Upacara Mandi-mandi Manujuh Bulanan di Masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan
Ritual dimulai ketika seorang wanita hamil mencapai usia kehamilan 7 bulan. Tujuan utama dari Mandi-mandi Manujuh Bulanan adalah untuk memperkuat semangat dan keselamatan bagi si ibu hamil dan bayi yang dikandungnya. Dipercayai bahwa dengan menjalani ritual ini, ibu hamil dapat menolak bala dan gangguan dari mahluk halus yang jahat, menjadikannya sebagai benteng spiritual dan fisik yang kuat.
Setiap tahap dalam upacara ini sarat dengan simbolisme yang dalam. Mulai dari pemakaian pakaian indah-indah dan perhiasan oleh si ibu hamil hingga pemilihan tempat mandi yang berbentuk persegi dengan pagar tali yang dihiasi dengan kembang renteng, berbagai kue, uang, dan buah pisang, semuanya memiliki makna tersendiri.
Air yang digunakan untuk mandi-mandi direndam dengan bunga dan mayang yang telah dibacakan surah Yasin atau Burdah, menambah nilai sakral dan diberkahi dari prosesi ini. Wanita yang memandikan si ibu hamil, yang jumlahnya selalu ganjil, juga memainkan peran penting dalam memberikan dukungan spiritual dan doa untuk keselamatan ibu dan bayi.
Puncak dari upacara ini adalah saat bunga mayang pecah dengan sekali tepuk, menandakan bahwa proses kelahiran akan berjalan lancar. Pecahnya telur ketika diinjak juga melambangkan kelahiran yang cepat dan lancar. Tunas kelapa yang dipangku dan digendong oleh ibu hamil melambangkan harapan akan pertumbuhan dan manfaat bagi masyarakat.
Dengan segala simbolisme dan makna yang terkandung dalam Upacara Mandi-mandi Manujuh Bulanan, tradisi ini tidak hanya merupakan bagian dari warisan budaya Banjar yang kaya, tetapi juga mengandung nilai-nilai kebersamaan, spiritualitas, dan harapan akan keselamatan dan kesejahteraan bagi ibu hamil dan bayi yang dikandungnya. Tradisi seperti ini mengingatkan kita akan kekayaan budaya dan kepercayaan yang perlu dilestarikan dan dihargai.
Upacara Mappassili Suku Bugis dalam Memperingati Kehamilan dan Mengusir Roh Jahat
Sebelum upacara dimulai, ibu hamil harus menaiki tangga yang terbuat dari bambu, disebut Sapana, yang terdiri dari tujuh anak tangga. Hal ini melambangkan perjalanan keberkahan dan kemakmuran yang akan dialami anaknya, sebagaimana simbol naiknya tujuh anak tangga menuju kelimpahan. Setiap anak tangga mewakili fase pertumbuhan dan berkah ilahi bagi anak yang belum lahir.
Dipimpin oleh seorang dukun tradisional, upacara dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang wanita pemimpin agama atau ustadzah. Pasangan yang mengenakan pakaian adat Bugis memimpin prosesi menuju rumah yang dihiasi dengan bambu dan bunga-bunga warna-warni yang mencolok. Dukun kemudian melakukan ritual dengan membakar dupa, yang dipercaya dapat mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu kelahiran.
Air yang dicampur dengan daun disiramkan ke bagian tubuh tertentu ibu hamil—kepala, bahu, dan perut—melambangkan tanggung jawab, kelancaran kelahiran, dan kehidupan yang berlimpah bagi anak. Upacara Makarawa Bubua menyusul, fokus pada memberkati perut ibu hamil. Berbagai makanan simbolis dipamerkan, mewakili kemakmuran, kesehatan, dan kesejahteraan bagi anak yang belum lahir dan keluarga.
Selama upacara, seekor ayam jago diletakkan di bawah kaki ibu hamil, yang diyakini dapat mengungkap jenis kelamin anak. Tindakan ini disertai dengan doa untuk kelahiran yang lancar dan masa depan yang cerah bagi anak. Puncak upacara melibatkan berbagi makanan simbolis dan saling bertukar berkah antara anggota keluarga dan orang tua, menandakan persatuan, rasa syukur, dan harapan untuk masa depan.