02 February 2024

5 Tradisi di Kota Padang yang Tetap Lestari Hingga Kini

Selamat datang di kota yang memeluk kearifan lokal di tengah arus modernitas, Padang. Terletak di pusat Sumatera Barat, Padang bukan hanya sekadar destinasi wisata, namun juga suatu perpaduan harmonis antara tradisi dan kemajuan. Kota ini menonjolkan keistimewaannya dengan mempertahankan nilai-nilai budaya yang kaya, membuatnya berbeda dari kota-kota lainnya di Indonesia. Dalam perjalanan melintasi lorong-lorong bersejarah, Padang mengundang kita untuk menyelami lima tradisi yang telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari identitasnya. Meski zaman terus berubah, keberlanjutan dan kehidupan tradisional di Padang tetap eksis, menjadi pilar yang kokoh di tengah arus modernitas yang tak kenal lelah. Mari kita menyusuri keunikan dan pesona kota ini, di mana nilai-nilai warisan leluhur terus dijaga dengan penuh kebanggaan.

1. Pesta Tabuik

Pada setiap peringatan wafatnya Hussein bin Ali, cucu Rasulullah SAW, di Padang, masyarakat setempat menggelar pesta tabuik sebagai ungkapan rasa duka dan penghormatan terhadap tokoh agama tersebut. Tradisi yang telah berlangsung sejak abad ke-19 Masehi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Kota Padang. Proses perayaan pesta tabuik diawali dengan mengarak tabuik, yakni struktur kayu yang dihias indah, ke tepi Pantai Gandoriah. Keindahan dan kesakralan acara semakin terpancar dengan peserta tradisi yang kemudian melarungkan tabuik ke lautan pada tanggal 10 Muharam.

Pentingnya pesta tabuik tidak hanya terbatas pada aspek keagamaan, melainkan juga menjadi daya tarik bagi banyak wisatawan yang datang untuk menyaksikan dan mengabadikan momen ini. Pantai Gandoriah menjadi saksi bisu dari serangkaian ritual yang sarat makna dan keindahan estetika. Pesta tabuik bukan hanya sebuah acara religius, tetapi juga sebuah perhelatan besar yang memadukan elemen keagamaan, budaya, dan pariwisata di Kota Padang.

Melalui pesta tabuik, masyarakat Padang tidak hanya mengekspresikan kecintaan mereka terhadap nilai-nilai agama, namun juga memperkuat ikatan sosial dan kebersamaan. Tradisi ini menjadi salah satu perwujudan dari keberagaman budaya Indonesia yang kaya, serta menunjukkan betapa pentingnya warisan budaya dalam mempertahankan identitas dan memperkaya pengalaman wisata di kota yang penuh keunikan ini.


2. Tradisi Makan Bajamba 

Tradisi makan bajamba, yang memiliki akar sejak kedatangan Islam ke tanah Sumatera Barat, membentuk sebuah ritual unik yang diwarisi secara turun-temurun. Proses ini bukan sekadar santap bersama, melainkan suatu simbol kebersamaan dan keharmonisan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat. Pada setiap pelaksanaannya, persiapan menjadi kunci utama, di mana nasi beserta lauk-pauk yang kaya akan cita rasa, seperti gulai ayam, rendang, asam padeh daging, dan terong balado, menjadi elemen penting. 

Pandangan unik tradisi ini terletak pada cara konsumsinya. Makan bajamba dilakukan dengan cara menyantap makanan bersama-sama sambil duduk melingkar. Suasana akrab tercipta ketika satu lingkaran terdiri dari 3—7 orang, dan masing-masing peserta diharapkan untuk menyantap nasi sesuap menggunakan tangan kanan. Keberanian dalam melempar jarak dekat adalah keterampilan yang diperlukan, karena nasi yang dicampur dengan lauk-pauk harus dimasukkan ke mulut dengan penuh akurasi. Untuk mencegah butiran nasi terjatuh, tangan kiri harus tetap berada di bawah tangan kanan selama proses makan.

Tidak hanya mengedepankan tata cara makan, tradisi ini juga menekankan pada aturan posisi duduk yang harus diikuti. Laki-laki diharuskan duduk bersila tanpa membungkuk, sementara perempuan duduk bersimpuh. Setiap elemen dari tradisi makan bajamba menciptakan sebuah pengalaman yang tidak hanya lezat secara kuliner, tetapi juga menyatukan masyarakat dalam kebersamaan dan penghargaan terhadap warisan budaya yang mereka junjung tinggi. Setelah semua posisi dan aturan tertata dengan rapi, peserta harus menghabiskan makanan tanpa sisa, menegaskan bahwa tradisi ini bukan sekadar ritual makan, melainkan sebuah ungkapan cinta dan keterlibatan penuh dalam budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.


3. Tradisi Balimau

Seiring dengan mendekati bulan suci Ramadan, masyarakat Padang telah merangkai tradisi yang mengandung nilai spiritual dan sejarah yang mendalam, yaitu tradisi balimau. Sebagai suatu ritual yang diwarisi secara turun-temurun selama beberapa abad, balimau menjadi langkah awal yang diambil masyarakat sebelum memasuki bulan puasa. Ritual ini memadukan unsur spiritual dan praktis dalam upaya menyucikan diri sesuai ajaran Islam.

Balimau secara harfiah bermakna mandi menggunakan limau, atau jeruk nipis. Tradisi ini memiliki tujuan murni untuk membersihkan diri dari segala kekotoran fisik dan spiritual sebelum memasuki bulan Ramadan yang penuh berkah. Penggunaan jeruk nipis bukanlah kebetulan semata; dipercaya bahwa jeruk nipis memiliki kemampuan untuk melarutkan minyak dan keringat yang menempel di tubuh. Keunikan ini menandakan bahwa tradisi balimau tidak hanya memiliki aspek spiritual, tetapi juga mengandung kebijakan praktis untuk menjaga kebersihan tubuh.

Lebih menarik lagi, pemilihan jeruk nipis dalam tradisi ini memiliki kaitan erat dengan sejarah masa lalu, di mana sabun menjadi barang langka. Ketika akses terhadap sabun terbatas, masyarakat Padang mencari alternatif yang dapat menjaga kebersihan tubuh, dan jeruk nipis menjadi pilihan yang efektif. Dengan demikian, balimau tidak hanya menjadi ritual keagamaan, melainkan juga mengandung nuansa sejarah yang mencerminkan kebijakan adaptasi dan kreativitas masyarakat Padang dalam menjalani tradisi kebersihan sebelum memasuki bulan penuh berkah.


4. Tradisi Pacu Jawi


Dalam sejarah dan tradisi Nusantara, kita tidak hanya disuguhkan keindahan alamnya, tetapi juga diwarnai oleh ragam budaya yang unik. Salah satu tradisi yang mencuri perhatian, sebagaimana karapan sapi di Madura, adalah pacu jawi yang dapat dijumpai di daerah Padang, khususnya di Tanah Datar, dengan kisah dan ritualnya yang khas. Meski kedua tradisi ini memiliki perbedaan geografis, namun keduanya menggambarkan semangat kebersamaan dan kegembiraan yang diungkapkan melalui sebuah kompetisi seru.

Tradisi pacu jawi, yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Tanah Datar, terutama di Kecamatan Limo Kaum, Pariangan, dan Sungai Tarab. Praktik pacu jawi ini sendiri mengambil tempat di sawah berlumpur dan basah, menciptakan tantangan ekstra bagi para peserta. Keunikan dari pacu jawi tak hanya terletak pada arena berlumpur tersebut, tetapi juga pada peran joki yang harus menggigit ekor sapi untuk merangsang hewan tersebut agar berlari lebih cepat.

Pacu jawi bukan hanya tentang kompetisi kecepatan, melainkan juga merangkul nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Tradisi ini menjadi bentuk perayaan kehidupan dan kesuburan tanah, sekaligus mengajarkan nilai kebersamaan, semangat sportivitas, dan keberanian. Melalui pacu jawi, masyarakat Tanah Datar membangun dan merawat warisan budaya mereka dengan penuh kebanggaan, menjadikan tradisi ini bukan sekadar sebuah perlombaan, melainkan perayaan kehidupan yang menghadirkan keceriaan dan kehangatan di tengah-tengah kehidupan pedesaan yang masih memegang erat tradisi dan nilai-nilai luhur.


5.  Batagak Kudo-kudo

Mendirikan rumah di Padang bukan sekadar proyek pribadi, melainkan sebuah rangkaian tradisi gotong-royong yang diwujudkan dalam serangkaian langkah yang dikenal sebagai "batagak kudo-kudo." Tradisi ini bukanlah sekadar formalitas, namun merupakan praktek turun-temurun yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat setempat. Ketika tiba saatnya untuk memulai pembangunan, tuan rumah tidak hanya fokus pada konstruksi fisik, tetapi juga pada penggalangan dukungan dan kerja sama dari masyarakat sekitar.

Acara batagak kudo-kudo menjadi momen di mana tuan rumah secara resmi mengundang masyarakat setempat untuk bersama-sama terlibat dalam proses pembangunan. Tradisi ini menciptakan ikatan kuat antara tuan rumah dan tetangga, menjadikan pembangunan sebuah proyek bersama yang melibatkan seluruh komunitas. Jika pembangunan tersebut melibatkan konstruksi masjid, keunikan batagak kudo-kudo muncul ketika pengelola masjid dapat memanggil tamu dari luar kota. Hal ini mencerminkan kehangatan dan keramahan masyarakat Padang yang tidak hanya terbatas pada lingkungan lokal, tetapi juga diperluas untuk melibatkan komunitas lebih luas.

Namun, kerjasama dalam batagak kudo-kudo tidak hanya sebatas kehadiran dan partisipasi semata. Sebagai ungkapan terima kasih, tamu undangan diharapkan untuk mempersiapkan hadiah bagi tuan rumah. Hadiah tersebut mencakup perlengkapan yang diperlukan untuk membangun, mencerminkan semangat gotong-royong dan dukungan nyata dalam meraih kesuksesan pembangunan. Dengan demikian, batagak kudo-kudo bukan hanya sebuah prosesi formal, melainkan perwujudan nyata dari kebersamaan, solidaritas, dan penghargaan terhadap nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Padang.


Penutup

Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa Padang tidak hanya menjadi sebuah kota yang berkembang secara modern, tetapi juga berhasil memelihara dan mempertahankan kekayaan tradisi lokalnya. Keunikan kota ini terletak pada kemampuannya untuk tetap menghargai nilai-nilai budaya di era modern ini. Lima tradisi yang telah dijelaskan sebelumnya tidak hanya menjadi kenangan masa lalu, melainkan bagian hidup sehari-hari yang masih tetap eksis. Sebagai sebuah kota yang kaya akan kearifan lokal, Padang memberikan inspirasi bagi kota-kota lain untuk tetap memelihara dan memajukan warisan budaya mereka di tengah arus globalisasi. Semua ini menciptakan sebuah harmoni antara masa lalu dan masa kini, membuktikan bahwa keberlanjutan tradisi dapat menjadi pondasi kuat bagi perkembangan sebuah kota di masa depan.