Home » , , , , , » Merayakan Tradisi dan Kebanggaan Desa Lelea Lewat Ngarot

Merayakan Tradisi dan Kebanggaan Desa Lelea Lewat Ngarot

Sebuah panorama indah menghiasi Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Beberapa gadis dan lelaki memukau dengan pakaian adat, mengikuti arak-arakan dari balai desa. Jalanan desa dipenuhi kegembiraan masyarakat yang tumpah ruah menyambut kedatangan mereka. Namun, yang membuat mata ini tak bisa berpaling adalah kecantikan dan keanggunan gadis-gadis Desa Lelea yang menjadi ikon dari tradisi Ngarot.

Pakaian tradisional mereka, terutama kebaya yang mempesona, menjadi penanda kuat dari identitas budaya Desa Lelea. Tapi tak hanya itu, di bagian kepala gadis-gadis itu, terhiasi bunga-bunga warna-warni yang disusun rapi, seolah membentuk topi yang menambah pesona keanggunan mereka. Mereka bukan hanya peserta, melainkan penjaga keaslian dan keindahan tradisi Ngarot.

Siang itu, Desa Lelea melangsungkan kegiatan adat yang kini dianggap sakral, Ngarot. Sebuah tradisi yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi sejak zaman dahulu. Tradisi ini memiliki makna mendalam, dilaksanakan dengan khidmat dan penuh rasa syukur. Ngarot bukan sekadar pesta, tapi juga persembahan anak angon sebelum memasuki masa garap sawah.

Etimologi kata Ngarot sendiri berasal dari 'arot,' yang artinya minum untuk melepaskan dahaga. Dalam konteks Ngarot, kegiatan ini melibatkan minum bersama sebagai simbol kebersamaan dan persatuan. Tradisi ini kerap dilakukan mendekati musim penghujan, antara bulan Oktober hingga Desember.

Keistimewaan Ngarot terlihat dari statusnya sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang diberikan oleh UNESCO pada tahun 2015. Desa Lelea dengan bangga memegang gelar ini sebagai bentuk pengakuan atas nilai-nilai tradisi dan budaya yang terkandung dalam Ngarot.

Sejarah Ngarot diawali pada tahun 1686 oleh Kepala Desa Lelea pertama, Canggara Wirena. Dia memberikan apresiasi kepada Tetua Desa Lelea, Ki Buyut Kapol, yang dengan murah hati menghibahkan lahan seluas 2,6 hektare kepada pemuda dan pemudi desa. Lahan ini menjadi tempat belajar dan bercocok tanam padi sebagai upaya menjaga ketahanan pangan desa.

Hasil panen dari lahan tersebut menjadi santapan bersama dalam upacara Ngarot. Ki Buyut Kapol kemudian menyerahkan lahan tersebut kepada Ki Dawi, menjadi lahan carik Kepala Desa yang digarap oleh para pemuda hingga sekarang. Istilah "carik" merujuk pada lahan sawah yang menjadi tanggung jawab Kepala Desa.

Budaya Ngarot menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Desa Lelea. Keberlanjutan tradisi ini diwariskan dari satu kepala desa ke kepala desa berikutnya. Lahan yang dihibahkan sebagai sarana garap sawah menjadi simbol keterikatan dan tanggung jawab terhadap keberlanjutan tradisi.

Dalam wujudnya sebagai WBTB, Ngarot tak hanya menjadi kebanggaan Desa Lelea, tetapi juga warisan berharga bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pemeliharaan dan pelaksanaan Ngarot setiap tahun adalah bentuk komitmen masyarakat Desa Lelea untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan tradisi yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Dengan begitu, Ngarot tetap meriah, dan Desa Lelea terus menyimpan kekayaan budaya yang tak ternilai.