Sejarah dan Perkembangan Debus di Banten
Pada awalnya, debus bukan hanya sekadar seni pertunjukan fisik, tetapi juga berfungsi sebagai wahana penyebaran ajaran Islam di masyarakat. Saat itu, debus menjadi semacam seni bela diri yang memadukan unsur-unsur keislaman. Namun, ketika era penjajahan Belanda melanda, debus berubah menjadi simbol perlawanan dan semangat juang rakyat Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Namun, seiring melemahnya Kasultanan Banten di bawah Sultan Rafiudin, seni debus sempat menghilang dari panggung seni. Kesenian ini baru muncul kembali pada tahun 1960-an dan kini berfungsi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Banten. Debus dikenal sebagai seni yang mempertontonkan kekuatan tubuh dalam menghadapi senjata atau benda tajam, serta pukulan benda keras. Selain debus, ada pula kesenian serupa yang dikenal sebagai Al Madad, dianggap oleh sebagian orang sebagai cikal bakal debus. Meskipun jumlah kelompok kesenian Al Madad lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok debus, namun keduanya tetap memainkan peran penting dalam melestarikan seni tradisional Banten.
Debus dan Hubungannya dengan Seni Bela Diri Silat
Debus dihidupkan dan dikembangkan di paguron, padepokan, atau sanggar silat. Menariknya, tidak semua paguron atau padepokan yang menggarap seni bela diri silat juga menggeluti seni debus. Meskipun keduanya terkait erat, namun debus merupakan satu tahapan tertentu dalam aktivitas bersilat. Setiap pemain debus pasti merupakan pesilat, tetapi tidak semua pesilat menjadi pemain debus.
Di Banten, ada tiga aliran silat utama yang cukup besar, yaitu aliran silat Cimande, Bandrong, dan Terumbu. Masing-masing aliran silat ini memberikan warna khas pada karakteristik kesenian debus di sanggar atau padepokan yang mengikutinya. Komunitas pemain debus dapat dengan mudah mengenali ciri khas dari debus Cimande, debus Bandrong, atau debus Terumbu. Setiap sanggar debus dipimpin oleh seorang guru besar atau syeh yang membawahi sekitar 20 pemain debus, termasuk pemain atraksi dan penabuh nayaga.
Perlengkapan dan Atraksi dalam Debus
Untuk tampil dalam pertunjukan debus, pemain memerlukan perlengkapan khusus. Busana pemain debus terdiri dari lomar (ikat kepala), baju kampret, dan celana pangsi. Selain itu, peralatan kesenian seperti kendang penca, patingtung, dan alat musik lainnya digunakan untuk mengiringi pertunjukan debus.
Pertunjukan debus tidak hanya sekadar memukau penonton dengan atraksi fisik, tetapi juga menyuguhkan beragam atraksi yang menantang dan unik. Beberapa atraksi debus termasuk berjalan di atas bara api, memukul bata di kepala dengan kayu, menjilat pisau yang dibakar, menorehkan pecahan botol ke badan, hingga menusuk perut dengan paku banten atau almadad. Atraksi- atraksi ini tidak hanya mencerminkan keberanian pemain, tetapi juga menunjukkan keahlian dan ketrampilan yang telah diturunkan secara turun-temurun.
Ritual dan Tahapan Pertunjukan Debus
Pentas debus idealnya dilakukan di lapangan terbuka untuk memberikan keleluasaan bagi pemain dalam melakukan atraksi. Sebelum pertunjukan dimulai, sang guru besar atau syeh melakukan ritual khusus sebagai bentuk permohonan kelancaran pertunjukan kepada Tuhan. Pertunjukan dibagi menjadi beberapa tahapan, mulai dari menyiapkan peralatan hingga menampilkan beragam atraksi debus yang semakin menantang.
Kesimpulan
Debus, sebagai bagian dari warisan seni tradisional Banten, bukan hanya sekadar pertunjukan fisik, tetapi juga mencerminkan semangat, keberanian, dan keunikan budaya masyarakat Banten. Dengan perpaduan antara seni bela diri silat dan atraksi- atraksi yang menantang, debus menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Banten dan pengunjung yang ingin menggali lebih dalam ke dalam kekayaan seni dan budaya Indonesia. Dengan demikian, debus tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga menjaga kelestarian dan identitas budaya yang kaya di Provinsi Banten.