Nimbang Bunting adalah tradisi atau ritual adat masyarakat Palembang utuk mendoakan usia kehamilan menginjak tujuh bulan. Dalam upacara adat Nimbang Bunting ini banyak sekali nilai-nilai filosofi yang terkandung di dalamnya seperti bedak warna-warni yang dikenakan sang calon ibu yang melambangkan berwarnanya kehidupan yang akan dilalui sang bayi, atau dibacakannya Kitab Manakib Syech Muhammad Saman, seorang tokoh dari Mekah yang konon begitu menyayangi kedua orang tuanya. Harapannya tentu saja sang anak nantinya akan mentauladani sifat-sifat dari Syeh Muhammad Saman.
Tahapan yang akan dilalui oleh sang calon ibu dalam prosesi adat Nimbang Bunting ini adalah pertama-tama sang ibu hamil didudukkan di atas Papan Pasang menggunakan pakaian adat Nimbang Bunting yaitu kain (sewet) yang dililitkan ke dada seperti kemben. Kemudian lengan si ibu hamil diletakkan di atas timbangan untuk mengetahu berat bobot dari lengannya. Bobot inilah yang kemudian akan dijadikan patokan untuk menentukan berat sewet yang digunakan.
Setelah itu si ibu hamil akan dibacakan Kitab Manakib Syech Muhammad Saman sambil dibaluri dengan bedak tiga warna, yakni putih, merah dan hijau. Ketiga warna bedak ini melambangkan siklus hidup yang akan dilalui sang bayi kedepannya. Syech Muhammad Saman sendiri adalah seorang tokoh agama dari Mekah yang begitu dihormati oleh masyarakat Palembang karena begitu berbakti kepada orang tuanya. Bahkan konon karena begitu mencintai orang tuanya, beliau rela tidak makan demi agar kedua orang tuanya cukup makan.
Setelah prosesi balur bedak dan pembacaan kitab Manakib Syech Muhammad Saman selesai, berikutnya adalah si ibu hamil itu dimandikan oleh orang tua, mertua dan beberapa kerabat perempuan terdekatnya. Tiap kali disiram dan sewet telah basah, maka si ibu hamil itu akan berganti sewet lainnya hingga tujuh kali. Dan ketika acara siraman itu selesai, si ibu hamil pun akan disuapi nasi kunyit panggang ayam sebagai prosesi penutup dari ritual adat Nimbang Bunting tersebut.