini menandakan bahwa jasad mendiang telah menuju pada fase kematian yang sebenarnya.