Di Banyuwangi tradisi ini dikenal dengan istilah tradisi Suroan. Masyarakat Banyuwangi sendiri merayakannya dengan berbagai tradisi yang rutin diselenggarakan tiap tahun dengan tujuan untuk mengungkapkan rasa syukur atas limpahan rejeki yang diterima selama setahun kebelakang dan juga menjadi media memohon untuk kelimpahan rejeki di setahun mendatang.
Dalam pandang orang Jawa sendiri secara keseluruhan bulan Suro adalah bulan dimana kebaikan dan mara bahaya berjalan berdampingan. Untuk itu diperlukan semacam upacara agar yang lebih dominan hadir adalah kebaikan. Bahkan bagi orang-orang yang memiliki benda pusaka seperti keris, tombak dan benda-benda keramat lainnya maka pada malam satu Suro wajib dibersihkan dan dimandikan dengan air kembang lengkap dengan peralatan-peralatan upacara wingit seperti kemenyan, dupa dan ubo rampe lainnya. Jika tidak maka benda-benda pusaka itu akan menimbulkan tulah kepada pemiliknya.
Prosesi tradisi upacara Suroan di Banyuwangi sendiri dibagi menjadi tiga tahapan penting yakni tahap persiapan, pelaksanaan dan penutup. Pada tahap persiapan mereka akan berkumpul di balai pertemuan untuk bermusyawarah terkait pelaksanaan tradisi Suroan dan sekaligus membentuk kepanitiaan.
Untuk tahap pelaksanaannya sendiri, tradisi Suroan ini akan diawali dengan pawai keliling kampung sambil membawa gunungan yang berisi hasil bumi seperti buah-buahan, sayur mayur dan tumpengan dengan iringan musik rebana dan syair-syair berbahasa Jawa dikombinasikan dengan lantunan shalawat Nabi. Pada momen ini disamping dapat mempererat tali silaturahmi antar warga juga sebagai media untuk saling mengingatkan kepada sesama saudara Muslim untuk senantiasa berbuat baik dan lebih meningkatkan ketakwaan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Acara pawai ini dilaksanakan pada pagi hari dan akan selesai pada siang hari menjelang sore.
Dan setelah pawai acara tradisi Suroan di Banyuwangi kemudian berlanjut pada malam harinya. Pada malam hari kegiatan biasanya akan diisi dengan hal-hal yang bersifat keagamaan yang dalam hal ini adalah Agama Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas masyarakat seperti pengajian, pembacaan ayat suci AlQur'an, Istighosah, Yasinan, Tahlilan dan sebagainya. Selepas acara keagamaan berikutnya adalah acara Genduren (kenduri) yakni acara makan bersama dengan hidangan khas yang wajib ada yakni "ingkung" sebagai simbol pengorbanan yang tulus dan sekaligus ucapan syukur kepada Allah dan para leluhur atas segala limpahan rejeki selama setahun kebelakang.
Hidangan berikutnya adalah nasi tumpeng dengan berbagai lauk pauk yang mengandung simbol-simbol penuh makna. Tumpeng sendiri menyimbolkan gunung yang erat hubungannya dengan sesuatu yang bersifat spiritualitas. bentuknya yang segi tiga juga mengandung makna bahwa manusia harus senantiasa menjaga hubungan baik dengan Tuhan dan alam.
Untuk lauk pauk yang selalu ada dan begitu sarat dengan simbol-simbol adalah telur yang menyimbolkan benih kehidupan, sayur bayam yang bermakna kesejahteraan dan ketenangan hidup (adem ayem tentrem), tomat yang menyimbolkan pertaubatan, kecambah sebagai simbol manusia yang senantiasa bertumbuh, cabai merah yang mewakili keberanian dan kacang panjang yang berarti manusia harus berpikir panjang. Tumpeng yang dikelilingi banyak sekali lauk pauk ini diletakkan di atas nampan besar berbentuk bulat dari anyaman bambu yang biasa disebut tampah untuk kemudian dimakan secara bersama-sama.
Selepas makan bersama atau genduren ini kemudian acara pun selesai dan ditutup dengan do'a oleh ulama setempat.