Datang ke Singkawang, Kalimantan Barat saat perayaan Cap Go Meh, menimbulkan sensasi tersendiri. Dalam perayaan ini ada sebuah parade atraksi yang dilakukan oleh warga Dayak-Tionghoa dalam merayakan Cap Go Meh yang diberi nama Pawai Tatung. Bagaimana tidak, dalam parade ini warga Dayak-Tionghoa akan memamerkan kesaktiannya dalam hal kekebalan tubuh dan kemampuan menusukkan benda-benda tajam pada bagian tubuh tanpa sedikitpun kterlihat rasa sakit. Di Pawai Tatung ini, nyaris semua peserta pawai, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan anak-anak berjalan dengan muka dan anggota tubuh lain penuh dengan tusukan benda tajam.
Kata “Tatung” sendiri dalam bahasa Hakka adalah orang yang kerasukan roh, dewa, leluhut, atau kekuatan supranatural. Maka tak heran jika melihat pawai tatung ini kita seperti melihat pertunjukkan debus secara kolosal.
Dan jika kita mengikuti dari awal sebelum pawai Tatung berlangsung, maka kita akan menyaksikan satu persatu warga Dayak-Tionghoa ini datang ke vihara untuk bersembahyang dan sekaligus meminta izin kepada para Dewa, agar ketika pawai Tatung berlangsung, tak terjadi hal-hal buruk yang tak diinginkan.
Baru ketika menjelang sore, seorang pemuka agama setempat akan melaukakn upacara atau ritual pemanggilan tatung. Pemanggilan Tatung ini sendiri adalah sebauah ritual untuk memanggil roh atau arwah dari orang yang sudah meninggal dan diyakini semasa hidupnya merupakan orang baik, yakni roh pahlawan dalam legenda Tiongkok, seperti panglima perang, hakim, sastrawan, pangeran, pelacur yang sudah bertobat dan orang suci lainnya. Kenapa yang dipanggil hanya roh-roh baik saja adalah karena roh baik diyakini akan mampu menangkal roh jahat yang hendak mengganggu keharmonisan masyarakat. Roh-roh yang dipanggil ini dapat merasuki siapa saja, tergantung apakah para pemeran tatung memenuhi syarat dalam tahapan yang ditentukan pendeta. Para tatung diwajibkan berpuasa selama tiga hari sebelum hari perayaan, dengan maksud mereka berada dalam keadaan suci sebelum perayaan. Tatung diyakini memiliki kekuatan supranatural, mampu melakukan pengobatan dan pengusiran unsur-unsur jahat (tolak bala).
Setelah semua tahapan ritual dilakukan, maka saatnya untuk memulai arak-arakan pawai tatung. Pawai ini sendiri dimulai dari altar vihara, setelah sebelumnya para pemuka agama memberikan sesembahan kepada Desa To Pe Kong, agar diberkahi keselamatan dalam menjalani pawai ini. Dan setelah para Tatung dirasuki roh-roh baik, tubuh para Tatung pun akan menjadi kebal dan siap diarak keliling kota, dengan mengenakan pakaian kebesaran yang melambangkan kesukuan mereka.
Diiringi genderang, peserta pawai mengenakan kostum gemerlap pakaian kebesaran Suku Dayak dan negeri Tiongkok di masa silam. Atraksi tatung dipenuhi dengan hal mistik dan menegangkan. Misalnya, ada tatung yang berdiri tegak diatas tandu menginjakan kaki di sebilah mata pedang atau pisau. Ada pula yang menancapkan kawat-kawat baja runcing ke pipi kanan hingga menembus pipi kiri.
Para tatung ini melakukan atraksi mempertunjukkan kekebalan mereka, sesekali mereka harus minum arak, atau bahkan menghisap darah ayam yang secara khusus disiapkan sebagai ritual. Pecahan kaca diinjak, atau bahkan kaki para tatung menginjak bagian tajam dari sebilah pedang. Para tatung diarak dengan jalan kaki, namun sebagian lain berdiri diatas tahta yang dipanggul oleh 4 orang, layaknya pembesar dari negeri Tionghoa.
Hebatnya, meski badan mereka penuh dengan tusukkan benda-benda tajam, atau kaki-kaki mereka menginjak mata pedang dan pecahan kaca, tubuh mereka tak terluka sama sekali dan wajah mereka tak terlihat sedikitpun menahan rasa sakit. Semua Tatung terlihat gembira melakukannya dan menyapa penonton di pinggir jalan sembari memamerkan atraksi-atraksi menarik.
Adapun rute yang dilewati pawai para Tatung ini sendiri adalah mulai dari altar vihara, Lapangan Kridasana menuju Jalan Pelita, kemudian mengarah ke Jalan Yohana Godan dan Jalan GM Situt. Perjalanan kemudian berlanjut ke Jembatan Pasar Ikan, mengarah ke Jalan Saad dan mengarah ke Jalan Setia Budi dan ke jalan Toko Obat 1001 dan ke Jalan Budi Utomo serta melewati Jembatan Rusen. Dari Jembatan Rusen, perjalanan mengarah ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya dan ke Jalan Sejahtera. Setelah itu, pawai diarahkan menuju Jalan Kepol Mahmud dan berakhir di Muka Altar Lelang. Terakhir, mereka berkumpul untuk melakukan sembahyang bersama kepada Thian (Tuhan) di altar pusat perayaan Cap Go Meh di Singkawang.