Bukan asli Bali, bukan persis Jawa, dan bukan pula persis Melayu. Tetapi Lombok yang lain, yang bertembang mocopat, bersyair Melayu, dan berakapela dalam sebuah cepung. Demikian penggambaran secara gamblang tentang kesenian tradisional Ciloka (atau Cilokaq) yang masih tumbuh dan hidup di tengah masyarakat Sasak, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ciloka berasal dari kata “seloka”, yang dalam bahasa Sasak disebut lelakaq.
Ciloka merupakan orkestra dengan vokal tunggal maupun berpasangan. Diiringi berbagai instrumen gesek, tiup, petik, dan pukul—seperti biola, seruling, saron, rerincik, jidor, mandolin, gendang, dan petuk—Ciloka tampil meriah.
Menurut penjelasan Kepala Taman Budaya Sasak, Lalu Prima Wiraputra, Ciloka berkembang seiring pengaruh Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) di Lombok. Kerajaan Gowa menguasai Kerajaan Selaparang pada tahun 1640, dan pada saat yang sama Selaparang menjalin hubungan erat dengan Kerajaan Demak (Jawa). Di lain pihak, Raja Gelgel dari Bali sedang memperluas sayap kekuasaannya ke timur hingga Lombok.
Pengaruh ketiga kebudayaan itu memberi warna Melayu, Jawa, dan Bali dalam Ciloka. “Di tengah masyarakat Sasak, Ciloka merupakan bentuk ekspresi untuk menyampaikan kritik sosial dan pesan moral,” kata Lalu Prima.
Kritik sosial
Seni musik tradisional Ciloka adalah bentuk sastra suku Sasak yang dinyanyikan. Menurut Lalu Prima, pantun-pantun berisi kritik sosial biasanya menyindir kebijakan penguasa yang kurang menguntungkan atau berupa harapan masyarakat.
“Ciloka juga sangat efektif sebagai media penyadaran atau pendidikan, dengan menyampaikan pesan-pesan moral, karena bahasa yang digunakan mudah meresap ke hati masyarakat Sasak Lombok,” ucapnya.