09 September 2012

Ketuk Tilu, Apa yang Harus Dilakukan Agar Tak Punah?

Ketuk tilu adalah salah satu kesenian rakyat Pasundan yang sekarang ini mulai punah karena tak adanya regenerasi dari kalangan tua kepada kalangan muda. Terlebih lagi, jenis kesenian tradisional seperti ini memang sudah sejak puluhan tahun lalu nasibnya terseok-seok dan kalah pamor dengan kesenian rakyat yang lebih modern seperti organ tunggal dan sejenisnya.

Kesenian lainnya dari tatar sunda macam jaipong atau kuda renggong, meski nasibnya juga ‘hidup segan mati tak mau’ dengan ketuk tilu tapi masih sedikit beruntung karena pada bulan-bulan tertentu (musim hajatan -biasanya seusai panen) untuk jaipong atau kuda renggong ini masih ada panggilan pentas meski tak sepadat seperti semasa kesenian ini berjaya. Terlebih lagi semenjak dua kesenian ini berasimilasi dengan musik rakyat yaitu dangdut dan beralih rupa menjadi jaipong dangdut atau kuda renggong dangdut, sedikit banyaknya membuat kesenian ini memiliki semacam napas tambahan.

Memang, bila satu jenis kesenian bercampur dengan jenis kesenian lain maka kemurnian dan orisinalitas dari kesenian tersebut sedikit banyaknya jadi terganggu. Tapi, persoalannya memang tak sesederhana itu, di wilayah yang sebagian besar penduduknya tidak begitu peduli dengan kelangsungan seni dan budayanya, kreasi semacam penggabungan dua kesenian menjadi satu demi penyelamatan dari kepunahan mutlak diperlukan, seperti kata pemimpin jaipong Gentra Komara, bapak Cecep Jamhuri, “Saya juga ingin rombongan seni jaipong yang saya pimpin ini hanya mementaskan jaipong orisinil, tapi ya mau bagaimana lagi, jaipong seperti itu nggak laku, mas. Jadi ya mau tak mau, demi kelangsungan kesenian ini saya terpaksa menggabungkannya dengan lagu dangdut agar ada yang mengundang kami mentas, toh sinden jaipong kami tetap mengenakan atribut-atribut baku jaipong ketika berpentas seperti selendang, kebaya dan subang. Pokoknya selama di kepala masih ada subang maka kami tetap jaipong.” Ujarnya sambil terkekeh.

Dan memang begitulah seharusnya. Ini bukan persoalan murni tidak murni, melainkan lebih jauh dari itu, eksis atau punah. Dan beruntunglah, seniman-seniman seperti pak Agus yang memiliki kesadaran penuh terhadap kebudayaan daerahnya ini dengan kreatifitasnya menggabungkan diri dengan musik dangdut yang tak bisa kita pungkiri sangat digemari oleh masyarakat kita. Kalau tak bisa bikin jaipong murni, asal tak punah jaipong dangdut pun jadilah.

Nah, semangat ‘asal tak punah, maka jadilah’ ini yang tidak saya rasakan di kesenian ketuk tilu. Entah karena memang tak bisa dipadukan dengan jenis kesenian lain atau bersikeras ingin mengusung kemurnian, kesenian yang pada awal terciptanya berfungsi sebagai upacara menyambut panen padi yang merupakan ungkapan rasa syukur terhadap Dewi Sri ( dewi padi ) ini kian hari kian tak terdengar lagi kiprahnya.

Sebenarnya jika kita menengok ke belakang ke saat mulai berkembangnya kesenian ini, ketuk tilu yang namanya di ambil dari alat musik pengiringnya yaitu 3 buah ketuk ( bonang ) sebagai pemberi pola pada irama rebab untuk memainkan lagu atau melodi, dan di tambah dengan instrument pengiring lainnya berupa kendang indung, kendang kulinter, kecrek dan gong pada mulanya dipentaskan untuk keperluan upacara penyambut panen dengan urut-urutan awal mengarak seorang gadis sebagai lambang Dewi Sri dengan iringan bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh perangkat gamelan seperti yang saya sebut di atas dan berhenti di lapangan yang luas di mana sang gadis yang di arak tadi kemudian duduk di semacam bale bambu dekat oncor (obor) untuk menyaksikan para penari memainkan tarian itu toh pada akhirnya berbelok menjadi kesenian pergaulan melalui acara joget (ngibing) antara para penari ketuk tilu yang di sebut ronggeng dengan penontonnya.

Jadi, jika melihat dari penjabaran di atas nyatalah kalau sejak awal perkembangannya pun ketuk tilu sudah tak murni lagi meski hanya sebatas dari tarian upacara menjadi tarian pergaulan. Jadi jika pada masa sekarang ketuk tilu pun ingin berasimilasi dengan kesenian lain demi hal-hal positif macam menghindarkannya dari kepunahan saya pikir sah-sah saja selama ciri-ciri khas dari kesenian ketuk tilu seperti penyajian tarian tatalu arang-arang sebagai pembuka dan penutup peralihan lagu, dinyanyikannya lagu kembang gadung yang dulu diyakini sebagaipersembahan kepada leluhur (karuhun) agar dijauhkan dari kesalahan-kesalahan selama kesenian ini dipentaskan, gerak jejangkungan yang diteruskan oleh gerak wawayangan oleh ronggeng lulugu (ronggeng pembuka) sebelum munculnya ronggeng pangbarep sebagai ronggeng primadona, ibing junggal / ibing jago dengan iringan lagu Cikeruhan, Cijagran dan Ewag sebelum acara ngibing bersama penonton, dan lain sebagainya tetap dipertahankan.

Kedepannya saya pribadi sebagai pecinta kebudayaan berharap dapat menyaksikan kembali kesenian ketuk tilu ini, terlepas apakah itu ketuk tilu orisinil ataupun ketuk tilu dangdut, ketuk tilu jaipong, ketuk tilu genjring atau apapun selama bisa menyaksikan sendiri gerakan-gerakan khas ketuk tilu semacam goyang , pencak, muncid, gitek, geol, cingeus, depog/ ewag, ban karet, bajing luncat, bongbang, meulit kacang , oray -orayan, kalawit , jerete, torondol, balik bandung, balungbang, dll, dan juga mendengarkan lagu-lagunya yang konon sangat khas seperti erang, kagok, kaji-kaji, polostomo, golektrak, tunggul kawung, sorong, dll. tidak sekedar dari cerita kakek nenek ketika romantisme nostalgia mereka sedang kambuh.