Mengenang Kembali Wayang Beber

Wayang beber hanyalah satu dari sekian banyak jenis kebudayaan peninggalan masa lalu yang masih tersisa. Dari sekian jenis wayang yang sekarang masih ada, terlestarikan dan dikembangkan di masysrakat, mungkin wayang beber hanyalah sebagai pelengkap sejarah saja. Mengapa? Mungkin karena dari bentuk fisik dan ciri khasnya, sehingga wayang ini sulit untuk dapat berkembang dan bertahan seperti jenis wayang lainnya.

Wayang beber asli dan satu-satunya yang masih ada hanya terdapat di Kabupaten Gunung Kidul dan Pacitan, Jawa Timur. Dan salah satunya adalah milik Nyi Rubiyem, penduduk Desa Bejiharjo, Dusun Gelaran, Kecamatan Karangmojo, Gunung Kidul.

Bentuk fisik wayang beber ini tak lebih dari lukisan pada sebuah lembaran mirip kain kanvas dengan ukuran panjang kurang lebih 2,5 meter dan lebar 70 Cm. Kanvas itu terbuat dari lulup, semacam serat yang diambil dari batang pohon melinjo atau waru.

Karena zaman dulu belum ada kain kanvas maupun cat pabrikan seperti sekarang, maka bahan inilah satu-satunya yang dipilih. Kanvas alami itu kemudian digambari dengan pewarna warna-warni alami juga.

Hebatnya, meski wayang beber itu terbuat dari bahan serba alami, ketahanan dan keawetan lukisan itu hingga sekarang masih relatif bagus. Inilah bukti sebuah karya seniman masa lalu dengan bahan serba alami. Konon, usia pembuatannya sudah sekitar 5 abad yang lalu.

Yang hebatnya lagi, tentu saja proses pembuatannya dan cara pengawetannya yang sangat rahasia itu dan sudah diwariskan dari generasi ke generasi oleh sang empu yang telah menemukan metode atau cara ini dengan melewati laku prihatin.

Salah satu kisah dari wayang beber adalah cerita romantika perjalanan asmara Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana pada zaman kerajaan Jenggala/Kediri.

Kenapa di sebut wayang beber? Mungkin karena dalam setiap tampil atau pentas harus dengan membuka gulungan lembaran (beber : Jawa), hingga akhirnya sebutan itu melekat menjadi nama wayang yang dimaksud.

Setelah membeberkan wayangnya barulah sang dalang mengisahkan apa yang ada dalam gambar itu, lembar demi lembar hingga selesai. Setelah usai pentas, lembaran itu digulung kembali sebagaimana wayang kulit atau golek dan disimpan dalam kotak yang khusus.[]