30 April 2022

Sejarah Pesugihan di Pulau Jawa

Jika kita menelusuri sejarahnya, kata pesugihan dalam kultur orang Jawa baru ada setelah abad ke 18, yakni pada awal abad ke 19 dan 20. Konon menurut Guru Besar Sejarah Unnes, Prof. Dr. Wasino, M.Hum. di kultur Jawa pada abad 15 hingga 17 orang menjadi kaya raya adalah hal yang biasa dan umum terjadi. Terlebih di daerah Kudus dan sekitarnya yang merupakan sentra perdagangan internasional yang melibatkan pedagang dari Gujarat, China dan Arab.

Pada masa itu para penduduk pribumi yang menjadi pedagang memang lazimnya akan menjadi kaya raya karena ada kapitalisme global di sana. "Sunan Kudus itu kita kenal sebagai simbol bisnis berhasil, dan itu di Kudus kulon memengaruhi etos kerja orang Kudus sampai sekarang," Kata Prof. Dr. Wasino, M.Hum.

Hingga kemudian pada awal abad ke 18 datang kapitalisme Barat yakni VOC, sebuah kongsi dagang dari Belanda yang pada akhirnya menguasai wilayah-wilayah perdagangan di Indonesia dan kemudian menerapkan sistem monopoli.    

Baca juga: Pesugihan Gunung Srandil di Cilacap

Dengan sistem monopoli VOC ini untuk selanjutnya terjadi sistem tanam paksa di pulau Jawa, kelas pedagang pribumi lambat laun berubah menjadi kelas buruh. Dan kaum pribumi yang punya kuasa kemudian diangkat dan mendapat gaji dari VOC. Para pembesar yang digaji oleh Belanda melalui VOC-nya ini lambat laun kita kenal menjadi kaum bangsawan atau kaum priyayi, yakni kaum pekerja yang menikmati pasilitas dan gaji dari VOC.

Dari sinilah kemudian terjadi perubahan cara pandang pada kultur orang Jawa, bahwa untuk menjadi terhormat itu harus menjadi priyayi. Sementara kegiatan berdagang dan buruh kasar adalah kelas wong cilik.

Sejarah Munculnya Istilah Pesugihan

Padahal jika kita tilik sejarahnya, yang kemudian menjadi priyayi itu pada awalnya adalah seorang pedagang, tapi setelah adanya monopoli VOC, priyayi menjadi kelas tersendiri dan menghindari kegiatan berdagang. Pada titik inilah strata kelas pedagang lenyap dan muncul strata baru yakni kelas buruh yang disebut dengan strata wong cilik. 

Dari sinilah kemudian muncul pola pikir bahwa untuk menjadi terhormat itu harus menjadi priyayi. Oleh karena itu cita-cita hampir seluruh orang Jawa kala itu adalah menjadi priyayi dan bukan menjadi pengusaha. Dengan menjadi priyayi berarti akan mendapat gaji besar dan fasilitas mewah. Kalau menjadi buruh dan pedagang maka tidak akan menjadi kaya karena strata wong cilik memang tidak boleh kaya. Sejak saat itu orang jawa terbagi menjadi dua secara ekonomi. Yang pertama ekonomi barat yang menguasai pasar dan yang kedua ekonomi tradisional yang hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. 

Kemudian jaman berubah dan sistem tanam paksa akhirnya dihapuskan. Dampaknya industri perkebunan tak lagi dikuasai oleh pemerintah kolonial tapi juga oleh kapitalis barat dan beberapa orang China. Dampak dari hal tersebut, terjadilah monetisasi uang yang menyebar luas di pedesaan. Seperti di Kudus, Pati, Solo uang mulai menyebar di desa-desa. Dari hal tersebut kemudian muncul variasi pekerjaan di desa. Salah satu pekerjaan itu adalah menjadi pedagang. Dan yang akhirnya berprofesi menjadi pedagang ini siapa lagi kalau bukan dari strata wong cilik. Dari sinilah kemudian muncul orang-orang kaya baru dari kalangan wong cilik yang menyebrang menjadi pedagang.

Fenomena wong cilik yang berubah menjadi orang kaya inilah yang kemudian mengagetkan para priyayi kala itu. Bagi mereka mustahil wong cilik menjadi kaya raya kalau hanya dari berdagang, pasti ada hal lain yang menyimpang dan itu kemudian dikaitkan dengan hal-hal supranatural.

Dari sinilah kemudian muncul istilah pesugihan yang dihembuskan oleh kalangan priyayi bahwa wong cilik yang menjadi kaya itu pastilah karena bersekutu dengan setan alias melakukan praktik pesugihan. Padahal kenyatannya adalah karena para orang kaya baru dari kalangan wong cilik ini diuntungkan oleh sistem kapitalisme baru yang saat itu mulai berkembang. 

Dan mitos tentang pesugihan inilah yang hingga kini masih bertahan di masyarakat Jawa. Padahal jika kita telisik sejarahnya, pesugihan ini hanyalah mitos belaka.

***

Sumber gambar: solopos dan mapaybandung