Home » , , , , » Mengenal Tiga Warisan Budaya Tak Benda dari Kalimantan Utara

Mengenal Tiga Warisan Budaya Tak Benda dari Kalimantan Utara

Provinsi Kalimantan Utara, yang merupakan salah satu provinsi termuda di Indonesia, tidak hanya kaya akan keindahan alamnya, tetapi juga memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Baru-baru ini, tiga warisan budaya dari provinsi ini mendapatkan pengakuan resmi dengan sertifikat penetapan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Ketiganya adalah Budaya Dolop dari masyarakat Dayak Agabak, serta budaya Mamat dan Pekiban, tradisi masyarakat Dayak Kenyah. 

Dan berikut adalah gambaran singkat dari 3 tradisi tersebut:


1. Tradisi Dolop Suku Dayak Tahol

Di pedalaman Kalimantan, tepatnya di tengah-tengah hutan yang lebat, terdapat sebuah suku yang masih menjaga tradisi nenek moyang mereka dengan erat. Suku Dayak Tahol, begitu mereka dikenal, telah mengakar kuat dalam budaya dan kepercayaan mereka sejak zaman kakek-nenek moyang dahulu kala.

Asal-Usul Dolop: Memahami Kearifan Turun-Temurun

Tradisi dolop adalah warisan leluhur suku Dayak Tahol yang diperkirakan telah berlangsung sejak zaman purba. Ketika itu, agama belum dikenal, namun kepercayaan kepada Amangun, atau "Allah" dalam bahasa Indonesia, telah membimbing langkah-langkah mereka dalam menjalani kehidupan. Dolop tidak hanya sekadar sebuah ritual, tetapi menjadi jalan terakhir dalam menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat suku Dayak Tahol.

Proses Dolop: Perjalanan Menuju Perdamaian

Ritual dolop tidaklah dilakukan secara sembarangan. Ada serangkaian tahapan yang harus dilalui dengan penuh kehati-hatian dan kesepakatan antara kedua belah pihak yang bersengketa:

1. Pembukaan dan Pengarahan: Pengurus adat memimpin dalam mengarahkan dan memulai ritual. Mereka menjelaskan prosedur dan tujuan dari dolop kepada kedua pihak yang bersengketa.

2. Pemanggilan Amangun dan Roh Alam: Pengurus adat memanggil entitas spiritual seperti Amangun, penunggu gunung, sungai, langit, dan darat untuk mengadili kedua pihak yang bersengketa. Tujuannya adalah mencari kebenaran atas sengketa yang terjadi.

3. Ritual Penyelaman: Kedua pihak bersengketa diminta untuk menyelam ke dalam air. Siapa pun yang muncul pertama kali dianggap sebagai pelaku atau yang bersalah.

4. Penutupan: Setelah proses dolop selesai, rangkaian ritual adat juga berakhir. Janji perdamaian antara kedua belah pihak disepakati, di mana tidak akan ada dendam atau konflik lagi di masa mendatang.

Pengulangan dan Konsekuensi Berat

Namun, jika sengketa kembali terulang, proses dolop berikutnya akan lebih serius. Persiapan ritual pun dilakukan dengan lebih berat dan adanya tambahan elemen yang menandakan konsekuensi yang lebih berat bagi pelaku:

- Tambahannya Ritual: Beras kuning, putih, hitam, bulu ayam, kain kuning, kayu lambuku, telur, batang pisang, lombok yang dihancurkan, dan dabu arang akar tuba menjadi tambahan pada ritual dolop. Hal ini menunjukkan bahwa konsekuensi dari perbuatan yang terulang dapat sangat serius, bahkan hingga kematian.

Tradisi dolop suku Dayak Tahol adalah cermin dari kearifan nenek moyang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Meskipun zaman terus berubah, nilai-nilai kehidupan, perdamaian, dan keadilan yang terkandung dalam ritual ini tetap relevan hingga kini. Dolop bukan sekadar proses hukum, tetapi juga sebuah perjalanan spiritual dan moral yang membawa masyarakat suku Dayak Tahol menuju kedamaian dan harmoni yang mereka dambakan.


2. Upacara Mamat Suku Dayak Kenyah

Indonesia, dengan keberagaman suku bangsa dan budayanya, menjadi ladang yang subur untuk menjelajahi tradisi, adat-istiadat, dan perayaan adat yang beragam. Namun, di tengah arus perkembangan zaman yang mengancam kelestarian budaya, ada satu tradisi kuno yang masih tegar berdiri di tengah-tengah hutan Kalimantan Utara: Upacara Mamat.

Asal-Usul dan Signifikansi Upacara Mamat

Upacara Mamat adalah perayaan besar dan sakral bagi masyarakat Suku Dayak Kenyah, salah satu sub suku Dayak yang mendiami wilayah Kalimantan Utara. Berawal dari zaman nenek moyang, upacara ini digelar sebagai bentuk kegembiraan setelah meraih kemenangan dalam peperangan.

Penuh Makna dan Simbolisme

Dalam perjalanan sejarahnya, Upacara Mamat telah menjadi wadah pemujaan dan ungkapan syukur kepada dewa dan roh leluhur yang melindungi para kesatria dalam medan perang. Dalam upacara yang berlangsung selama 1-6 hari, babi disembelih sebagai sesajen, dan darahnya dijadikan penghormatan kepada para dewa dan leluhur.

Ritual dan Simbolisme Tugu Beliwang

Tugu Beliwang, atau tugu berhala, menjadi saksi bisu dari seluruh rangkaian acara. Berbentuk tiang kayu dengan ukiran yang menghiasi, tugu ini menempatkan patung Burung Enggang di puncaknya, melambangkan kedamaian dan kemenangan.

Penyucian dan Doa untuk Keselamatan Bersama

Selama upacara, penyucian diri dilakukan dengan mengoleskan darah hewan kurban ke lengan para prajurit. Doa-doa juga dilantunkan untuk keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi masyarakat kampung.

Pelestarian dan Pementasan Upacara

Meskipun tradisi berperang telah redup, Upacara Mamat tetap diadakan sebagai bagian dari pelestarian budaya. Terkadang, upacara ini dipertunjukkan pada acara budaya atau peringatan di Kalimantan Utara. Penetapan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tahun 2019 memberikan harapan agar tradisi ini tetap lestari.


3. Pekiban, Sebuah Tradisi Pernikahan Adat Kenyah Lepo Tau

Perkawinan adalah momen sakral yang tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga dan dua budaya. Di antara beragam tradisi pernikahan adat di Indonesia, Pekiban merupakan salah satu upacara adat yang khas bagi masyarakat Kenyah Lepo Tau.

Penjemputan Calon Mempelai Wanita

Pekiban dimulai dengan penjemputan calon mempelai wanita oleh keluarga calon mempelai pria. Dalam prosesi ini, sebuah sebilah parang diserahkan sebagai simbol keseriusan calon mempelai pria. Calon mempelai wanita kemudian diperkenalkan kepada keluarga calon mempelai pria dengan diiringi tarian-tarian sebagai bentuk sambutan hangat.

Prosesi Pekiban

Setelah tiba di kediaman calon mempelai pria, prosesi Pekiban pun dimulai. Dipimpin oleh seorang tua-tua kampong yang disebut "Pengulo," prosesi ini mengandalkan beberapa property simbolis seperti Tempayan, Batu Jala/Batu Ampit, dan tikar atau Pat. Tempayan melambangkan kesatuan hati, Batu Jala/Batu Ampit melambangkan keutuhan hubungan, sementara tikar melambangkan pentingnya musyawarah dalam menyelesaikan masalah.

Simbolisme Sebilah Parang

Sebilah parang, atau "Sua Fa," memiliki peran penting dalam Pekiban. Selain digunakan untuk membersihkan jalan kedua mempelai antara kedua keluarga, parang ini juga digunakan untuk memotong penghambat yang dapat merusak hubungan kekeluargaan. Kedua mempelai kemudian duduk bersama di sekitar gong kecil/tawek, memegang parang, dan menginjak parang berikutnya sebagai komitmen dalam ikatan perkawinan.

Ramalan Melalui Pemotongan Babi

Salah satu momen menarik dalam Pekiban adalah pemotongan babi. Melalui pemotongan ini, para tua-tua mencoba melihat masa depan kedua mempelai. Keyakinan menyatakan bahwa tanda-tanda tertentu pada hati babi akan menunjukkan baik buruknya nasib kedua mempelai di masa mendatang.

Siraman Penyejuk

Sebagai penutup, para tua-tua akan melakukan siraman penyejuk kepada kedua mempelai dan semua undangan yang hadir. Ini merupakan simbol penyucian dan berkat bagi kedua mempelai untuk memulai hidup baru bersama.

Pelestarian Tradisi

Meskipun zaman terus berubah, Pekiban tetap dijalankan sebagai bagian tak terpisahkan dari warisan budaya masyarakat Kenyah Lepo Tau. Pelestarian tradisi ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga sebagai penjaga keutuhan identitas budaya masyarakat Kenyah Lepo Tau.

Dengan demikian, Pekiban tidak hanya menjadi acara pernikahan adat biasa, tetapi juga simbol keberanian, kesetiaan, dan komitmen dalam membangun hubungan yang langgeng dan harmonis.


Kesimpulan

Dengan pengakuan atas Budaya Dolop, Mamat, dan Pekiban sebagai Warisan Budaya Tak Benda, masyarakat Kalimantan Utara memiliki tanggung jawab yang besar untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya tersebut. Langkah-langkah konkret seperti dokumentasi, pendidikan, dan promosi budaya menjadi penting untuk memastikan bahwa tradisi-tradisi ini tetap hidup dan berkembang di tengah arus modernisasi. Melalui upaya bersama antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya, Kalimantan Utara dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam melestarikan kekayaan budaya bangsa.