Latar Belakang Mansorandak
Mansorandak bukan sekadar ritual formal, tetapi merupakan ungkapan syukur dan kegembiraan atas kepulangan seseorang dengan selamat. Menurut laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Mansorandak di Biak biasanya diadakan untuk menyambut tamu penting atau pembesar yang pertama kali datang ke suatu tempat, baik itu di luar Papua maupun di dalam wilayah Papua sendiri.
Upacara ini tidak hanya diselenggarakan di darat, tetapi juga di pelabuhan laut jika tamu tersebut menggunakan transportasi laut. Prosesi ini mencerminkan rasa hormat dan kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Biak.
Prosesi Mansorandak
1. Penyambutan di Pelabuhan Laut
Jika tamu tersebut tiba melalui transportasi laut, Mansorandak akan dilakukan di pelabuhan laut. Anak-anak yang menyambut tamu tersebut langsung digendong oleh om-nya dengan menggunakan kain gendong yang telah disiapkan.
2. Pesta di Rumah
Setelah tiba di rumah, acara dilanjutkan dengan pesta. Makanan khas seperti ketupat dengan ayam, pisang, tebu, pinang sirih, dan makanan tradisional lainnya disiapkan. Pesta ini disebut Abiyoker, menandakan kehangatan dan keramahan masyarakat Biak dalam menyambut tamu.
3. Simbolisme Buaya dan Tuturuga
Sebagai bagian dari Mansorandak, pasir dipahat menjadi bentuk buaya (Wonggor) dan Tuturuga (penyu). Buaya melambangkan perjalanan melalui rintangan tanjung dan lautan yang luas, sementara Tuturuga melambangkan keberlanjutan dan keseimbangan dengan alam.
4. Sembilan Piring Besar
Sembilan piring besar diletakkan dalam barisan memanjang di depan pintu rumah. Masing-masing piring melambangkan 9 Keret/Marga Suku Doreri. Orang yang disambut harus berjalan mengitari piring tersebut sebanyak sembilan kali, menggambarkan penghormatan terhadap budaya dan masyarakat setempat.
5. Pembasuhan Kaki
Prosesi pembasuhan kaki berlangsung setiap putaran, di mana kaki orang yang disambut dibasuh oleh tua adat yang memandu acara Mansorandak. Ini adalah tanda penghormatan yang mendalam terhadap tamu yang datang.
6. Menginjak Buaya dan Tuturuga
Setelah sembilan putaran, tamu tersebut menginjak kepala Buaya (buaya yang terbuat dari pasir putih) hingga hancur, melambangkan penaklukan rintangan dan kesulitan. Proses ini kemudian diulangi pada Tuturuga (penyu yang terbuat dari pasir putih), menandakan hubungan yang erat dengan alam dan keberlanjutan hidup.
Kepentingan dan Pemertahanan
Mansorandak bukan sekadar serangkaian ritual, tetapi juga merupakan bagian penting dari identitas budaya masyarakat Biak. Upacara ini memperkuat ikatan sosial, melestarikan nilai-nilai tradisional, dan menjadi bentuk penghormatan terhadap alam dan leluhur.
Sebagai warisan budaya yang berharga, perlu dilakukan upaya pemertahanan dan promosi agar Mansorandak terus dilestarikan dan diwariskan kepada generasi mendatang. Melalui pemahaman dan apresiasi terhadap tradisi ini, kita dapat lebih memahami kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Biak, Papua.