17 July 2014

Kearifan Lokal Masyarakat Ciomas dalam Melestarikan Hutan

KEHIDUPAN dan gaya hidup modern adakalanya membuat manusia menjadi tidak lagi peka terhadap lingkungannya. Segalanya melulu tentang bergegas dan mengejar. Kendaraan bermotor dengan berbagai jenis dan merk kini semakin menyesaki jalanan sebagai upaya untuk berlomba dengan waktu. Dan tentu saja konsekwensi logis dari keadaan ini adalah bahwa oksigen disekitar menjadi tak lagi nyaman untuk dihirup, suhu menjadi lebih panas dari sebelumnya, dan keadaan kian terasa bising. 

Tentu saja, manusia tak harus kembali ke zaman Flinstone jika ingin menikmati bumi yang nyaman untuk ditinggali. Ini keniscayaan yang harus dihadapi dan akan terlalu naïf jika kita membayangkan sebuah dunia tanpa kendaraan bermotor sama sekali. Kita hanya perlu sedikit peduli terhadap lingkungan sebagai keseimbangan atas apa yang kita lakukan selama ini. Dan salah satu yang mendasar dari semuanya adalah dengan pelestarian hutan. Hutan adalah sebuah tempat di mana terdapat sekumpulan flora dan fauna bermukim. Dari salanah berton-ton oksigen diproduksi guna dikonsumsi oleh manusia tiap harinya. Tidak hanya itu, menurut beberapa ahli konon untuk satu hektar hutan dapat menyimpan sekitar 900 meter kubik air tanah tiap tahunnya, dapat mentransfer air sekitar 4000 liter per harinya, mampu menurunkan suhu sekitar 5 sampai 8 derajat celcius dan meredam kebisingan antara 30 hingga 80 persen. Dan yang paling relevan dengan keadaan kita saat ini adalah bahwa pepohonan tersebut mampu menetralkan polutan yang dihasilkan kendaraan bermotor (C02 dan H2O) melalui O2 yang mereka hasilkan. 

Kita punya banyak referensi yang bisa di gunakan untuk upaya mencintai hutan. Tak perlulah kita melongok ke negara lain bagaimana mereka menjaga hutan-hutannya. Kita hanya perlu sedikit kembali menengok kepada budaya dan kearifan lokal warisan nenek moyang kita untuk benar-benar peduli dengan hutan. Hampir di semua daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal dalam hal menjaga kelestarian hutan ini. Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, menurut data statistik kependudukan tahun 2010 sekira 78 persennya tinggal di wilayah pedesaan dan rata-rata berada di sekitar wilayah hutan. Masyarakat yang dekat dengan kawasan hutan ini tak perlu diragukan lagi, bahwa mereka pada umumnya memiliki kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan lokal dalam hal pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya, yang dalam hal ini dikembangkan secara turun temurun.

Dan karena pengetahuan akan pelestarian hutan dari pola-pola yang berkembang pada kearifan lokal merupakan akumulasi dari pengetahuan mereka selama berinteraksi secara simultan dengan lingkungan sekitarnya (pengamatan dan pengalaman), maka tentu saja pola-pola yang terdapat dalam kearifan lokal ini pun bisa jadi akan berbeda-beda di tiap daerah meski dengan tujuan yang sama. 

Salah satu kearifan lokal dalam hal menjaga kelestarian hutan yang membuat penulis terkesan adalah adat yang dimiliki oleh masyarakat di Desa Ciomas, Ciamis, Jawa Barat. Desa Ciomas yang secara geografis berada di Kaki gunung Sawal (1764 mdpl) ini memiliki satu adat budaya yang begitu sistematis dan terprogram yang berkaitan dengan pelestarian hutan.

Masyarakat di Desa ini memiliki satu kearifan lokal warisan nenek moyang mereka mengenai pelestarian lingkungan yang sampai saat ini masih dengan teguh mereka jaga. Salah satunya adalah dengan masih menetapkannya Leuweung Larangan (hutan larangan) di kawasan Gunung Sawal sebagai tempat yang harus betul-betul dijaga kelestariannya.

Di samping itu, ada pula beberapa tahapan dalam adat masyarakat Ciomas yang mengedepankan pola-pola sistematis dan bertahap dalam hal pelestarian hutan di lingkungan mereka. Tahapan adat itu terbagi dalam tiga tahap yang begitu sistematis dan penuh perhitungan. Inilah tahap-tahap dalam adat Masyarakat Ciomas dalam hal menjaga lingkungan hutan agar tetap lestari:

1. Kabarataan
Kabarataan adalah sebuah adat yang mengedepankan pada analisis yang mendalam terhadap kerusakan-kerusakan hutan yang terdapat dalam tata wilayah mereka. Dalam adat Kabarataan ini meliputi menghitung berbagai kerusakan hutan, menetapkan waktu pemulihan kerusakan tersebut (Tata Wayah) dan juga rancangan kerja tentang apa-apa saja yang harus dilakukan untuk memulihkan kerusakan (Tata Lampah). Tidak hanya itu, dalam adat Kabarataan ini juga diadakan upacara penanaman pohon panayogian atau penanda yang disebut dengan nama Ki Pasang, mengingat pohon yang di tanam adalah dua jenis pohon yang sama dan berdampingan. Dalam prosesi adat menanam pohon panayogian biasanya dilakukan pada akhir menjelang rangkaian adat Kabarataan berakhir. Yang membuat saya terkesan adalah, untuk pohon yang di tanam dalam Panayogian ini masyarakat adat mewajibkan untuk hanya menanam jenis pohon yang tumbuh di wilayah itu dan sama sekali tidak dibolehkan untuk menanam pohon yang berasal dari luar daerah tersebut. Hal itu tentu saja dilakukan bukan dengan tanpa alasan sama sekali.

Tujuan utama dari penanaman pohon yang harus dari wilayah tersebut dengan perhitungan bahwa adaftasi sebuah tanaman dengan tanah dan lingkungan baru adakalanya memakan proses yang tidak selamanya berjalan mulus. Jika pohon yang ditanam merupakan tanaman asli dari wilayah tersebut maka diharapkan proses adaptasi dan pertumbuhan dari sang pohon yang baru di tanam bisa lebih mudah dilalui.

2. Kadewaan
Untuk tahapan berikutnya setelah prosesi adat Kabarataan berakhir maka dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya yakni melaksanakan adat Kadewaan. Kadewaan sendiri pada prinsipnya adalah awal dimulainya proses pemulihan hutan dan lingkungan termasuk mata air, sungai, dan aneka tumbuhan di sekitar wilayah tersebut yang pada saat adat Kabarataan dianggap sudah waktunya dipulihkan dari kerusakan-kerusakan. Maka, jika dalam adat Kabarataan adalah berupa analisis yang mendalam untuk mendeteksi kerusakan-kerusakan lingkungan berikut dengan pola-pola apa saja yang akan diambil dalam upaya penyembuhan lingkungan yang rusak tersebut, maka dalam adat Kadewaan ini adalah upaya pelaksanaan dari pemulihan itu sendiri. Dalam Kadewaan ini, masyarakat diwajibkan untuk menanam pohon di tempat-tempat yang dianggap telah rusak. Dan seperti pada adat Kabarataan, pohon-pohon yang ditanam di sini pun harus berasal dari jenis pohon yang ada di wilayah tersebut. 


3. Karatuan
Untuk tahapan terakhir dari rangkaian adat ini adalah pelaksanaan adat karatuan. Adat Karatuan adalah sebuah proses berkesinambungan antara terus memulihkan lingkungan dan juga menjaga keberlangsungan pemulihan itu sendiri hingga tercapai sebuah tata lingkungan yang benar-benar subur, bersahabat dan tentu saja bisa diambil manfaatnya oleh penduduk setempat. Maka dari itu, dalam adat karatuan ini sifatnya jangka panjang dan oleh karenanya waktu yang ditetapkan pun adakalanya hingga ratusan tahun.

Dari tahapan-tahapan adat tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa untuk melestarikan hutan tidak selamanya diperlukan biaya yang besar dan peralatan-peralatan mutahir. Semua biaya dan alat-alat mutahir itu tentu juga berguna tapi yang terpenting dari semuanya adalah kesadaran masyarakatnya itu sendiri. Adakalanya biaya besar dengan alat-alat mutahir tak berguna sama sekali jika kesadaran masyarakatnya untuk mencintai lingkungan tidak ada. Peralatan-peralatan mutahir itu bisa jadi hanya akan jadi rongsokan tiada guna, pun biaya yang besar tak akan menghasilkan apapun selama manusianya sendiri selaku oknum tak memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungannya, karena menjaga lingkungan adalah sebuah proses yang simultan dan bukan abra kadabra, dan semuanya menjadi kembali seperti apa yang kita harapkan.

Itu baru satu model pelestarian hutan melalui metode kearifan lokal yang ada di bumi Nusantara ini, sementara kearifan lokal yang mengedepankan pola-pola kecintaan terhadap lingkungan di Indonesia tak bisa kita pungkiri, teramat banyak. Jika saja kearifan lokal-kearifan lokal semacam ini tetap senantiasa lestari di Indonesia tentu mencintai lingkungan sekitar di Indonesia tak perlu lagi harus dikampanyekan. Lagipula, ketika kearifan lokal-kearifan lokal itu lestari, maka bukan saja lingkungan Indonesia menjadi lebih hijau, tapi juga bisa dijual kepada turis-turis asing maupun lokal sebagai wisata budaya. Ini sektor potensial yang adakalanya luput dari perhatian pemerintah kita. Pun dengan televisi yang sejatinya bisa dijadikan corong sebagai alat kampanye dan promosi gratis adakalanya malah membuat program-program yang menyesatkan tentang masyarakat adat yang masih begitu teguh memegang tradisinya. Acara-acara seperti Primitive Runaway misalnya, bukannya menyorot sesuatu yang lebih penting seperti betapa kehidupan mereka begitu selaras dengan alam, filosofi-filosofi kehidupan yang adiluhung dan layak digali, dan sebagainya, malah memposisikan kaum adat ini sebagai kaum yang terbelakang dengan segala pola hidupnya yang ajaib, dan para artis selaku bintang tamu diposisikan sebagai manusia-manusia modern yang maha agung dan beradab.

Padahal, untuk beberapa hal, kita semua lebih primitive dari mereka. Mereka mungkin ketinggalan jauh soal teknologi tapi tidak dalam hal lainnya. Kita adakalanya sangat tidak beradab dalam memperlakukan alam. Dan kita layak untuk menggugu dan meniru mereka dalam banyak hal tentang bagaimana caranya mencintai alam. Karena kita hidup di bumi yang sama. Maka, akhir kata. Mari bergadeng tangan dan saling mempengaruhi untuk bumi yang lebih layak untuk ditinggali.