Dalam konteks ini, benda yang dihormati dan dianggap sebagai pusat energi dalam ritual ini adalah batu. Batu bukan sekadar benda mati bagi Suku Dayak, tetapi dianggap memiliki kekuatan mistis yang dapat memberikan berkah dan perlindungan bagi pemakainya. Batu dijadikan sebagai alat untuk menajamkan peralatan pertanian, seperti parang, balayung, kapak, ani-ani, dan berbagai benda besi lainnya yang digunakan dalam proses pertanian.
Konsep ini terkait erat dengan keyakinan Suku Dayak akan adanya energi alam yang terkandung dalam setiap benda, termasuk batu. Dengan mengasah peralatan pertanian menggunakan batu, mereka percaya bahwa alat-alat tersebut akan menjadi lebih efisien dalam pekerjaannya. Kepercayaan ini juga menyiratkan hubungan simbolis antara manusia, alam, dan alat-alat pertanian sebagai bagian dari siklus kehidupan.
Selain memberikan kelancaran dalam pekerjaan pertanian, batu juga dianggap memberikan perlindungan kepada penggunanya. Suku Dayak meyakini bahwa dengan menggunakan peralatan yang telah diasah dengan batu, mereka akan terhindar dari cedera atau musibah saat bekerja di ladang. Ini mencerminkan hubungan yang erat antara manusia dengan alam, di mana mereka mengandalkan kekuatan alam untuk keselamatan dan keberhasilan dalam aktivitas pertanian mereka.
Ritual Pananan Batu bukan hanya sekadar upacara formal, tetapi juga merupakan momen penting bagi Suku Dayak untuk memperkuat ikatan dengan tradisi nenek moyang mereka. Melalui ritual ini, mereka menghormati dan mengapresiasi peran alam dan alat-alat pertanian dalam menciptakan kehidupan yang berkelanjutan dan sejahtera.
Dengan demikian, Ritual Pananan Batu tidak hanya menjadi bagian dari warisan budaya Suku Dayak, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya memelihara keseimbangan dengan alam dan menghormati sumber daya yang diberikan untuk kehidupan manusia. Itulah sebabnya, upacara ini tetap dilestarikan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Suku Dayak sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan keberlangsungan budaya mereka.