Dalam perspektif antropologi budaya, Doktor A Latief Wiyata telah menyajikan pandangan yang menarik mengenai struktur penghormatan di kalangan masyarakat Madura. Menurutnya, ada empat figur utama yang mendapat penghormatan tinggi, yaitu ayah, ibu, guru, dan pemimpin, disebut sebagai Buppa, Babbu, Guru, dan Rato. Penghormatan terhadap figur-figur ini membentuk dasar dari kesopanan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
Kesopanan ini tidak hanya dihubungkan dengan nilai-nilai budaya lokal, tetapi juga erat kaitannya dengan ajaran Islam. Masyarakat Madura meyakini bahwa ketidakpatuhan terhadap norma-norma agama dan ketidakmengertian terhadap nilai-nilai kesopanan dapat menimbulkan malu atau malo. Dalam konteks ini, ungkapan khas "ta’tao batona langgar" mengacu pada orang-orang yang tidak pernah diajari atau belajar agama.
Harga diri dianggap sebagai ukuran eksistensi pribadi bagi masyarakat Madura. Latief Wiyata menyatakan bahwa bagi mereka, harga diri adalah suatu hal yang mutlak dan harus dipertahankan agar tidak mengalami perendahan. Orang-orang yang dianggap tidak sopan atau tidak menghargai orang lain dianggap sebagai orang yang tidak memiliki agama, dan ini dapat mengakibatkan hukuman berat, bahkan hingga kematian.
Dalam konteks inilah muncul fenomena carok. Istilah ini awalnya mengacu pada ekspresi pemulihan harga diri atas perilaku yang dianggap tidak sopan dari orang lain. Carok sering kali berbentuk pertarungan sampai mati, menggunakan senjata tradisional seperti parang, pedang, atau keris. Namun, seiring waktu, makna carok mengalami perluasan, termasuk penggunaan senjata celurit yang menjadi identitas khas orang-orang Madura.
M. Wasli dalam penelitiannya tentang tradisi nyikep (membawa sajam) celurit di masyarakat Desa Larangan Perreng Madura menunjukkan bahwa perluasan makna carok dapat ditelusuri setidaknya sejak era penjajahan VOC Belanda pada abad ke-18 hingga ke-19. Carok pada masa itu bukan hanya sekadar bentuk perlawanan terhadap penindasan asing, tetapi juga sebagai respons fisik terhadap kesewenang-wenangan para tuan tanah yang dianggap sebagai penindasan dan perendahan harga diri.
Pertarungan Sakera dengan para blater (preman-preman Belanda) menciptakan legenda di kalangan masyarakat. Kisahnya mencakup perlawanan fisik, penyiksaan, dan akhirnya hukuman mati oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun, pengaruhnya tidak berakhir di sana. Sakera menjadi simbol perlawanan dan pemulihan harga diri bagi orang-orang Madura.
Dari perspektif cerita rakyat, carok yang dilakukan oleh Sakera menjadi jalan bagi masyarakat Madura untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan. Carok tidak hanya sekadar pertarungan fisik, tetapi juga simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan perlakuan tidak sopan terhadap keluarga dan isteri mereka.
Meskipun carok dalam konteks sejarah awalnya berkaitan dengan perlawanan terhadap penindasan kolonial, pemaknaan carok telah berkembang seiring waktu. Saat ini, carok mencerminkan kompleksitas tafsir sosial masyarakat Madura. Tradisi ini tetap menjadi bagian integral dari identitas budaya Madura, sekaligus menunjukkan tekad mereka untuk mempertahankan harga diri dan keadilan dalam menghadapi tantangan zaman.