Home » , , , , , , , , » Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa

Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa

Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan Budaya Jawa

Suwito NS[*)]

Abstract: Slametan is one of uniqueness of Javanese culture. This tradition adopted many generations, especially by people around Kraton. This tradition implicitly shows human lowly position before the One that Holy and Powerful, namely God of the universe. On some portion of Javanese community, this ritual also addressed to their ancestor’s spirits or holy spirit as offerings. Pagebluk or natural disaster is a symbol of that holy spirit’s fury. This culture can’t be denied as derivative of Javanese origin that have long history, influenced by animism, dynamism, Hindu-Buddha, and Islam. Keywords: Java, Slametan, and God.

Pendahuluan
Jawa (Java), atau sebutan lain seperti Djawa Dwipa atau Djawi adalah pulau yang bila diukur dari titik terjauh, memiliki panjang lebih dari 1.200 km, dan memiliki lebar 500 km. Pulau ini terletak di tepi selatan kepulauan Indonesia, kurang lebih tujuh derajat sebelah selatan garis katulistiwa. Karakter khas pulau ini adalah formasi geologi tua yang dimilikinya, berupa deretan pegunungan dari Himalaya dan Pegunungan Asia Tenggara. Luas pulau ini hanya 7% dari seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Tetapi anehnya, dia memiliki penduduk hampir 60% dari seluruh penduduk Indonesia.[1]

Sementara itu, yang dimaksud orang Jawa atau Javanese menurut Magnis Suseno adalah orang yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa.[2] Sementara Tony Whitten, sebagaimana dikatakan oleh Roehayat Soeriatmadja dan Suraya Afiff, The Ecology Java and Bali (1996) mengatakan bahwa penduduk asli pertama Pulau Jawa adalah mirip dengan suku Aborigin di Australia. Mereka disebut Austroloid. Namun demikian, kemudian mereka tersingkir oleh pendatang dari Asia Tenggara. Mereka tidak dapat hidup di Jawa, tetapi saat ini keturunan mereka dapat ditemukan di suku Anak Dalam atau Kubu di Sumatera Tengah atau di Indonesia bagian timur.

Menurut Kuntjaraningrat dalam Javanese Culture (1985) sebagaimana disinyalir oleh Bintoro Gunadi[3] bahwa pada sekitar 3.000 – 5.000 tahun lalu arus pendatang selanjutnya yang disebut proto-Malay datang ke Jawa. Keturunan mereka saat ini dapat dijumpai di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Tengger di Jawa Timur, Dayak di Kalimantan, dan Sasak di Lombok. Setelah itu, gelombang pendatang yang disebut Austronesia atau Deutro-Malay yang berasal dari Taiwan dan Cina Selatan datang melalui laut ke Pulau Jawa, sekitar 1.000 – 3.000 tahun silam. Sekarang keturunannya banyak tinggal di Indonesia bagian Barat dengan keahlian bercocok tanam padi, pengairan, membuat barang tembikar/pecah belah, dan kerajinan dari batu.

Tradisi-tradisi Jawa; Pengaruh Kepercayaan dan Tata Nilai

Jawa Pra Hindu Budha
Membahas konsep slametan dalam tradisi Jawa, tidak dapat dilepaskan dengan pembahasan tentang kepercayaan yang menjadi pandangan hidup masyarakat Jawa. Ketika membahas kepercayaan masyarakat Jawa, kita dihadapkan bentangan panjang sejarah kepercayaan mereka. Wajar saja karena sejarah tentang kepercayaan (agama) memiliki usia setua dengan eksistensi (manusia) yang mempercayainya. Pembahasan ini menjadi penting karena membahas tradisi erat kaitannya dengan keyakinan dan nilai. Oleh karena seringkali tradisi muncul karena berdasar keyakinan dan nilai.

Situasi kehidupan “religius” masyarakat di Tanah Jawa sebelum datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme.[4] Pandangan hidup orang Jawa adalah mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat.[5]

Menurut Romdlon, dkk.,[6] animisme adalah aliran (doktrin) kepercayaan yang mempercayai realitas (eksistensi, maujud) jiwa (roh) sebagai daya kekuatan yang luar biasa yang bersemayam secara mempribadi di dalam manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan segala yang ada di alam raya ini.

Dengan kepercayaan ini muncul penyembahan pada ruh nenek-moyang (ancestor worship). Penyembahan pada ruh ini akhirnya memunculkan tradisi dan ritual untuk menghormati ruh nenek-moyang. Penghormatan dan penyembahan biasanya dilakukan dengan sesaji dan selamatan. Tujuan ritual ini adalah sebagai wujud permohonan pada ruh leluhur untuk memberikan keselamatan bagi para keturunannya yang masih hidup. Seni pewayangan dan gamelan adalah ritual yang seringkali dijadikan sarana untuk mengundang dan mendatangkan ruh nenek-moyang. Dalan tradisi ritual ini, ruh nenek-moyang dipersonifikasikan sebagai punakawan yang memiliki peran pangemong keluarga yang masih hidup.[7]

Sementara dinamisme atau dinamistik adalah doktrin kepercayaan yang memandang bahwa benda-benda alam mempunyai kekuatan keramat atau kesaktian yang tidak mempribadi, seperti pohon, batu, hewan, dan manusia.[8] Dengan kata lain, sebagaimana dikatakan Alisyahbana (1977)[9] kepercayaan masyarakat Jawa pra-Hindu Budha adalah keyakinan akan hal-hal ghaib (tak terlihat), besar dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar tidak diganggu oleh kekuatan tersebut, apalagi mencelakakannya.

Eksistensi ruh dan kekuatan benda-benda tersebut dipercayai dapat menolong dan dapat mencelakakan manusia. Masyarakat Jawa Kuno mempercayai adanya kekuatan pada benda-benda. Kekuatan pada benda-benda selanjutnya dipercayai dapat mengakibatkan pageblug penderitaan, musibah) yang dapat mengancam eksistensi manusia. Gunung meletus, angin topan, gempa bumi, sambaran petir, dan semacamnya dipercayai sebagai wujud marahnya ruh dan efek kekuatan negatif yang berasal dari benda-benda di alam sekitar.

Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak, dan senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat perlakuan istimewa.

Pengaruh Agama Hindu-Budha dan Islam
Masuknya ajaran Hindu[10] dan Budha ternyata tidak menghapus agama asli masyarakat Jawa. Agama asli tidak punah, tetapi justru menemukan bentuk dan tempatnya yang lebih baik bagi perkembangan keyakinan tersebut. Walau demikian, Hindu-Budha memberikan konsep baru dengan mentranformasikan keyakinan masyarakat akan kekuatan pada benda-benda dan ruh menuju pada kekuatan figur-figur tertentu, yakni raja-raja. Raja dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Dari kosep ini muncullah budaya untuk patuh tanpa reserve pada raja.

Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar. Dimulai dari transformasi keyakinan dari Hindu-Budha ke Islam. Transformasi ini didukung oleh raja yang juga ikut memeluk Islam. Penyebar Islam di Jawa adalah Walisongo, sebagai juru dakwah dan guru tarekat. Corak Islam Jawa adalah bercorak tasawuf. Sementara itu, pandangan hidup masyarakat Jawa sebelumnya bercorak mistik sehingga pandangan Islam yang bercorak tasawuf ini sejalan dengan keyakinan mereka.

Tipografi Kekuatan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa sekalipun telah mengalami “transformasi keyakinan” dari animisme-dinamisme, Hindu-Budha, hingga ke Islam yang bercorak tasawuf, sebagian besar masyarakat pedalaman (rural) masih sangat kental dengan keyakinan bersifat mistik yang ghaib.

Menurut Pemberton,[11] ada dua fokus geologis utama kekuatan magis dan kekuatan supranatural di Jawa Tengah bagian selatan, yakni, pertama, Gunung Lawu di utara, dan Parangtritis di tepi Samudera Hindia di selatan. Gunung Lawu dianggap sebagai lokasi menghilangnya secara asketik (muksa) Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V. Di samping itu, Gunung Lawu adalah wilayah kekuasaan raja lelembut Sunan Lawu. Sementara itu, Parangtritis adalah suatu tempat yang menghadap ke kerajaan Ratu Kidul, ratu makhluk halus, yang disebut sebagai pasangan spiritual raja-raja Jawa.

Kedua, tempat tersebut memiliki banyak gua berbatu, mata air, kolam, dan keanehan-keanehan alam. Lingkar keliling kekuatan di utara dilengkapi Gunung Merapi di sebelah utara Yogyakarta, dan hutan mitis Krendhawahana (wilayah kekuasaan Bethari Durga) di utara Solo. Sementara di sebelah selatan lingkar keliling adalah garis pantai dan kaki gunung yang terbentang dari Parangtritis hingga Ponorogo.

Seluruh daerah tersebut dilintasi jejak-jejak spiritual seperti petapa legendaris, mereka yang ingin menjadi raja. Nama-nama yang bisa disebut seperti Brawijaya V, Hamengkubuwono I, Mangkunegara I, dan Jenderal Sudirman. Pengalaman asketik yang berbau mistik ini meneguhkan kepercayaan masyarakat pada kehebatan raja-raja, yang ini dapat digunakan untuk melegitimasi kekuatan politiknya. Hal inilah yang diakatan sebagai fase mitos oleh Kuntowijoyo.

Semua fokus kekuatan ini (Gunung Lawu dan Parangtritis) dan dua fokus tambahan di utara (Gunung Merapi dan Hutan Krendawahana) selalu menerima sesaji tahunan dari Kraton-kraton Jawa Tengah guna menegakkan siklus kosmologisnya.[12]

Dari kepercayaan yang demikian, di samping sesaji dan slametan, terdapat upaya lain, yakni “pemagaran” kraton dengan pusaka yang dipercayai dapat menolak bahaya. “Pemagaran” dilakukan terutama pada saat-saat krisis, yakni pada saat terjadi wabah penyakit (pageblug), kelaparan, atau musibah lain.[13]

Yang menjadi pertanyaan adalah, “Kenapa kraton dengan sekuat tenaga dilindungi dari bahaya dan penderitaan?” Alasannya karena kraton adalah sumber keselamatan (slamet) dan kesejahteraan. Kraton sebagai pusat kosmos dan semesta. Kekuatan magis kraton menyebar ke seluruh abdi (masyarakat) melalui ritual dan upacara sakral. Kekuatan magis raja tersimpan di dalam pusaka-pusaka tersebut.[14]

Penghormatan, perlakuan istimewa, dan penjamasan pusaka dilakukan agar benda-benda tersebut tidak mengeluarkan daya rusaknya yang dapat merugikan, bahkan menghancurkan eksistensi manusia dan alam sekitar. Perlakuan khusus dengan cara mengirap (mengarak), menjamas (mencuci) adalah aktivitas rutin tahunan yang dilakukan secara formal, khususnya di lingkungan kraton.

Konsep Slametan dalam Masyarakat Jawa
Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz[15] slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun).

Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak).

Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu atau kelauarga tampak ketika mereka mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam kandungan), puputan (lepas pusar), dan masih banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai praktik-praktik seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton[16] praktik yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji) tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa (dhanyang). Dengan kata lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin hubungan damai dengan dunia ruh setempat.

Dapat dipahami bahwa slametan seringkali merupakan pesta komunal sebagaimana disebutkan pada slametan dalam skala besar. Hanya saja, slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai kebersamaannya, tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian “buah tangan”, jajan pasar, dalam bentuk makanan. Yang menarik adalah ketika warga desa mendatangi slametan bukanlah kemungkinan untuk makan bersama —sebagai wujud kebersamaan—, tetapi justru keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah (berkat).

Slametan dimaknai sebagai sebuah konsep dan ritual yang selanjutnya dimaknai dalam bingkai yang lebih luas, yakni penciptaan tata, tertib, aman (selamat), dan wilujeng (selamat). Bahkan, Orde Baru —yang syarat dengan tradisi Jawa—, menginterpretasikan konsep ini dengan menciptakan satuan-satuan pengamanan dengan maksud menciptakan ketertiban, in order condition, dengan dalih keselamatan bangsa.

Praktik Ritual Slametan: Beberapa Kasus
Dalam makalah ini akan ditampilkan beragam ritual slametan, yang menurut penulis merupakan representasi dari slametan yang skupnya kecil (individual) dan slametan kolosal (melibatkan orang banyak). Hal ini penting karena jenis ritual slametan dalam tradisi Jawa sangat banyak.

a. Ngupati dan Mithoni
Dalam tradisi Jawa, terdapat slametan yang bernama ngupati atau kupatan. Ngupati berasal dari kata kupat, yakni nama makanan yang terbuat dari beras dengan daun kelapa (janur) sebagai pembungkus. Slametan ini biasanya dilakukan di saat usia kehamilan sekitar 4 (empat) bulan.

Tradisi ngupati adalah slametan yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan, agar anak yang masih dalam kandungan ibu tersebut memiliki kualitas baik, sesuai dengan harapan orangtua. Slametan ini biasanya menggunakan kupat sebagai hidangan utama.

Dalam slametan ini, penyelenggara (tuan rumah) mengundang tetangga dekat, sekitar radius 50 meter untuk berdoa kepada Tuhan yang kemudian dilanjutkan dengan menyuguhkan kupat dan berbagai variasi lauk dan sayur sebagai pelengkap hidangan.

Tradisi serupa dapat dijumpai dengan istilah mithoni. Mithoni berasal dari kata pitu (tujuh). Sebuah ritual hajat slametan pada saat usia kehamilan tujuh bulan. Dalam acara tersebut, disiapkan sebuah kelapa gading yang digambari wajah dewa Kamajaya dan Dewi Kamaratih. Maksud dan tujuannya agar bayi memiliki wajah seperti Dewa Kamajaya jika laki-laki, dan seperti Dewi Kamaratih jika perempuan.

Di samping kelapa gading, dalam slametan tersebut disajikan kluban / kuluban / uraban / gudangan (campuan antara taoge, kacang panjang, bayam, wortel, kelapa parut yang dibumbui), lauk-pauk (ikan, tempe, tahun), dan rujak buah. Kepercayaan mitologi dari sebagian masyarakat Jawa, di saat ibu (yang mengandung bayi yang di-slameti) makan rujak, jika dia merasa pedas atau kepedasan, maka besar kemungkinan bayi yang dikandung adalah laki-laki, demikian juga sebaliknya.

Dalam acara mithoni, ibu tertua mulai memandikan ibu yang mengandung (mithoni) dengan air kembang (bunga) setaman (air yang ditaburi bunga mawar, melati, kenanga, dan kanthil). Proses ini disebut tingkeban, di mana ibu yang mengandung (mithoni) berganti tujuh kain (baju). Setelah selesai, dilanjutkan dengan berdoa dan makan nasi dengan urap dan rujak. Slametan ini sebagaimana disebut di atas sebagai upaya untuk memohon kepada Tuhan agar anak yang dikandung nantinya menjadi anak yang dapat mikul duwur mendhem jero (mengangkat derajat) orangtua dan keluarga.[17]

b. Tradisi Suran
Suran berasal dari kata Sura, yakni nama salah satu bulan dalam kalender Jawa, yang dalam almanak Hijriah disebut muharram. Sementara istilah suran memiliki makna kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada bulan Sura.

Dalam tradisi Jawa, bulan Sura memiliki makna spesial. Bulan ini dinyatakan sebagai bulan paling keramat. Di bulan ini ada beberapa aktivitas yang pantang dilakukan dan wajib dilakukan. Orang Jawa pantang melakukan mantu (pesta pernikahan), pindahan (pindah rumah), mbangun (membangun rumah), dan kegiatan semacamnya pada bulan ini. Sebaliknya, sebagian orang Jawa melakukan berbagai ritual pada bulan Sura.

Tradisi slametan sebagaimana disebutkan di atas masih rutin dilakukan terutama pada masyarakat abangan Jawa dan di lingkungan Kraton di Jawa. Kirap (pengarakan), jamas (penyucian) pusaka dilaksanakan pada bulan ini.

Kirap pusaka Kraton Surakarta Hadiningrat dilaksanakan secara tetap setiap malam menjelang 1 Sura Tahun Baru Jawa, yang dimulai kira-kira jam 12 malam hingga jam 4 pagi. Kirap pusaka adalah ritual (slametan) dengan cara pawai atau arak-arakan beberapa pusaka keraton Surakarta Hadiningrat yang memiliki daya magis atau daya prabawa yang dipercaya memiliki kesaktian (keampuhan). Pusaka yang dikirap adalah peninggalan Majapahit dan sebelumnya.

Sebelum kirab dimulai, diadakan slametan dan sesaji murwah warsa di keraton. Rute kitab adalah Alun-alun Utara, Gladag, Sangkrah, Jalan Pasar Kliwon, Gading, Nonongan, Jalan Slamet Riyadi, ke arah timur menuju Gladag lagi, Alun-alun Utara, Kamandungan, dan masuk Keraton. Jalan yang dilalui jalan yang mengelilingi Keraton Surakarta dengan arah pradiksana, yakni selalu berada di sebelah kanan Kraton.

Dalam pelaksanaan kirab, yang paling di depan adalah Kebo Bule Kiai Slamet (Kerbau Bule yang diberi nama Kiai Slamet) sebagai cucuking lampah (pendahulu perjalanan). Di belakannya diikuti oleh para pengarak pembawa pusaka atau dikenal dengan nama Gajah Ngoling. Semula Kiai Slamet sebenarnya adalah nama sebuah pusaka yang berbentuk tombak, sedangkan Kebo Bule adalah nama dari embang (sarung) dari pusaka tersebut.

Upacara kirap pusaka, mula-mula adalah kegiatan tambahan pada acara Wilujeng Nagari (keselamatan negara). Sebuah hajat kenegaraan yang dilaksanakan pada setiap tahun sejak jaman Majapahit. Tujuan kegiatan ini adalah memohon keselamatan negara. Pada jaman Majapahit hingga jaman Demak, wilujeng negari bernama Murwa Warsa, atau Rajawedha. Slametan ini menggunakan sesaji dari berbagai suguhan makanan, yang di antaranya adalah daging kerbau (mahesa). Dengan menggunakan dominasi daging mahesa (kerbau), maka upacara slametan ini disebut dengan Mahesa Lawung. Upacara ini diselenggarakan di salah satu hutan keramat, yakni Krendawahana. Salah satu hutan yang dipercayai oleh masyarakat Jawa bagian selatan sebagai salah satu pusat lelembut (dunia makhluk yang tidak tampak).

Sesaji dan persembahan dalam tradisi Jawa, istilah yang sangat akrab adalah sesaji. Istilah lainnya dikenal dengan sajen. Sajen atau sesaji adalah persembahan pada makhluk halus sebagai upaya pendekatan agar keberadaan mereka tidak menggangu manusia. Dengan kata lain, tujuan sajen adalah untuk keselamatan.

Slametan dan Salamah dalam Islam
Salam berasal dari salima – yaslamu – salaman – salamat (h) berarti selamat, bebas, menerima, rela (puas), damai.[18] Terdapat 155 ayat yang secara derivatif berasal dari kata salima. QS. 7: 46, “Di antara keduanya ada batas, di atas a’raf itu ada orang yang mereka kenal, masing-masing dengan tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga dengan ‘salamun alaikum’…”. Kata salamun alaikum memiliki arti keselamatan dan rasa aman selalu menyertai kalian (penduduk surga).[19] Selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan kata salam berarti luput dari kekurangan, kerakusan, dan aib. Kata selamat diucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan pada kekurangan atau kecelakaan. Salam atau damai yang demikian adalah “damai positif” dan juga “damai aktif”, yakni bukan saja terhindar dari keburukan, tetapi lebih dari itu, dapat meraih kebajikan atau kesuksesan.

Kedamaian, keamanan, dan kesentausaan adalah cita-cita dan tujuan setiap makhluk hidup. Oleh karena itu, Allah mengajak hamba-Nya ke negeri yang damai (dar al-salam) (QS. Yunus: 25). Allah sendiri adalah pangkalan kedamaian, keselamatan, dan kesentausaan (QS. al-Hasyr: 23). Tanpa adanya al-Salam (Allah) atau tanpa salam (kedamaian jiwa manusia), maka semuanya akan kacau, rusak, bahkan kehidupan akan berhenti.

Dari keyakinan akan keesaan Tuhan, pada gilirannya melahirkan kedamaian dan ketentraman. Sebaliknya, pelanggaran dan pengingkaran pada Tuhan akan melahirkan kekacauan, ketidakpastian, kegelisahan, dan ketakutan.

Bukti dalam sejarah kemanusiaan sebagaimana ditunjukkan oleh referensi qur’anik bahwa keingkaran (ke-kufur-an) —sebagai lawan kata ketundukan (ke-islam-an)— sebagai wujud kedzaliman pernah dialami oleh beberapa pelaku sejarah yang mengakibatkan degradasi dan kejatuhan “status” seperti yang dialami oleh Adam, penderitaan yang mencekam (dalam perut ikan) sebagaimana di alami oleh Yunus, serta “pelecehan” harga diri sebagaimana dialami oleh Yusuf. Meskipun dengan peristiwa tersebut akhirnya mereka menemukan kembali kepatuhan dan kepasrahan mereka, sekaligus menemukan keselarasan, keseimbangan, ketenangan, dan kedamain jiwa. Peristiwa yang dialami oleh para nabi sebagaimana disebut dalam al-Quran, paling tidak memiliki dua maksud. Pertama, peristiwa (kekufuran) tersebut menunjukkan adanya kebebasan diri untuk memilih. Artinya, manusia sebagai hamba Tuhan dilengkapi dengan potensi untuk bebas memilih antara patuh atau ingkar. Kedua, pelajaran tentang transformasi kesadaran. Kesadaran diperoleh melalui pengalaman, yang sekarang mungkin dapat disebut trial and error, tetapi tetap pada pendirian bahwa pengalaman tersebut memiliki tambatan yang kuat, yakni Tuhan.

Berbeda dengan kekufuran sepanjang masa sebagaimana di alami oleh Fir’aun. Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah kehidupan Fir’aun adalah “nihilis”, yakni dapat disebut sebagai “kekosongan ruhani ketuhanan”, sekalipun dia menyebut dirinya tuhan. Pengingkaran Fir’aun berakhir dibayar dengan social cost yang sangat mahal, yakni keterkungkungan, penindasan, serta penistaan citra kemanusiaan.

Salamat bagi Ibn Araby sebagaimana disinyalir William C. Chittick, bahwa keselamatan dapat dicapai melalui “adaptasi” atau proses penyelarasan dengan qadr (ukuran-ukuran) Tuhan. Qadr Tuhan adalah Syari’ah. Jika seseorang menyimpang dari qadr (syari’ah) tersebut, maka pada dasarnya tidak ada keselamatan bagi dirinya.[20]

Tuhan yang dimaksud Ibn Araby adalah Tuhan sebagaimana yang dikonsepsikan dalam al-Quran, yakni sebagai pencipta, pemelihara, dan pengatur kehidupan. Jika disandingkan dengan pemahaman masyarakat Jawa pra-Islam, (terutama pada jaman primitif), kepercayaan mereka ada kekuatan-kekuatan lain selain dirinya. Kekuatan di luar dirinya dinyatakan sebagai Tuhan, termasuk ruh nenek-moyang, kekuatan magis benda, dan lain sebagainya, yang di dalam Islam adalah sebagai makhluk Tuhan.

Islam menganjurkan pemeluknya untuk mempercayai hal-hal ghaib (hal-hal yang kasat mata), seperti jin, malaikat, roh, dan makhluk ghaib lain. Makhluk-makhluk ghaib sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an memiliki potensi (kemampuan) tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh jenis makhluk lainnya. Akan tetapi, kepercayaan dan keimanan tersebut menandaskan bahwa potensi (kekuatan) tersebut adalah potensi pemberian Allah, Tuhan semesta alam. Dengan kata lain, tidak ada kekuatan apapun jika tidak diberi oleh Allah.

Penghargaan sesama makhluk diperbolehkan selagi tidak menjurus pada penuhanan (menjadikan Tuhan). Sesama manusia dianjurkan saling menghargai dan dilarang menyakiti. Demikian juga terhadap makhluk lain, termasuk kepada hewan, bahkan makhluk ghaib lain. Yang sangat dilarang adalah menuhankan bukan Tuhan dan me-makhluk-kan Tuhan. Dalam al-Quran, Allah adalah nama Tuhan umat Muhammad, selain menuhankan Allah, berarti menuhankan selain Tuhan. Memberi perlakukan khusus seperti perlakuan kepada Tuhan (penyembahan dan pengorbanan) adalah perbuatan syirik, yang disebut sebagai dosa besar.

Shadaqah dan Tala Bala
Ada dua term penting dalam subbab ini yang perlu diuraikan, yakni term shadaqah dan tala bala’. Shadaqah berasal dari kata shadaqa – yasduqu – shidqan, shadaqah, yang berarti nyata, benar, persahabatan. Secara terminologis, shadaqah adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain dengan tanpa pamrih apa-apa kecuali karena “persahabatan” dan ridha Allah. Pemberian shadaqah didasarkan pada ketulusan hati dan keihlasan. Hal ini terutama shadaqah diberikan kepada orang yang tepat (yang paling sangat membutuhkan). Sementara itu, term kedua tala bala’, berasal dari kata tala, dan bala’, artinya adalah mencegah musibah, kemadharatan.

Seringkali shadaqah dihubungkan dengan tala bala. Istilah shadaqah juga terkadang dihubungkan dengan istilah syukuran. Hal ini karena dalam acara syukuran seringkali dihidangkan berbagai makanan sebagai sedekah (shadaqah). Memang shadaqah tidak terbatas pada pemberian yang sifatnya materi, tetapi juga imateri seperti mendoakan, ramah, senyum, dan lainnya.

Dalam ajaran Islam, shadaqah memiliki posisi sangat penting sehingga lebih dari 25 kali disebut dalam al-Qur’an, dan lebih dari 500 Hadis yang menganjurkan untuk ber-shadaqah dalam berbagai bentuk dan variasinya. Lebih khusus disebut dalam sebuah Hadis yang sangat terkenal intinya adalah ada tiga perbuatan yang akan tidak akan putus sekalipun pelakunya telah meninggal dunia, yakni shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan orangtuanya.[21]

Kesimpulan
Tradisi slametan berakar dari budaya asli Jawa (animisme dan dinamisme) dan selanjutnya dihidupkan dan diperkaya oleh budaya Hindu Budha. Masuknya Islam di Jawa menggunakan pola “damai” dengan persuasi sehingga masih terdapat simbol-simbol budaya masa lalu (animisme-dinamis, Hindu-Budha yang masih menjadi “pola” pikir dan paradigma masyarakat Jawa.

Slametan adalah konsep universal yang di setiap tempat pasti ada dengan nama yang berbeda. Hal ini karena kesadaran akan diri yang “lemah” di hadapan kekuatan-kekuatan di luar diri manusia. Di Jawa Kuno, kekuatan diri adalah kekuatan benda dan ruh nenek-moyang yang pada saat Islam datang ditranformasikan pada selamat dari kekuatan Tuhan yang dapat merugikan diri manusia.

Daftar Pustaka
P3M STAIN Purwokerto | Suwito N.S. 11 Ibda` | Vol. 5 | No. 1 | Jan-Jun 2007 | 90-105
Chittick, William C. 2001. The Sufi Part of Knowledge: Hermeunetika Al-Quran, Terj. Ahmad Nidjam, dkk. Yogyakarta: Penerbit Qalam.
Geertz, Clifford. 1976. The Religion of Java. Chicago: Chicago University Press.
Gissco. 1999-2001. Maushu’ah al-Hadits al-Syarif (CD Mutimedia) (TTP: GISSCO, “Shahih Muslim” Hadis Nomor: 4086, “Sunan al-Nasa’i” Hadis Nomor: 3591; “Sunan Abi Dawud”, Hadis Nomor: 2494, 3073, “Musnad Ahmad”, Hadis Nomor: 8489, “Sunan Al-Darimy”, Hadis Nomor: 559.
Gunadi, Bintoro. Homosolensis <Jowo=Panggonane Jawoto>, http://www.jawapalace.org/;
Haar, 1992. “Twee Bezweringfeesten te Jogjakarta”, Jawa 2. TTP.: TP.
http://www. jawapalace.org/portal kebudayaan dan kamardhikan.
http://www.x4all.ml~withm/javmys1.html
Kompas, 23 September 2001.
Masroer Ch. Jb.2004. The History of Java. Jogjakarta: Ar-Ruzz.
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka Progressif.
Pemberton, John. 2003. Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa.
Ricklefs, M.C. 1981. A History of Modern Indonesia; c. 1300 to the Present. London: Mcmillan.
Ridwan, 2005. “Dialektika Islam dan Budaya Jawa”, dalam Ibda’ Volume 3, Nomor 1 Januari-Juni 2005. Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto.
Romdhon, dkk. 1988. Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
Shatri, N.D. Pandit. 1963. Sejarah Bali Dwipa. Denpasar: Bhuawana Saraswati.
Shihab, M. Quraish. 2004. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Subagja, Rahmad . 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Supater, Sularso. 1987. Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Pangestu. Jakarta: Sinar Harapan.
Wibisono, Singgih. 1972. Kirap Pusaka. Surakarta: Museum Radyapustaka.

______________________________________________________________________

Endnote:
[1] http://www. jawapalace.org/
[2] http://www. jawapalace.org/portal kebudayaan dan kamardhikan.
[3] Bintoro Gunadi, Homosolensis <Jowo=Panggonane Jawoto>, http://www.jawapalace.org/; Lihat juga Kompas, 23 September 2001.
[4] Masroer Ch. Jb., The History of Java (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2004), hal. 19., Lihat juga, http://www.x4all.ml~withm/javmys1.html
[5] http://www.javapalace.org/portal kebudayaan dan kamardikan.
[6] Romdhon dkk, Agama-Agama di Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal. 36 dan 43. Lihat Ibid,. hal. 19 – 20.
[7] Ridwan, “Dialektika Islam dan Budaya Jawa”, dalam Ibda’ Volume 3, Nomor 1 Januari - Juni 2005 (Purwokerto: P3M STAIN Purwokerto, 2005), hal. 20.
[8] Romdhon dkk, Agama, hal. 36.
[9] http://www.javapalace.org/portal kebudayaan dan kamardikan.
[10] Agama Hindu dibawa oleh pelaut India dan para Brahmana. Kaum Brahmana selanjutnya memperoleh posisi yang kuat dan menjabat sebagai penasihat raja serta sebagai pemimpin upacara keagamaan Abhiseka (pertobatan) dan Mahattnya (menghindukan adat). Lihat lebih lanjut Rahmad Subagja, Agama Asli Indonesia (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hal. 13; Lihat juga Masroer Ch , Jb. The History, hal. 21; N.D. Pandit Shatri, Sejarah Bali Dwipa (Denpasar: Bhuawana Saraswati, 1963), hal. 89; Bandingkan dengan Sularso Supater, Mengenal Pokok-Pokok Ajaran Pangestu (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hal. 9.
[11] John Pemberton, Jawa (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), hal. 368 – 380.
[12] Ricklefs, M.C., A History of Modern Indonesia; c. 1300 to the Present (London: Mcmillan, 1981), hal. 38.
[13] Haar, “Twee Bezweringfeesten te Jogjakarta”, Jawa 2 (TTP: TP.,1992), hal. 29 - 33
[14] Singgih Wibisono, Kirap Pusaka (Surakarta: Museum Radyapustaka, 1972), hal. 17.
[15] Clifford Geertz, The Religion of Java (Chicago: Chicago University Press, 1976), hal. 14.
[16] Pamberton, Jawa, hal. 327 – 336.
[17] Lihat www.jawapalace.org.
[18] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hal. 655 – 656.
[19] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hal. 105 – 107.
[20] Willian C. Chittick, The Sufi Part of Knowledge, Hermeunetika Al-Quran, Terj. Ahmad Nidjam, dkk (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), hal. 23.
[21] Maushu’ah al-Hadits al-Syarif (CD Mutimedia) (TTP: GISSCO, 1999 – 2001), “Shahih Muslim” Hadis Nomor: 4086, “Sunan al-Nasa’i” Hadis Nomor: 3591; “Sunan Abi Dawud”, Hadis Nomor: 2494, 3073, “Musnad Ahmad”, Hadis Nomor: 8489, “Sunan Al-Darimy”, Hadis Nomor: 559.

[*)] Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), alumus Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Dia dosen tetap di Jurusan Pendidikan (Tarbiyah) STAIN Purwokerto. Bukunya terbarunya yang telah terbit, Shalat Khusu’ di Tempat Kerja (Pustaka Pelajar bekerjasama dengan STAIN Purwokerto Press, 2006).

Sumber: Ibda` | Vol. 5 | No. 1 | Jan-Jun 2007 | 90-105