Dari tinjauan kebahasaan, istilah
munjung atau ngunjung memiliki arti mengunjungi, menghadiri atau dalam bahasa
agama berziarah. Munjung secara bahasa berarti juga memuja atau melakukan
persembahan. Istilah lain yang juga merupakan perkembangan makna dan memiliki
arti sama adalah sedekah makam. Namun, bagi masyarakat Leuwimunding,
Majalengka, istilah yang telah lazim penyelenggaraan ritual ini disebut
munjung. Ritual munjung secara teknis dilakukan dengan melakukan ziarah ke
makam para leluhur. Karena kondisi geografis pemakaman di desa ini memiliki lima area pemakaman,
penyelenggaraan munjung dipusatkan di lima
tempat tersebut. Istilah pemakaman di desa ini banyak juga yang menyebut
maqbaroh, sebuah istilah serapan dari bahasa Arab yang memiliki arti sama
dengan tempat kubur atau pemakaman. Kelima tempat itu adalah kompleks pemakaman
Jagakerti, Cibatur, Caruy, Karamat, dan Pengkeur Masjid (di sebelah belakang
masjid).
Semua tempat yang menjadi titik
konsentrasi ritual munjung itu memiliki sejarahnya masing-masing. Tidak ada
data yang menginformasikan mengenai waktu pertama kali ritual munjung dan
bongkar bumi ini diadakan di desa ini. Namun berdasarkan cerita-cerita
masyarakat setempat, konon munjung dan bongkar bumi ini telah ada sejak zaman
Hindu. Jika pendapat ini yang dipegang, dapat disimpulkan bahwa dua ritual ini
telah terselenggara sekitar abad ke-15 atau tahun 1400an. Pada tahun-tahun
inilah, Leuwimunding kala itu masih berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan
Galuh yang menganut agama Hindu. Namun demikian pendapat pertama ini mengandung
kelemahan. Salah satunya adalah adanya penggalan zaman yang amat jauh dengan
pembukaan lahan perhutan pertama kalinya untuk komunitas manusia yang mendiami
daerah Leuwimunding ini. Hal ini diperkuat dengan pendapat Ki Olin bahwa pada
abad 15 daerah Leuwimunding masih hutan belantara atau tidak mungkin sudah
dihuni sekelompok manusia.
Berbeda dengan uraian di atas,
ritual munjung dan bongkar bumi ini dimungkinkan untuk pertama kalinya diadakan
sejak ke-18. Pendapat ini merujuk pada momentum pembagian kekuasaan
pemerintahan era Rafflesia yang menempatkan Leuwimunding menjadi order
district, sebuah penyebutan untuk kewedanan pada era Orde Baru .
Pemerintahan desa kala itu telah
memiliki kuwu atau kepala desa serta terstruktur berdasarkan komposisi
kebutuhan masyarakat. Bahkan, konon menurut cerita, terjadinya reduksi terhadap
ritual munjung dan bongkar bumi yang mensaratkan para pamong desa untuk
‘nenggak’, meminum air alkohol dan mabuk di arena ritual itu terjadi
dipengaruhi oleh mental penjajah yang hedonis atau memburu kenikmatan
lahiriyah. Ritual munjung dan bongkat bumi yang memiliki dimensi transendental
sebagai wujud persembahan kepada para karuhun (leluhur), ternodai dengan iklim
glamor pihak kompeni.
Adanya dua tinjauan kesejarahan
yang berbeda ini menunjukkan bahwa baik munjung maupun bongkar bumi telah hadir
sejak peradaban manusia untuk pertama kalinya bermukim di wilayah desa ini.
Adapun motivasi awalnya lebih ditujukan sebagai ekspresi atas keseimbangan
antara kejadian manusia dengan alam semesta. Pencerminan ini dapat dilihat pada
ketundukan manusia terhadap siklus alam, di mana perwujudan rasa syukur
terhadap Tuhan atas pergantian musim menuju musim penghujan. Karena musim
penghujan inilah, diyakini oleh masyarakat setempat telah membawa keberkahan dan
keluasan rizki, terutama bagi kaum petani yang memiliki lahan sawah.
Dari segi kronologis, sejarah
ritual penyambutan pergantian musim ini sebenarnya terdiri dari tiga tahap,
yaitu munjung, bongkar bumi dan kemudiaan diakhiri dengan ritual mapag Sri. Dua
tahap pertama hingga saat ini masih dilestarikan, meski telah terjadi
modifikasi dalam berbagai sisi. Sementara tahap terkahir, berupa mapag Sri yang
juga memiliki arti menyambut Dewi Sri, tidak lagi diselenggarakan. Bagi banyak
daerah yang memiliki latar belakang budaya yang berkarakter agraris, tokoh Dewi
Sri hadir
di tengah masyarakat petani sebagai sumber inspirasi dan dipercaya pelindung
bagi kesuburan tanah dan padi. Upacara yang menekankan arti penting kehadiran
sosok Dewi Sri ini
dilakukan ketika memulai musim panen dan menjelang penanaman bibit padi.
Dalam kebudayaan masyarakat
Sunda, ketiga ritual tersebut telah menjadi rutinitas terutama musim penghujan
tiba. Di samping sebagai bentuk penghormatan terhadap siklus alam tentang
pergantian musim, bagi kalangan petani di desa ini ritual tersebut seolah
menjadi kewajiban untuk dilaksanakan, dengan harapan agar tanaman yang hendak
ditanam –terutama padi– dapat menghasilkan padi yang berlimpah, subur dan tidak
diganggu oleh berbagai bentuk hama. Begitu juga ketika memasuki musim panen,
ada upacara adat yang dilakukan oleh para petani yang dikenal dengan ‘Mipit’,
yang berarti mengawali musim panen.
Tingginya penghormatan masyarakat
terhadap kebudayaan lokal dalam bidang pertanian ini, tidak bisa terlepas dari
kepercayaan nenek moyang dan telah lama dipegang oleh masyarakat petani
Leuwimunding di masa lalu tentang peranan Dewi Sri. Tokoh Dewi Sri yang
berkembang dalam sastra Sunda, menurut penelitian Hidding, dikenal dengan
sebutan Nyi Pohatji Sanghyang Sri dan sering dikaitkan dengan mitos asal mula
adanya padi di Jawa Barat. Dalam banyak literatur, terutama kehidupan
masyarakat Jawa dan Sunda, Dewi Sri merupakan
tokoh yang cukup terkenal, terutama di kalangan masyarakat petani. Dalam
masyarakat petani Jawa dan Sunda, tokoh Dewi Sri sering diidentikkan dengan
dewi padi, dewi kekayaan, dewi kesuburan dan kemakmuran, dewi yang melimpahi
ketenaran, kesuksesan, yang dapat memberi umur, panjang, sehat, dan banyak
anak. Oleh karena posisinya yang amat sentral, masyarakat petani di masa lampau
sangat memberikan penghormatan terhadap keberadaan tokoh Dewi Sri, sebagaimana
terlihat dalam adat istiadat dan tradisi budaya Jawa-Sunda. Salah satu tradisi
yang mencerminkan terhadap adanya kepercayaan dan penghormatan terhadap tokoh
Dewi Sri, dapat dilihat dalam sikap dan perlakuan masyarakat agraris Jawa dan
Sunda terhadap padi.
Dalam memperlakukan padi,
masyarakat petani Jawa dan Sunda, khususnya di daerah pedesaan, tidak akan
bersikap sembarangan dan mengambil sikap yang sangat berhati-hati, penuh kasih
dan hormat, sebagaimana memperlakukan manusia yang dikasihi dan dihormati.
Sebagaimana dalam penelitian
Santikno yang menyebutkan adanya keterkaitan Dewi Sri
dengan konsep Dewi Ibu dalam
kebudayaan masyarakat Agraris. Menurutnya, Sri atau Tisnawati dianggap sebagai lambang
atau perumpamaan biji tanaman. Dalam proses pertumbuhan suatu tanaman, pada
umumnya biji harus ditanam di dalam tanah terlebih dahulu, dan biji akan hancur
apabila tanaman tersebut tumbuh. Uraian singkat inilah yang kemudian menurut
Santikno, berkaitan erat dengan menjawab mitos asal mula adanya padi yang
dilukiskan tumbuh dari kuburan jenazah Dewi Sri atau Dewi Tisnawati .
Berbeda dengan Santikno,
ketokohan Dewi Sri di Indonesia
dalam banyak kemiripan cerita menurut penelitian Pitono, memiliki hubungan
dengan tokoh di India .
Bahkan, menurut Pitono, dasar-dasar padi itu telah ada di Indonesia
sebelum kedatangan kebudayaan Hindu, sebab pulau Jawa atau nusantara adalah
negara agraris. Adapun mitos Dewi Sri dari
India
hanyalah memperluas mitos padi yang telah ada di Indonesia . Sementara itu,
berdasarkan penelusuran kesejarahan, menurut penelitian Rassers, tokoh Dewi Sri
dijelmakan sebagai putri Prabu Sri Mahapunggung di Kerajaan Purwacarita yang
bersaudara dengan Raden Sadana, dan cerita Dewi Sri sebagai bidadari istri Dewa
Wisnu di Kahyangan, yang karena dikejar-kejar oleh Kalagumarang lalu turun ke
dunia.