Home » , , , , , , » Budaya Cap Go Meh di Cina Benteng Tangerang

Budaya Cap Go Meh di Cina Benteng Tangerang

Sejak abad ke-15, riwayat Sungai Cisadane sebagai penjelmaan bisu dari percampuran masyarakat Tionghoa daratan dengan penduduk lokal di Kota Tangerang menciptakan sebuah kisah yang penuh warna dan keunikan. Kelompok peranakan Tionghoa yang tinggal di Tangerang dikenal sebagai Cina Benteng, sebuah julukan yang merujuk pada bangunan-bangunan pertahanan yang dibangun oleh Belanda di tepi Cisadane untuk melindungi diri mereka dari ancaman pasukan Kesultanan Banten.

Daya tarik dan keunikan dari masyarakat Cina Benteng tampak dalam kemampuannya untuk secara turun-temurun bersatu dengan kehidupan dan budaya lokal tanpa meninggalkan akar tradisi leluhur. Dua kelompok utama, yaitu Cina Benteng dan Cina Udik, memperkaya kehidupan masyarakat setempat dengan keberagaman budaya mereka. Meski telah terakulturasi dalam kehidupan sehari-hari, rumah-rumah mereka masih menjadi tempat persembahyangan yang kental dengan aroma tradisi, lengkap dengan meja abu atau altar nenek moyang.

Tradisi dan kepercayaan leluhur tetap dijaga dengan erat di setiap langkah kehidupan Cina Benteng di Tangerang. Acara pernikahan dan duka cita tetap diwarnai dengan tata cara khas peranakan Tionghoa, dan perayaan Tahun Baru Imlek, seperti Cap Go Meh, tetap dihiasi dengan kekhasan Cina Benteng, terutama dalam pembuatan kue bulan atau tiong ciu pia.

Sebagai wujud akulturasi budaya yang mencolok, seni musik gambang keromong menjadi representasi paling jelas dari perpaduan masyarakat Cina Benteng dan masyarakat lokal. Awalnya merupakan ungkapan seni eksklusif peranakan Tionghoa, lagu-lagu gambang keromong berkembang pesat, dan pada awal abad ke-20, mengalami transformasi menjadi karya-karya dalam bahasa Betawi. Seni ini bukan hanya mencerminkan perjalanan budaya Cina Benteng tetapi juga menjadi suatu bentuk keberlanjutan budaya yang terus berkembang di tengah-tengah masyarakat Tangerang.

Jejak sejarah kaum Cina Benteng dapat ditemukan hingga pelayaran Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah dari China. Tjen Tjie Lung, anak buah Cheng Ho, dikirim untuk mendarat di Teluk Naga, yang saat ini menjadi kecamatan di Kota Tangerang. Rombongan ini tidak hanya berbaur dengan masyarakat setempat, tetapi juga menetap dan menikah, membentuk cikal bakal masyarakat Cina Benteng sekitar tahun 1407.

Perkampungan Cina Benteng berkembang pesat, menyebar ke kawasan Pasar Baru dan Pasar Lama. Meski awalnya mirip dengan perkampungan perdagangan biasa, Pasar Lama telah menjadi titik fokus keberlanjutan budaya Cina Benteng. Klenteng Boen Tek Bio yang berdiri sejak 1684 di Pasar Lama menjadi salah satu bukti nyata keberlangsungan tradisi dan kehidupan masyarakat Cina Benteng.

Kawasan Pasar Lama, semula dikenal sebagai perkampungan perdagangan, kini telah berubah menjadi suatu pusat keberlanjutan budaya Cina Benteng. Dengan dekatnya dengan Sungai Cisadane, kehidupan masyarakat di sana masih mengusung tradisi pertanian dan perdagangan, menjaga esensi dari warisan nenek moyang mereka. 

Melalui penelusuran sejarah dan kehidupan sehari-hari masyarakat Cina Benteng di Tangerang, kita bukan hanya menyaksikan percampuran dua budaya yang berbeda, tetapi juga merasakan nilai-nilai keberagaman, toleransi, dan keharmonisan yang telah tumbuh selama berabad-abad di tepi Sungai Cisadane. Upaya pelestarian dan apresiasi terhadap warisan ini menjadi tugas bersama, agar generasi mendatang dapat terus menikmati dan memahami kekayaan kultural yang telah diwariskan oleh para leluhur Cina Benteng.


***

Gambar diambil dari: microbanten.co.id