19 April 2022

Perang Topat, Tradisi Penuh Makna dari Lombok

Perang Topat adalah sebuah tradisi yang ada di wilayah Kabupaten Lombok Barat, tepatnya di Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar. Konon adanya tradisi ini pada awalnya adalah untuk meredam potensi konflik pada jaman dulu ketika di Desa Lingsar kedatangan seorang ulama dari Demak yang bernama Raden Sumilir untuk menyebarkan agama Islam, tapi di saat yang bersamaan datang pula pemuka agama Hindu dari Bali yang juga punya tujuan untuk menyebarkan agamanya di sana.

Dalam keadaan yang nyaris berujung konflik keagamaan itulah kemudian tercetus sebuah ide dari para tetua di sana untuk meredam konflik dengan mengadakan sebuah ritual tradisi yang kemudian disebut dengan istilah Perang Topat. Melalui Perang Topat inilah kemudian konflik antar dua pemeluk agama tidak terjadi karena pada ritual budaya ini kedua pemeluk agama saling membaur untuk ikut andil memeriahkan perhelatan budaya tersebut. 

Ritual ini biasanya dilaksanakan tiap tahunnya selepas Ashar pada bulan purnama hari ke tujuh menurut kalender Sasak, tepat setelah selesainya persembayangan umat Hindu. Warga Sasak menyebut waktu itu sebagai raraq kembang waru atau di saat bergugurannya kembang waru sekitar pukul 17.00. 

Dari sini kita bisa belajar betapa toleransi dan fluralisme antar pemeluk agama begitu kuat dan melebur satu sama lain. Pelaksanaan ritual budaya Perang Topat ini sendiri dihelat di dua tempat yakni di Kemalik dan Pura. Sebelum acara perang topat dimulai, ketupat dibacakan doa terlebih dahulu oleh kedua pemuka agama untuk kemudian dijadikan sebagai "peluru" untuk saling lempar satu sama lain. Kemeriahan perang topat ini semakin menjadi karena ikut juga diiringi oleh tarian dan tetabuhan tradisional khas Lombok dan Bali diantaranya tarian Gendang Beleq, Baris Lingsar, Tari Perang Topat, dan Gerobak Sasak. 

Setelah perang topat usai, "peluru" yang berupa ketupat seukuran buah jambu air itu dipungut oleh warga untuk dibawa pulang. Mereka meyakini bahwa ketupat itu mengandung berkah yang dapat menyuburkan tanaman baik itu tanaman buah maupun tanaman palawija dan sawah. Untuk tanaman buah, biasanya mereka akan menggantung ketupat tersebut di tangkai buahnya. Sementara untuk tanaman palawija dan sawah, mereka akan menggeletakkan ketupat itu di sana. Dengan begitu mereka percaya bahwa tanaman buah dan sawah tersebut tanah dan tanamannya akan subur dan terhindar dari hama.

Perhelatan ritual sakral Perang Topat ini biasanya berakhir dengan ditandai turunnya hujan sebagai simbol kemakmuran dan karunia yang diturunkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa.


***


Sumber foto: wisatalombok.com dan tribunnews.com