Home » , , , , » Prosesi Duata Suku Bajo: Ritual Keseimbangan dan Pengobatan

Prosesi Duata Suku Bajo: Ritual Keseimbangan dan Pengobatan

Suku Bajo, komunitas yang tersebar di sejumlah wilayah komunal di Wakatobi, memiliki budaya unik dan tradisi khas yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Salah satu tradisi yang masih dijaga kuat hingga saat ini adalah Prosesi Duata, sebuah ritual yang memiliki makna mendalam dalam keyakinan dan budaya Suku Bajo.

Suku Bajo: Penjaga Keseimbangan Alam di Wakatobi

Suku Bajo, juga dikenal sebagai Bajo Mola, Bajo Sampela, Lohoa, Mantigola, dan Bajo Lamanggau, tersebar di berbagai pulau di Wakatobi. Mereka dikenal sebagai penjaga keseimbangan alam di wilayah ini. Setiap subkelompok Suku Bajo memiliki peran dan tradisi adat yang berbeda, namun mereka semua menjaga keberlangsungan budaya mereka dengan penuh tekad.


Prosesi Duata: Ritual Keseimbangan dan Pengobatan

Salah satu aspek paling mencolok dari budaya Suku Bajo adalah Prosesi Duata. Duata adalah istilah yang berasal dari kata Dewata, yang dalam keyakinan mereka merupakan dewa yang turun dari langit dan menjelma dalam kehidupan manusia. Tradisi Duata menjadi puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku Bajo.

BACA JUGA:

Ritual Duata dilakukan ketika seseorang dari komunitas Bajo mengalami penyakit yang tak dapat disembuhkan dengan metode pengobatan lain, termasuk pengobatan medis. Ritual ini merupakan usaha terakhir untuk menyelamatkan orang yang sakit dan memulihkan kesehatannya.


Filosofi Duata

Filosofi di balik Duata sangat dalam. Masyarakat Bajo percaya bahwa Duata adalah bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Ritual Duata adalah upaya untuk mendekati dan memohon pertolongan dari Dewata untuk menyembuhkan yang sakit.


Rangkaian Ritual Duata

Prosesi Duata melibatkan beberapa tahap yang dilakukan oleh tetua adat dan anggota komunitas Bajo. Ritual dimulai dengan persembahan bahan-bahan ritual, seperti beras berwarna-warni yang melambangkan sifat-sifat manusia. Ada pula pembakaran dupa, daun sirih, kelapa, dan pisang untuk mengharumkan sekitar pelaksanaan ritual.

Selanjutnya, orang yang akan diobati dibawa menuju laut. Di perjalanan ini, lagu Lilligo tak pernah berhenti dinyanyikan, dan tabuhan gendang mengiringi prosesi. Di atas perahu, peserta menari Ngigal untuk memberikan semangat kepada orang yang sakit.

Prosesi melibatkan pisang dan beberapa perlengkapan tidur yang dilempar ke laut sebagai persembahan kepada saudara kembar yang tinggal di laut. Masyarakat Bajo percaya bahwa setiap kelahiran anak diikuti dengan kelahiran saudara kembar yang hidup di laut. Ketika seseorang sakit, saudara kembar yang dianggap sebagai penyebab penyakit juga harus diberi makan.

BACA JUGA:

Setelah pelarungan, orang sakit kembali ke tempat semula untuk melanjutkan proses pengobatan. Ini melibatkan mandi dengan bunga pinang dan pengikatan benang di lengan yang sakit, yang konon berasal dari langit ketujuh dan membawa kekuatan penyembuhan.


Pengujian Kesembuhan

Untuk menguji kesembuhan, seorang tetua adat akan menancapkan keris tepat di atas ubun-ubun orang yang sakit. Orang yang sakit diputar beberapa kali oleh tetua adat sambil membawa keris yang terhunus. Pengujian ini juga melibatkan pertarungan dua ekor ayam jantan. Jika ayam yang mewakili orang yang sakit menang, itu menandakan kesembuhan. Hal ini diikuti dengan kegembiraan dan perayaan oleh keluarga dan sanak saudara karena kesembuhan yang dicapai.


Budaya dan Penghargaan pada Penguasa Laut

Tradisi Duata tidak terbatas pada prosesi pengobatan. Suku Bajo juga menggunakannya dalam acara syukuran dan hajatan. Mereka percaya bahwa ritual ini juga merupakan penghargaan kepada penguasa laut yang disebut Mbo Janggo atau Mbi Gulli.

------

Gambar diambil dari: iniindonesiaku.com