Ketuk tilu adalah salah satu
kesenian rakyat Pasundan yang sekarang ini mulai punah karena tak adanya
regenerasi dari kalangan tua kepada kalangan muda. Terlebih lagi, jenis
kesenian tradisional seperti ini memang sudah sejak puluhan tahun lalu nasibnya
terseok-seok dan kalah pamor dengan kesenian rakyat yang lebih modern seperti
organ tunggal dan sejenisnya.
Kesenian lainnya dari tatar sunda
macam jaipong atau kuda renggong, meski nasibnya juga ‘hidup segan mati tak
mau’ dengan ketuk tilu tapi masih sedikit beruntung karena pada bulan-bulan
tertentu (musim hajatan -biasanya seusai panen) untuk jaipong atau kuda
renggong ini masih ada panggilan pentas meski tak sepadat seperti semasa
kesenian ini berjaya. Terlebih lagi semenjak dua kesenian ini berasimilasi
dengan musik rakyat yaitu dangdut dan beralih rupa menjadi jaipong dangdut atau
kuda renggong dangdut, sedikit banyaknya membuat kesenian ini memiliki semacam
napas tambahan.
Memang, bila satu jenis kesenian
bercampur dengan jenis kesenian lain maka kemurnian dan orisinalitas dari
kesenian tersebut sedikit banyaknya jadi terganggu. Tapi, persoalannya memang
tak sesederhana itu, di wilayah yang sebagian besar penduduknya tidak begitu
peduli dengan kelangsungan seni dan budayanya, kreasi semacam penggabungan dua
kesenian menjadi satu demi penyelamatan dari kepunahan mutlak diperlukan,
seperti kata pemimpin jaipong Gentra Komara, bapak Cecep Jamhuri, “Saya juga
ingin rombongan seni jaipong yang saya pimpin ini hanya mementaskan jaipong
orisinil, tapi ya mau bagaimana lagi, jaipong seperti itu nggak laku, mas. Jadi
ya mau tak mau, demi kelangsungan kesenian ini saya terpaksa menggabungkannya
dengan lagu dangdut agar ada yang mengundang kami mentas, toh sinden jaipong
kami tetap mengenakan atribut-atribut baku jaipong ketika berpentas seperti
selendang, kebaya dan subang. Pokoknya selama di kepala masih ada subang maka
kami tetap jaipong.” Ujarnya sambil terkekeh.
Dan memang begitulah seharusnya.
Ini bukan persoalan murni tidak murni, melainkan lebih jauh dari itu, eksis
atau punah. Dan beruntunglah, seniman-seniman seperti pak Agus yang memiliki
kesadaran penuh terhadap kebudayaan daerahnya ini dengan kreatifitasnya
menggabungkan diri dengan musik dangdut yang tak bisa kita pungkiri sangat
digemari oleh masyarakat kita. Kalau tak bisa bikin jaipong murni, asal tak
punah jaipong dangdut pun jadilah.
Nah, semangat ‘asal tak punah,
maka jadilah’ ini yang tidak saya rasakan di kesenian ketuk tilu. Entah karena
memang tak bisa dipadukan dengan jenis kesenian lain atau bersikeras ingin
mengusung kemurnian, kesenian yang pada awal terciptanya berfungsi sebagai
upacara menyambut panen padi yang merupakan ungkapan rasa syukur terhadap Dewi
Sri ( dewi padi ) ini kian hari kian tak terdengar lagi kiprahnya.
Sebenarnya jika kita menengok ke
belakang ke saat mulai berkembangnya kesenian ini, ketuk tilu yang namanya di
ambil dari alat musik pengiringnya yaitu 3 buah ketuk ( bonang ) sebagai
pemberi pola pada irama rebab untuk memainkan lagu atau melodi, dan di tambah
dengan instrument pengiring lainnya berupa kendang indung, kendang kulinter,
kecrek dan gong pada mulanya dipentaskan untuk keperluan upacara penyambut
panen dengan urut-urutan awal mengarak seorang gadis sebagai lambang Dewi Sri
dengan iringan bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh perangkat gamelan seperti
yang saya sebut di atas dan berhenti di lapangan yang luas di mana sang gadis
yang di arak tadi kemudian duduk di semacam bale bambu dekat oncor (obor) untuk
menyaksikan para penari memainkan tarian itu toh pada akhirnya berbelok menjadi
kesenian pergaulan melalui acara joget (ngibing) antara para penari ketuk tilu
yang di sebut ronggeng dengan penontonnya.
Jadi, jika melihat dari
penjabaran di atas nyatalah kalau sejak awal perkembangannya pun ketuk tilu
sudah tak murni lagi meski hanya sebatas dari tarian upacara menjadi tarian
pergaulan. Jadi jika pada masa sekarang ketuk tilu pun ingin berasimilasi
dengan kesenian lain demi hal-hal positif macam menghindarkannya dari kepunahan
saya pikir sah-sah saja selama ciri-ciri khas dari kesenian ketuk tilu seperti
penyajian tarian tatalu arang-arang sebagai pembuka dan penutup peralihan lagu,
dinyanyikannya lagu kembang gadung yang dulu diyakini sebagaipersembahan kepada
leluhur (karuhun) agar dijauhkan dari kesalahan-kesalahan selama kesenian ini
dipentaskan, gerak jejangkungan yang diteruskan oleh gerak wawayangan oleh
ronggeng lulugu (ronggeng pembuka) sebelum munculnya ronggeng pangbarep sebagai
ronggeng primadona, ibing junggal / ibing jago dengan iringan lagu Cikeruhan,
Cijagran dan Ewag sebelum acara ngibing bersama penonton, dan lain sebagainya
tetap dipertahankan.
Kedepannya saya pribadi sebagai pecinta kebudayaan
berharap dapat menyaksikan kembali kesenian ketuk tilu ini, terlepas apakah itu
ketuk tilu orisinil ataupun ketuk tilu dangdut, ketuk tilu jaipong, ketuk tilu
genjring atau apapun selama bisa menyaksikan sendiri gerakan-gerakan khas ketuk
tilu semacam goyang , pencak, muncid, gitek, geol, cingeus, depog/ ewag, ban
karet, bajing luncat, bongbang, meulit kacang , oray -orayan, kalawit , jerete,
torondol, balik bandung, balungbang, dll, dan juga mendengarkan lagu-lagunya
yang konon sangat khas seperti erang, kagok, kaji-kaji, polostomo, golektrak,
tunggul kawung, sorong, dll. tidak sekedar dari cerita kakek nenek ketika
romantisme nostalgia mereka sedang kambuh.