Pada masa itu para penduduk pribumi yang menjadi pedagang memang lazimnya akan menjadi kaya raya karena ada kapitalisme global di sana. "Sunan Kudus itu kita kenal sebagai simbol bisnis berhasil, dan itu di Kudus kulon memengaruhi etos kerja orang Kudus sampai sekarang," Kata Prof. Dr. Wasino, M.Hum.
Hingga kemudian pada awal abad ke 18 datang kapitalisme Barat yakni VOC, sebuah kongsi dagang dari Belanda yang pada akhirnya menguasai wilayah-wilayah perdagangan di Indonesia dan kemudian menerapkan sistem monopoli.
Baca juga: Pesugihan Gunung Srandil di Cilacap
Dengan sistem monopoli VOC ini untuk selanjutnya terjadi sistem tanam paksa di pulau Jawa, kelas pedagang pribumi lambat laun berubah menjadi kelas buruh. Dan kaum pribumi yang punya kuasa kemudian diangkat dan mendapat gaji dari VOC. Para pembesar yang digaji oleh Belanda melalui VOC-nya ini lambat laun kita kenal menjadi kaum bangsawan atau kaum priyayi, yakni kaum pekerja yang menikmati pasilitas dan gaji dari VOC.
Dari sinilah kemudian terjadi perubahan cara pandang pada kultur orang Jawa, bahwa untuk menjadi terhormat itu harus menjadi priyayi. Sementara kegiatan berdagang dan buruh kasar adalah kelas wong cilik.
Sejarah Munculnya Istilah Pesugihan
Padahal jika kita tilik sejarahnya, yang kemudian menjadi priyayi itu pada awalnya adalah seorang pedagang, tapi setelah adanya monopoli VOC, priyayi menjadi kelas tersendiri dan menghindari kegiatan berdagang. Pada titik inilah strata kelas pedagang lenyap dan muncul strata baru yakni kelas buruh yang disebut dengan strata wong cilik.
Dari sinilah kemudian muncul pola pikir bahwa untuk menjadi terhormat itu harus menjadi priyayi. Oleh karena itu cita-cita hampir seluruh orang Jawa kala itu adalah menjadi priyayi dan bukan menjadi pengusaha. Dengan menjadi priyayi berarti akan mendapat gaji besar dan fasilitas mewah. Kalau menjadi buruh dan pedagang maka tidak akan menjadi kaya karena strata wong cilik memang tidak boleh kaya. Sejak saat itu orang jawa terbagi menjadi dua secara ekonomi. Yang pertama ekonomi barat yang menguasai pasar dan yang kedua ekonomi tradisional yang hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Fenomena wong cilik yang berubah menjadi orang kaya inilah yang kemudian mengagetkan para priyayi kala itu. Bagi mereka mustahil wong cilik menjadi kaya raya kalau hanya dari berdagang, pasti ada hal lain yang menyimpang dan itu kemudian dikaitkan dengan hal-hal supranatural.
Dari sinilah kemudian muncul istilah pesugihan yang dihembuskan oleh kalangan priyayi bahwa wong cilik yang menjadi kaya itu pastilah karena bersekutu dengan setan alias melakukan praktik pesugihan. Padahal kenyatannya adalah karena para orang kaya baru dari kalangan wong cilik ini diuntungkan oleh sistem kapitalisme baru yang saat itu mulai berkembang.
Dan mitos tentang pesugihan inilah yang hingga kini masih bertahan di masyarakat Jawa. Padahal jika kita telisik sejarahnya, pesugihan ini hanyalah mitos belaka.
***
Sumber gambar: solopos dan mapaybandung