Home » , , , , , , , , » Upacara Adat Ngayu-Ayu Sebagai Bentuk rasa Syukur Warga Sembalun Lombok

Upacara Adat Ngayu-Ayu Sebagai Bentuk rasa Syukur Warga Sembalun Lombok

Upacara Adat Ngayu-Ayu di Desa Sembalun, Lombok ini konon sudah dilaksanakan sejak 600 tahun silam dan masih terus dipertahankan hingga sekarang. Tradisi yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa syukur warga setempat atas kelimpahan berkat yang diterima baik berupa alam yang subur, dihindarkan dari segala bencana dan dijauhkan dari macam-macam penyakit ini dilaksanakan tiap tiga tahun sekali yang tepatnya pada tanggal 5, 15, 25. Tanggal-tanggal ini konon adalah mewakili jumlah lemparan ketupat yang dilakukan oleh para tokoh Sembalun di masa lalu demi menghalau iblis yang mengganggu desa.   

Dikutip dari IDNTimes.com, kata Ngayu-Ayu ini merupakan singkatan dari Ng=Ngumpul, A=Aik(13 mata Ir), Y:Yalah, U=Upacara, A=adat, Y=Yang U=Utama/pertama. Jika disatukan berarti artinya mengumpulkan 13 mata air yang utama.

Untuk prosesinya sendiri upacara adat Ngayu-Ayu ini dilaksanakan selama dua hari yang diawali dengan mengumpulkan air yang diambil dari tujuh sumber mata air yang ada di Desa Sembilun.Air yang sudah dikumpulkan itu kemudian akan disimpan di rumah Tetua Adat untuk didiamkan selama satu hari satu malam.

BACA JUGA:
Perang Topat, Tradisi Penuh Makna dari Lombok
Tiga Budaya dalam Satu Ciloka

Kemudian akan diadakan acara pementasan Tari Tandang Mendet yang bercerita tentang peristiwa penyerangan pasukan Majapahit pada zaman Budha Kortala. Dilanjut dengan Ritual Pemitan Makam yang merupakan bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang telah dimakamkan pada Lendang Luar dan Bebija Tawar yang dalam pelaksanaannya adalah untuk menghormati keberadaan sebuah sumur yang konon pada jaman dahulu airnya sangat jernih dan berbau harum. Sumur ini juga yang konon merupakan tempat Batara Guru menyampaikan ajarannya tentang tolak bala.     

Barulah kemudian di hari kedua diadakan acara penyembelihan kerbau oleh Tetua Adat yang nantinya kepala-kepal kerbau tersebut akan dikubur di beberapa titik sebagai pasak bumi atau pengaman desa dari bala bencana.

Sebagian dari daging kerbau yang telah disembelih tersebut kemudian akan dimasak oleh ibu-ibu untuk kemudian disantap bersama-sama dengan warga lainnya. Proses memasak daging kerbau secara bersama-sama ini dikenal dengan istilah Begibung.

Barulah kemudian digelar ritual adat yang disebut Mapakin yaitu sebuah prosesi ritual adat yang dilakukan oleh para tetua adat yang isinya pembacaan kitab kuno oleh para Tetua Adat. Selama Tetua Adat membaca akan diikuti dengan menurunkan bibit padi merah dari lumbung-lumbung untuk dilakukan proses penyemaian. Biasanya setelah ritual membaca kitab ini akan diteruskan dengan acara salam-salaman antara Tetua Adat dengan undangan yang hadir untuk kemudian ditutup dengan acara Perang Topat.