Makna Mitos dalam Kekuasaan Raja-Raja Mataram Islam*
Oleh Machrus**
Pendahuluan
Beberapa waktu yang lalu ketika ada tanda-tanda gunung Merapi akan meletus pemerintah daerah setempat menginstruksikan warganya yang berada di sekitar lereng gunung Merapi untuk mengungsi di tempat-tempat yang dianggap aman. Instruksi tersebut dimaksudkan agar warga yang berada di sekitar tempat itu terhindar dari bencana letusan gunung.
Tentu saja pemerintah daerah setempat dalam menginstruksikan evakuasi warganya dengan pertimbangan yang rasional yaitu agar tidak ada korban jiwa. Hal ini mengingat letusan-letusan sebelumnya, misalnya yang terjadi pada tanggal 22 November 1994, telah menimbulkan guguran lava pijar, sumbatan gas beracun di dalam bumi, banjir lahar, erosi, dan ciri khas berupa awan panas (Nuess ardente) telah menyebabkan kerugian tidak saja harta benda tetapi juga jiwa manusia yang tidak ternilai harganya. Atas instruksi tersebut, warga diliputi perasaan bingung antara mengikuti instruksi atau tetap tinggal di rumah. Warga khawatir harta benda mereka akan dijarah apabila mengungsi, meski akhirnya mereka dengan terpaksa mengungsi demi keselamatan jiwa mereka sambil membawa harta benda apa saja yang bisa dibawa termasuk binatang ternak.
Berbeda halnya dengan sosok fenomenal, Mbah Marijan yang memilih tetap tinggal di rumahnya di dusun Kinahrejo desa Umbulharjo, kecamatan Cangkringan, kabupaten Sleman. Tempat tinggal Mbah Marijan tersebut merupakan daerah yang oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian termasuk kategori daerah terlarang. Ia adalah juru kunci gunung Merapi yang sering diminta nasehatnya baik oleh masyarakat Merapi maupun pejabat pemerintah. Ia mendapat gelar dari keraton Yogyakarta, Mas Ngabehi Sureksohargo. Seakan merasa bertanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh raja Yogyakarta untuk “menjaga” gunung Merapi, Mbah Marijan tetap tidak mau maninggalkan tempatnya. Ia mau mengungsi meninggalkan tempat tinggalnya jika yang memerintah raja Yogyakarta sendiri. Seperti halnya yang terjadi pada tanggal 17 Januari 1997 saat gunung Merapi meletus Mbah Marijan dan para abdi dalem Keraton Yogyakarta tetap melakukan upacara Labuhan. Ia dan para abdi dalem seolah tidak memperdulikan nasib diri mereka sendiri. Mereka secara totalitas patuh tunduk kepada perintah sang Sultan. Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa mereka sedemikian tunduk dan patuh kepada sang Sultan sampai ia tidak menghiraukan nasibnya sendiri?
Keberadaan keraton Yogyakarta banyak diselimuti oleh mitos. Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di sekitar lereng gunung Merapi mengenal tiga simbol kekuasaan, yaitu gunung Merapi (api), keraton Mataram (udara), dan Laut Selatan (air). Gunung Merapi melambangkan kekuasaan, Laut Selatan melambangkan kerakyatan, dan keraton Yogyakarta melambangkan keseimbangan. Ketiga simbol kekuasaan jawa tersebut dihubungkan oleh kali Opak. Bagi kehidupan keraton Mataram dan kesultanan Yogyakarta, kali Opak mempunyai arti penting, karena keraton Yogyakarta keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan laut Selatan. Antara gunung Merapi dan laut Selatan dihubungkan oleh kali Opak. Sudah menjadi mitos umum bahwa raja-raja Mataram sejak zaman Senopati, pendiri kerajaan Mataram, mempunyai hubungan khusus dengan penguasa laut Selatan, yaitu Kanjeng Ratu Kidul. Kanjeng Ratu Kidul merupakan permaisuri khusus Senopati. Sang Ratu berjanji akan selalu melindungi Senopati dan keturunannya. Jika Kanjeng Ratu Kidul adalah penguasa lautan dan Senopati adalah penguasa daratan di Mataram, maka gunung Merapi adalah lambang menonjol bagi kekuatan di Mataram. Senopati dianggap sakti karena mempunyai hubungan khusus dengan gunung Merapi.
Artikel ini akan membahas hubungan antara mitos dan kekuasaan di seputar keraton Yogyakarta. Di sini tidak akan dibahas mengenai benar dan tidaknya mitos tersebut, karena mitos itu sendiri merupakan sesuatu yang misteri. Pembahasan akan difokuskan pada bagaimana memaknai mitos tersebut. Kepercayaan tentang Mitos Bagi penganut aliran positivisme, kepercayaan terhadap mitos mungkin dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada, karena mitos bukan sesuatu yang “positif”; tidak bisa diamati dan diukur. Demikian pula bagi masyarakat yang tidak merasa “terlibat” suatu mitos yang dipercayai oleh masyarakat lain akan mengatakan, bahwa mitos itu tidak benar. Tetapi masalahnya bukan benar dan salah melainkan bahwa mitos itu riil ada di masyarakat. Dengan kata lain mitos adalah suatu realitas.
Mitos adalah sesuatu yang universal, artinya masyarakat di manapun di dunia ini mengenal mitos meskipun ada yang mengalami penurunan (demitologi) terutama bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam masyarakat yang sudah maju pun masih mempercayai adanya mitos. Di Barat ada mitos bahwa angka 13 merupakan angka sial. Masih banyak dijumpai hotel-hotel atau apartemen bertingkat yang menghindari angka 13 yang seharusnya menunjukkan tingkat tiga belas. Namun mitos hanya “mengikat” bagi masyarakat yang mempercayainya. Bagi suatu masyarakat yang tidak mempunyai hubungan kepercayaan terhadap mitos masyarakat lain jelas mitos itu tidak berarti sama sekali. Mitos muncul berkaitan dengan keterlibatan masyarakat yang bersangkutan. Bagi bangsa Timur misalnya, angka 13 tidak memiliki makna tertentu. Bagi bangsa Timur dan mungkin bangsa-bangsa lain, yang tidak terlibat dengan mitologi angka 13, angka 13 tidak memiliki makna tertentu kecuali ia adalah urutan angka setelah 12 dan sebelum 14.
Masyarakat Jepang yang sudah sedemikian maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi masih mempercayai mitos. Sampai saat ini masyarakat Jepang masih mempercayai bahwa para kaisar Jepang merupakan titisan dewa Matahari Amaterasu Omikami. Barangkali perlakuan masyarakat Jepang terhadap kaisar yang ada sekarang tidak seperti pada 60 tahun yang lalu yang disembah sebagai titisan dewa, tetapi mitos mengenai kaisar sebagai titisan dewa masih dipegangi. Sebagian masyarakat Jawa khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya mempercayai bahwa laut Selatan (Segoro Kidul), laut di sebelah selatan pulau Jawa, ada “penguasa halus” yang dikenal dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sering peristiwa yang terjadi di laut tersebut dikaitkan dengan keberadaan Kanjeng Ratu Kidul. Peristiwa terseretnya orang-orang yang ada di pantai oleh ombak laut Selatan hingga meninggal dipercaya bahwa sang penguasa minta korban. Masyarakat daerah tersebut tidak melihat peristiwa itu sebagai musibah yang juga bisa terjadi di pantai mana saja. Bagi masyarakat lain yang tidak mempercayai adanya mitos penguasa laut Selatan akan melihat peristiwa itu sebagai kecelakaan biasa yang mungkin diakibatkan keteledoran orang-orang tersebut atau kejadian alam yang kebetulan kecepatan anginnya sangat kencang sehingga mengakibatkan ombak bergelora dengan dahsyat.
Mitos merupakan cerita keagamaan atau cerita rakyat yang sakral (sacred folk tales) yang mengisahkan tentang asal-usul kejadian bumi, dewa-dewa, orang atau masyarakat tertentu dan sebagainya. Kadang-kadang cerita tersebut yang memiliki arti penting dalam masyarakat yang belum mengenal baca tulis, merupakan bagian dari tradisi lisan (oral tradition) yang diaktualisasikan dalam bentuk ritual. Mircea Eliade mengatakan, bahwa mitos berkaitan dengan sebuah cerita sakral yaitu peristiwa primordial yang terjadi pada saat permulaan waktu. Namun menghubungkan dengan sebuah cerita yang sakral sama dengan mengungkapkan sebuah misteri. Pribadi-ribadi yang ada dalam mitos bukanlah manusia tetapi para dewa atau para pahlawan dalam budaya.
Oleh karena itu keberadaannya diliputi misteri. Manusia tidak dapat mengetahui perilaku mereka jika mereka tidak menampakkannya kepada manusia. Seperti kata Wisnu Minsarwati, bahwa mitos bukanlah merupakan pemikiran intelektual dan bukan pula hasil logika, namun merupakan pandangan mental dan spiritual untuk berhubungan dengan sesuatu yang supranatural. Bagi suatu masyarakat yang mempercayai suatu mitos, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita yang benar itu menjadi milik mereka yang paling berharga. Ia merupakan sesuatu yang sakral dan bermakna, sehingga menjadi contoh model bagi tindakan manusia, memberikan makna dan nilai pada kehidupan ini.
Sudah lama mitologi menjadi bahan kajian para antropolog. Paling tidak ada empat alasan bagi mereka dalam mengkaji tentang mitos, yaitu:
- Sebagai sebuah sumber dari data quasi-sejarah mengenai suatu masyarakat yang tidak memiliki catatan tertulis.
- Sebagai sebuah petunjuk tertentu mengenai nilai sentral dari suatu masyarakat.
- Sebagai sebuah ungkapan simbolik metaforikal dari jiwa perennial dan tekanan sosial seperti Oedipus.
- Sebagai pengungkapan, melalui logika mitos, struktur-struktur universal dari pikiran manusia.
Para ahli yang mempunyai otoritas di bidang mitologi telah membahas tentang “realitas” mitos sebagaimana berbeda dari aspek-aspek fantasi dan tidak nyata. Malinowski menggambarkan bagaimana mitos yang ada di sebuah masyarakat liar (a savage community) adalah bukan hanya suatu cerita lisan tetapi suatu kenyataan yang hidup. Mitos bukan suatu dongeng berhala namun suatu kerja keras kekuatan aktif. Bagi C.G. Jung, mentalitas primitif tidak menemukan mitos, tetapi mentalitas primitive memiliki pengalaman mitos. Mitos tidak lain adalah alegoris dari proses-proses fisik. Mitos mempunyai arti penting. Ia merupakan kehidupan mental dari suku primitif yang akan segera hancur dan kehilangan kekuatannya ketika kehilangan warisan mitologinya. Sementara itu bagi Mircea Eliade mitos adalah selalu berkaitan dengan penciptaan. Mitos akan mengatakan bagaimana sesuatu itu dicapai, sesuatu mulai ada.
Itulah sebabnya mengapa mitos terkait erat dengan ontologi. Ia hanya akan bicara tentang realitas, tentang apa yang sesungguhnya terjadi, tentang apa yang seharusnya terwujud. Ada perbedaan arti dari realitas atau pengalaman yang disampaikan oleh tiga orang ahli tersebut. Perhatian utama Malinowski adalah mengaitkan mitos penduduk Trobriand dengan pengalaman sosial dan budaya mereka. Dengan demikian mitos mengenai munculnya nenek moyang dari lubang tanah dihubungkan dengan topografi yang sesungguhnya sampai kepada penyebaran terkini dari klan Trobriand dan pola kekerabatan Trobriand serta stratifikasi sosial. Dengan “realitas”, Malinowski mengartikan, bahwa mitos merupakan charter tentang lembaga-lembaga sosial yang lebih luas. Meskipun charter tersebut menyebut makhluk-makhluk fiktif, point demi point secara detail berkaitan dengan penataan-penataan sosial dan budaya yang merupakan aspek-aspek nyata dari pengalaman penduduk Trobriand. Berlawanan dengan Malinowski, Jung menganggap mitos bukan sebagai daftar kata dari charter untuk lembaga-lembaga budaya, tetapi sebagai realitas psikologi sebagaimana ungkapan-ungkapan tentang “archtypes” atau kesan primordial dari ketidaksadaran kolektif. Ini merupakan hal yang nyata dalam konteks mereka merepresentasikan bentuk atau pola yang diwarisi yang hadir di setiap manusia. Awalnya bentuk tersebut adalah tanpa isi pemikiran yang spesifik. Isi diberikan oleh budaya spesifik. Mitos memberi suatu kebiasaan lokal dan suatu nama bagi bentuk-bentuk umum dan memberi mereka “realitas” dengan mewujudkannya kepada kesadaran.
Sedangkan bagi Eliade yang dimaksud dengan realitas adalah realitas sakral. Kesakralan menghadirkan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda sama sekali dengan kenyataan natural (profan). Dengan demikian bagi Malinowski, realitas adalah kultural, bagi Jung adalah psikologis, dan bagi Eliade adalah spiritual. Menarik untuk diperhatikan adalah pandangan Ernest Cassirer yang dikutip oleh Minsarwati. Menurut Cassirer seseorang dapat mencapai wawasan semantik dan bentuk dasar mitologi bukan melalui penjelasan asal mula mitos atau mengidentifikasi obyek atau motif khususnya, tetapi melalui penentuan sumber ekspresinya dan tipe kesadarannya yang secara aktual menghasilkan mitos. Menurutnya ada dua penekanan mengenai mitos yang perlu diperhatikan: pertama, adalah penekanan pada bentuk struktural yang mendasari fantasi dan pemikiran mitos; kedua, adalah penekanan pada simbolisme. Dalam penekanan simbolisme ini ia mencoba menjelaskan bagaimana kesadaran mitos membentuk simbol-simbol. Ia bergantung pada bentuk yang dimodifikasi dalam ide mentalitas primitive yang merupakan sumber pembentukan konsep-konsep, ide-ide, dan simbol-simbol mitos.
Jadi realitas mitos, terlepas dari benar atau salah, merupakan kepercayaan yang ada dalam masyarakat. Mitos merupakan kisah suci yang diliputi misteri. Akan terjadi demitologi apabila misterinya sudah terungkap. Jika hal ini terjadi maka akan bisa terjadi pula desakralisasi yang bisa berakibat hilangnya kepercayaan terhadap mitos. Sejarah berdirinya kerajaan Mataram Islam banyak diselimuti kisah-kisah mitos. Informasi mengenai sejarah berdirinya kerajaan Mataram kebanyakan bersumber dari naskah-naskah kuno yang dikenal dengan nama babad. Namun sebagian masyarakat Jawa masih menganggap bahwa informasi yang terdapat dalam babad merupakan kebenaran historis. Di kalangan sarjana Barat, babad tentang berdirinya kerajaan Mataram merupakan mitos belaka, sebagaimana kata C.C. Berg, bahwa Senopati yang dianggap oleh masyarakat Jawa sebagai pendiri kerajaan Mataram merupakan tokoh mitologis dari pada tokoh historis. Pendapat ini bagi kalangan keraton Yogyakarta dianggap sebagai konspirasi kolonial untuk mendiskreditkan sultan. Kalangan keraton akan menunjukkan makam Senopati apabila keberadaannya dianggap sebagai mitos. Menurut Berg, Senopati merupakan leluhur yang mitis yang sengaja dimunculkan di masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1645) yang oleh Berg justru dianggap sebagai pendiri yang sebenarnya dari dinasti Mataram. Namun demikian Senopati, dengan segala kemungkinannya seperti yang diceritakan dalam babad, bukanlah seorang raja yang besar. Ia tetap merupakan tokoh historis yang penting.
Mataram yang semula kadipaten yang tunduk pada Pajang berubah menjadi kerajaan. Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senopati menjadi raja yang pertama mendapat banyak tantangan karena politik ekspansinya. Cita-cita Senopati adalah memperluas wilayah kekuasaannya sehingga tunduk kepada kerajaan Mataram. Hampir wilayah Jawa bagian tengan dan timur tunduk di bawah kekuasannya kecuali daerah Blambangan yang tetap bertahan dan belum memeluk Islam.
Berdirinya kerajaan Mataram Islam merupakan kelanjutan dari proses konversi keraton-keraton Jawa ke dalam Islam. Untuk membenarkan pendirian kerajaan Mataram dibuatlah ramalan-ramalan mistis. Salah satu ramalan mistis tersebut adalah Kanjeng Ratu Kidul, penguasa laut pantai selatan sebagai istri semua raja dari dinasti Mataram. Di dalam babad ia dikatakan sebagai anak raja Galuh, seorang raja mitologis pra Hindu. Saat Ratu Kidul dilahirkan, ibunya didatangi oleh sekelompok bidadari yang suaranya dapat didengar di seluruh pelosok kerajaan. Bersamaan dengan itu muncul goro-goro di semua tempat angker. Roh-roh pada datang di hadapan raja untuk dikorbankan sebagai penghormatan anak tersebut. Segera setelah dilahirkan, Ratu Kidul langsung berbicara sebagai berikut: “Saya adalah Ratu Ayu yang menguasai seluruh roh di Jawa. Istanaku berada di laut Selatan”. Setelah itu muncul raja Sindula, raja yang sudah lama meninggal, menyatakan bahwa Ratu Kidul adalah cucunya dan kekuasaannya tidak dapat ditandingi. Dia meramalkan bahwa Ratu Kidul hanya akan kawin dengan pendiri kerajaan Mataram yang di masa mendatang akan menguasai Jawa dan menetapkan Islam sebagai agama kerajaan. Ramalan tersebut disertai dengan ledakan petir dan suara para roh sebagai tanda bahwa para dewa menyetujui. Pada akhirnya Ratu Kidul memberitahu Panembahan Senopati, pendiri Mataram, bahwa Allah mengabulkan keinginannya untuk menguasai seluruh Jawa. Ratu Kidul kemudian setuju untuk kawin dengannya dan dengan semua raja-raja berikutnya dari dinasti Mataram. Dengan adanya cerita mitos yang memproyeksikan sejarah Mataram pada masa lalu yang sangat jauh akan memberikan pembenaran konversi ke Islam. Demikian pula dengan memproyeksikan sejarahnya sendiri ke masa lampau yang penuh dengan mitos, Mataram menghadirkan dirinya sebagai sebuah kerajaan yang sah. Ia naik ke kekuasaan yang disahkan oleh para penguasa pra Hindu asli dari dunia roh Jawa.
Untuk menampah kewibawaan dan legitimasi, Ki Ageng Pemanahan yang juga ayah Senopati membuat suatu silsilah untuk menunjukkan bahwa keturunan raja-raja Mataram dari garis ibu adalah keturunan para wali yang berujung pada Nabi Muhammad. Silsilah dari garis ibu disebut dengan silsilah penengen. Sedangkan silsilah dari garis keturunan bapak mereka berasal dari keturunan para dewa dan Nabi Adam. Silsilah dari garis keturunan bapak tersebut dinamakan silsilah pengiwa. Dengan menampilkan silsilah penengen dan pengiwa dimaksudkan agar rakyat mengetahui raja-raja Mataram merupakan keturunan dari tokoh-tokoh yang kuat dan terkenal sehingga akan menambah legitimasi dan wibawa mereka.
Untuk memperkokoh posisi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kerajaan, raja merupakan penguasa yang memiliki dasar sebagai dewa raja atau khalîfatullah. Hal ini mengindikasikan bahwa raja mempunyai kharisma dan kekuatan yang melebihi manusia biasa. Konsep dewa raja pada masa Hindu Jawa memandang raja sebagai inkarnasi dewa dan hal ini berlanjut pada masa Islam dalam pengertian khalîfatullah. Khalîfatullah yang berarti wakil Tuhan di dunia memberi pengertian, bahwa seorang raja adalah penguasa tunggal yang mempunyai kekuasaan terhadap kesetiaan dan ketaatan penuh dari bawahannya. Institusi yang berhubungan dengan ketaatan, kesetiaan, kewibawaan, dan keagungan cukup memperlihatkan fungsinya bagi budaya kehidupan masyarakat Jawa. Mendapat perintah raja atau ngemban dawuh dalem merupakan kebanggaan tersendiri sehingga rakyat dapat menerimanya dengan senang hati. Oleh karena itu dari penjelasan ini bisa dimengerti tindakan Mbah Marijan yang tidak mau meninggalkan tempat tinggalnya meskipun tempat tinggalnya masuk kategori zone terlarang, daerah yang terlebih dulu dilanda letusan Merapi atau luncuran awan panas.
Dalam pandangan tradisional masyarakat Jawa, raja digambarkan sebagai wenang misesa ing sanagari yang berarti memiliki kekuasaan tertinggi di seluruh negeri. Tidak saja ia memiliki kekuasaan terhadap negara dan harta benda, tetapi juga terhadap rakyat (para kawula) dengan segala kehidupan pribadinya. Di samping itu kekuasaan digambarkan dalam ungkapan mbaudendha nyakrawati, yaitu berwenang menghukum dan berkuasa memerintah dunia. Bahkan lebih dari itu, bahwa raja berkuasa segala-galanya, yaitu memerintah, mangatur, menghukum, menguasai daerah-daerah lain, menguasai militer, dan termasuk mengatur masalah agama seperti yang terungkap dalam Senopati ingalaga Ngabdurachman Sayidin Panatagama. Kekuasaan tersentral pada diri raja, tidak terbagi-bagi dan merupakan kebulatan yang tunggal, tiada yang mampu menandingi. Ungkapan raja yang tak tertandingi berbunyi endi ono surya kembar yang berarti tidak dibenarkan ada kekuasaan lain yang sederajat dengan dirinya.
Untuk bisa mengatur kerajaan dengan bijaksana dan adil raja harus memiliki kesaktian (supernatural power) yang melebihi siapapun. Keadilan yang ditegakkan oleh raja yang memiliki kesaktian akan menjamin kesejahteraan rakyat. Rakyat juga akan merasa aman di manapun mereka berada dan ke manapun mereka pergi karena dilindungi oleh rajanya. Seperti yang digambarkan oleh G. Moedjanto bahwa seorang raja yang ideal adalah ia yang memiliki predikat gung-binathara, baudhendha nyakrawati, dan ber budi bawa leksana. Penjelasan dari predikat tersebut adalah bahwa kekuasaan raja begitu luar biasa besarnya. Semua harus tunduk pada hukum sehingga kedamaian dan keadilan bisa ditegakkan. Semua orang menjalankan tugas-tugas mereka dan hak-hak mereka dijamin. Raja yang demikian pantas untuk diagungkan. Raja tidak lagi sebagai manusia biasa, tapi agak menyerupai “dewa” atau “manusia super”.
Oleh karena itu raja sebagai pemilik segala-galanya di dalam wilayah kerajaannya. Memaknai Mitos Mitos yang melingkupi kehidupan keraton yang sampai sekarang masih dipercayai sangat menguntungkan bagi kelanjutan kekuasaan raja-raja Mataram. Raja-raja Mataram sudah sedemikian rupa dianggap memiliki kelebihan-kelebihan yang supranatural menjadikan mereka sangat disegani. Masyarakat cenderung membiarkan mitos di keraton Yogyakarta tetap hidup tanpa perlu mempertanyakan kebenarannya. Toh selama ini kekuasaan raja-raja Mataram tetap berjalan sebagaimana adanya tanpa gejolak pertentangan antara masyarakat dan pihak keraton.
Masyarakat pun tidak mau mengusiknya karena yang penting raja mampu menciptakan ketenangan dan dapat mengayomi masyarakat. Di sini mitos harus dilihat dari fungsinya, bukan dilihat dari benar tidaknya mitos itu. Menurut Wisnu Minsarwati, mitos mempunya empat fungsi, yaitu:
- Sebagai interpretasi terhadap eksistensi manusia dan dunia.
- Bisa menunjukkan mengapa dunia itu ada.
- Mengatur pengalaman manusia dan menjadi paradigma.
- Melegitimasi tradisi yang ada.
Mitos seperti yang sudah dijelaskan di depan mengandung sesuatu yang sakral dan misteri. Selama mitos masih diselimuti misteri, maka nilai kesakralannya juga akan tetap senantiasa mengiringi mitos tersebut dan masyarakatpun akan tetap mempercayainya. Sebaliknya apabila mitos itu sudah terkuak aspek misterinya maka mitos itu juga akan kehilangan kesakralannya, seperti misalnya, pesanggrahan Sultan dan rumah-rumah di sekitarnya selamat dari awan panas akibat letusan gunung Merapi pada tahun 1994. Pada waktu itu awan panas menghanguskan sebagian lereng gunung Merapi dan sebelum tiba di pesanggrahan Sultan tadi letaknya di Kaliurang berjarak tujuh kilo meter dari puncak gunung Merapi berhenti mengamuk. Padahal beberapa kilometer persegi hutan di sekitar pesanggrahan tersebut hangus kecoklatan akibat awan panas yang suhunya berkisar antara 400 - 600 derajat celcius. Mitos yang berkembang adalah bahwa Kyai Sapu Jagad sebagai penguasa gunung Merapi masih melindungi pesanggrahan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Posisi pesanggrahan itu sendiri ditutupi oleh bukit Turgo dan Plawangan yang menurut mitos kedua bukit tersebut dianggap lebih tua keberadaannya daripada gunung Merapi. Memang secara stratigrafi gunung api kedua bukit tersebut adalah sebagian dari tubuh gunung Merapi yang tua. Oleh karena itu kalaupun pesanggrahan Sri Sultan HB X itu selamat dari awan panas hal itu disebabkan posisinya yang terlindungi oleh bukit Turgo, sehingga secara fisik bukit itu menghalangi awan panas.
Sebenarnya dari penalaran tersebut secara common sense bagi sebagian masyarakat mitos mengenai pesanggrahan tersebut sudah mengalami demitologisasi. Namun tetap saja bagi sebagian masyarakat lainnya masih tetap menganggapnya sebagai mitos.
Teori fungsionalisme dalam sosiologi bisa dipakai untuk melihat mitos
Dalam perspektif fungsionalis mengatakan, bahwa bagian-bagian dalam masyarakat mempunyai fungsi yang menjaga stabilitas secara keseluruhan. Masyarakat diibaratkan dengan organisme-organisme yang hidup (living organism), suatu pandangan yang dipelopori oleh Herbert Spencer dan Emile Durkheim. Setiap organisme memiliki sebuah struktur yaitu seperangkat komponen yang saling terkait seperti kepala, kaki, jantung, dan sebagainya. Setiap komponen memiliki fungsi yaitu konsekuensi positif bagi seluruh sistem yang dalam hal ini adalah suatu organisme hidup. Demikian pula suatu masyarakat juga memiliki sebuah struktur yang saling terkait seperti keluarga, agama, militer, dan sebagainya. Secara ideal setiap komponen tersebut memiliki fungsi yang menyokong stabilitas secara keseluruhan dari sistem kemasyarakatan. Teori fungsional memandang bahwa masyarakat dilihat dalam term sistemik, setiap sistem yang ada dipandang mempunyai keperluan dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjamin kelangsungan hidup. Ketika dipandang sebagai sebuah sistem, masyarakat dilihat sebagai gabungan dari bagian-bagian yang secara bersamaan saling berkaitan. Analisis dari bagian-bagian yang saling terkait tersebut terfokus pada bagaimana bagian-bagian tersebut memenuhi persyaratan dari keseluruhan sistem dan menjaga kenormalan sistem atau ekuilibrium. Bahkan dalam fungsionalisme ada kaidah yang mendasar bagi antropologi yang berorientasi pada teori yaitu dictum metodologis yang mengatakan bahwa ciri sistemik budaya harus dieksplorasi. Maksudnya adalah diketahui bagaimana kaitan antara institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat, sehingga membentuk suatu sistem yang bulat.
Dalam interpretasi para fungsionalis, fungsionalisme merupakan metodologi untuk mengeksplorasi ketergantungan. Mereka juga mengatakan bahwa fungsionalisme merupakan teori tentang proses kultural. Di samping mengeksplorasi adanya saling ketergantungan berbagai macam ragam unsur-unsur budaya para fungsionalis juga menjelaskan mengapa terjadi pola-pola tertentu atau mengapa pola-pola itu bisa bertahan. Ketika menjelaskan magic Trobriand sehubungan dengan fungsinya untuk mengurangi kecemasan mengenai hal-hal yang tidak dapat dipahami, Malinowski seolah menjelaskan alasan kehadiran dan kelestarian magic itu dalam budaya Trobriand. Demikian pula ketika Radcliffe-Brown yang menjelaskan eksistensi dan persistensi upacara keagamaan dalam kaitannya dengan sumbangan upacara keagamaan itu untuk kerekatan sosial. Sementara itu Melford Spiro berupaya menjelaskan kepercayaan bangsa Ifaluk mutakhir terhadap roh jahat sehubungan dengan cara-cara kepercayaan itu dalam menyalurkan agresi.
Penjelasan Spiro berbeda dengan Malinowski dan Radcliffe-Brown. Penjelasannya tidak mengenai asal-usul kepercayaan tersebut melainkan hanya menerangkan mengapa kepercayaan itu tetap bertahan meskipun kelihatannya (oleh pengamat dari luar) nyata-nyata tidak berfungsi. Selanjutnya David Kaplan dan Albert A. Manners mengatakan bahwa dasar semua penjelasan fungsional ialah asumsi bahwa sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional tertentu untuk memungkinkan eksistensinya. Dengan kata lain sistem budaya memiliki kebutuhan yang semuanya harus dipenuhi agar sistem itu dapat bertahan hidup. Dengan demikian jika kebutuhan sistem fungsional itu tidak dipenuhi maka sistem itu akan mengalami disintegrasi dan “mati” Atau ia akan berubah menjadi sistem lain yang berbeda jenis.
Berdasarkan teori fungsional tersebut, yang menjadi perhatian adalah apakah mitos itu memiliki fungsi sosial? Untuk menjawab pertanyaan tersebut patut diperhatikan penjelasan Robert Merton mengenai konsep “fungsi”. Merton membedakan antara fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes ialah konsekuensi obyektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau adaptasi sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut. Sedangkan fungsi laten merupakan konsekuensi obyektif dari suatu ikhwal budaya yang “tidak dikehendaki maupun disadari” oleh warga masyarakat. Dengan konsep Merton tersebut para fungsionalis tidak hanya mengatakan bahwa suatu unsur tertentu memiliki fungsi laten tertentu melainkan juga bahwa fenomena budaya itu tetap bertahan karena fungsi laten yang diembannya. Merton mengamati tarian hujan suku Hopi. Menurut kepercayaan suku Hopi dengan mengadakan ritual tarian hujan akan mendatangkan hujan lebat.
Ritual tersebut senantiasa dilakukan tatkala ingin mendatangkan hujan. Namun dalam kenyataannya setelah ritual tersebut dilakukan tidak selalu turun hujan. Meskipun demikian ritual tersebut mempunyai fungsi laten, yaitu memperkokoh identitas kelompok melalui suatu peristiwa periodic ketika para warga yang terpencar berhimpun guna melakukan kegiatan kelompok secara bersama. Jadi menurut Merton, suku Hopi yang terus melaksanakan tarian hujan tidak hanya keliru mempercayai bahwa ritual itu menghasilkan hujan, melainkan tindakan tersebut melaksanakan fungsi laten yaitu menggalakkan solidaritas kelompok. Lalu mengapa suku Hopi selalu melaksanakan ritual tarian hujan? Menurut Kaplan dan Manners, setidaknya ada dua alasan 1) ritual itu memang mendatangkan hujan, atau dianggap mendatangkan hujan atau akan mendatangkan hujan; dan 2) mereka menikmati upacaranya, menyukai acara berkumpulkumpul, dan menikmati ritual itu sendiri. Mungkin ada juga ketakutan pada sanksi adikodrati jika melalaikan upacara itu, atau karena adat kebiasaan.
Dengan menggunakan pendekatan fungsional tersebut mitos, seperti halnya agama, adalah salah satu komponen yang turut berperan dalam menjaga stabilitas dan ketertiban masyarakat di wilayah kekuasaan keraton Yogyakarta yang merupakan kelanjutan dari kekuasaan kerajaan Mataram Islam. Inilah yang oleh Robert Merton dikatakan sebagai fungsi laten. Menggugat keberadaan mitos bisa mengakibatkan terganggunya sistem-sistem yang ada di masyarakat. Hal itu bisa menyebabkan instabilitas, sehingga dapat mengacaukan masyarakat secara menyeluruh. Bisa saja lambat dan alamiah akan terjadi demitologisasi keraton seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun konsekuensinya sistem masyarakat yang sudah terbentuk akan mati atau berubah ke sistem lain seperti yang dikatakan oleh Kaplan dan Mannes di atas.
_______________
* Artikel ini diambil dari Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 (saya mendapatkannya dalam bentuk ebook format pdf). Jadi sebenarnya, sudah sangat lama, tapi karena saya pikir masih sangat relevan dengan kekinian, sengaja saya share di sini. Semoga bermanfaat.
** Penulis adalah dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.