21 December 2023

Tradisi Seren Taun untuk Menyambut Hasil Panen di Cigugur Kuningan

Masyarakat adat Cigugur, yang mendiami kaki gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan, memegang erat tradisi bernilai tinggi, yakni Seren Taun. Tradisi ini tidak hanya menjadi milik eksklusif Cigugur, tetapi juga dianut oleh komunitas adat Sunda lainnya, seperti masyarakat Baduy di desa Kanekes, masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul di Ciptagelar, dan komunitas adat Sumedanglarang di Rancakalong.

Mengenal Seren Taun

Puncak upacara Seren Taun diadakan setiap tanggal 22 Rayagung dalam kalender Sunda. Bulan Rayagung, yang merupakan bulan kedua belas dalam kalender Sunda, menandai akhir dari tahun Saka, sistem penanggalan yang diikuti oleh masyarakat Cigugur. Seren Taun, pada dasarnya, merupakan ungkapan syukur masyarakat adat Cigugur atas hasil panen yang melimpah sepanjang setahun.

Sebelum upacara puncak, terdapat serangkaian tahapan. Pesta Dadung, misalnya, diadakan seminggu sebelum tanggal 22 Rayagung di kawasan Situ Hyang. Pesta ini bukan hanya sekadar ritual membuang hama, tetapi juga wadah doa keselamatan bagi petani, gembala, serta sawah dan ternak. Di penghujung Pesta Dadung, petani merayakan keberhasilan mereka dengan menari, mengekspresikan kegembiraan setelah satu tahun berjuang di ladang.

Sehari setelah Pesta Dadung, Balong Girang, sebuah prosesi seni, menandai awal rangkaian hiburan sebelum puncak Seren Taun. Alunan musik dari tepukan tangan di air kolam memulai acara ini, menjadi bagian dari persiapan menyambut puncak perayaan.


Ragam Seni Tradisional dalam Seren Taun

Selain Pesta Dadung dan Balong Girang, berbagai pagelaran seni tradisional dan pameran kesenian dari berbagai masyarakat adat diselenggarakan untuk menyambut upacara puncak Seren Taun. Dialog dan seminar yang menyoroti isu-isu kemasyarakatan, keagamaan, dan budaya, khususnya diskriminasi terhadap masyarakat adat di Indonesia, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan ini.

Sehari sebelum tanggal 22 Rayagung, pagelaran seni tari Badaya Nyi Pwah Aci Sang Hyang Sri dipertunjukkan oleh para wanoja Cigugur. Tarian ini dipersembahkan untuk Dewi Sri, yang diyakini sebagai dewi padi dalam mitologi masyarakat Sunda.

Pada tanggal 22 Rayagung, Seren Taun mencapai puncaknya. Dimulai dengan bunyi gong renteng sebagai tanda dimulainya prosesi, masyarakat adat Cigugur bersiap menyambut tahun baru dengan sukacita. Musik kecapi dan suling khas Pasundan mengiringi lagu rajah bubuka dan puisi yang menjelaskan makna dari tradisi Seren Taun.

Setelah itu, perayaan dilanjutkan dengan pertunjukan seni tari Buyung, tarian khas Cigugur yang mencerminkan kemanunggalan manusia dengan bumi. Seni pertunjukan angklung buncis oleh pemuda Cigugur dan pertunjukan angklung khas suku Baduy dari Kanekes turut menghiasi perayaan tersebut.


Klimaks Seren Taun: Ngajayak dan Penumbukan Padi

Momen puncak Seren Taun ditandai dengan upacara ngajayak, di mana muda-mudi Cigugur membawa hasil bumi dalam wadah anyaman bambu. Mereka bergerak menuju ruang Pendopo Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, tempat musyawarah adat masyarakat Cigugur berlangsung. Di sana, mereka mempersembahkan hasil bumi kepada tokoh adat, tokoh masyarakat Kuningan, pejabat pemerintahan, tokoh agama, dan tokoh nasional yang diundang khusus.

Sementara itu, kaum ibu dan bapak menuju tempat penumbukan padi. Acara penumbukan dilakukan secara gotong royong, mencerminkan semangat kebersamaan masyarakat Cigugur. Hasilnya, 20 kwintal padi ditumbuk massal, sedangkan 2 kwintal lainnya disimpan sebagai cadangan logistik.

Seren Taun bukan hanya perayaan panen semata, tetapi juga manifestasi dari nilai-nilai gotong royong, kearifan lokal, dan kecintaan terhadap seni tradisional. Sebuah upacara yang mengukuhkan identitas budaya masyarakat adat Cigugur dalam perpaduan antara syukur, seni, dan solidaritas.