Dalam tradisi ini, ketika konflik tak dapat diselesaikan melalui musyawarah atau perdamaian, pihak-pihak yang bertikai mengadakan pertarungan di dalam sarung. Sarung, sebagai simbol khas kebangsawanan dan kehormatan, menjadi medan tempur di mana kedua belah pihak berhadapan. Seorang daeng, atau pejuang, memanggil lawannya dengan hormat untuk memasuki arena pertarungan ini.
Saat keduanya berada di dalam sarung, mereka saling berbagi senjata tradisional, yaitu badik. Badik, selain menjadi alat pertarungan, juga melambangkan kehormatan dan kewibawaan. Keduanya berjanji satu sama lain bahwa pertarungan ini akan berakhir dengan hidup atau mati, tanpa ada dosa yang diwariskan atau klaim dari pihak lain terhadap hasil pertarungan itu.
Pertarungan dalam sarung bukan sekadar bentrokan fisik, tetapi juga sebuah ujian mental dan spiritual. Dalam ruang yang sempit itu, keberanian dan keteguhan hati seseorang diuji secara maksimal. Pertarungan ini adalah bentuk paling murni dari konfrontasi, di mana tidak ada tempat untuk pengkhianatan atau keroyokan. Itu adalah bentuk terhormat dari menyelesaikan perselisihan, dengan mempertaruhkan nyawa sebagai bukti keseriusan dan keberanian.
Namun, seiring dengan kemajuan zaman dan nilai-nilai modern, ritual seperti ini telah mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis Makassar. Lebih banyak yang memilih untuk menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang lebih damai dan terhormat. Meskipun begitu, tradisi ini tetap dilestarikan sebagai bagian tak terpisahkan dari warisan budaya leluhur Sulawesi Selatan.
Sekarang, pertarungan dalam sarung lebih sering dipentaskan sebagai bagian dari seni dan budaya, di atas panggung. Ini bukan hanya pertunjukan fisik, tetapi juga sebuah penghormatan kepada tradisi dan keberanian nenek moyang. Pertunjukan ini menjadi cara bagi masyarakat Bugis Makassar untuk terhubung dengan akar budaya mereka, sambil memperingati nilai-nilai keberanian dan kehormatan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Inilah esensi dari budaya Bugis Makassar, di mana kehormatan dan harga diri tidaklah diukur oleh kekuatan fisik semata, tetapi juga oleh keberanian untuk menghadapi konflik dengan integritas dan keberanian yang sejati. Meskipun tradisi seperti pertarungan dalam sarung mungkin terlihat ketinggalan zaman bagi sebagian orang, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tetap relevan dan penting dalam memahami akar budaya dan identitas sebuah masyarakat.
***
Sumber gambar: pinterest.com