Perkembangan nama-nama tersebut tidak merubah esensi estetika dalam tarian ronggeng, yang pada awalnya berakar di Kecamatan Langkaplancar, Mangunjaya, Padaherang, Pangandaran, dan Sidamulih. Tarian ini dianggap sebagai bentuk awal dari seni pertunjukan Ronggeng dan diyakini berasal dari daerah pegunungan Pangandaran.
Ronggeng Gunung menjadi cikal bakal dari seni pertunjukan Ronggeng, dan seiring berjalannya waktu, muncul dua bentuk lanjutan, yaitu Ronggeng Kaler dan Ronggeng Amen. Ronggeng Kaler adalah pengembangan dari Ronggeng Gunung, biasanya melibatkan dua penari dan gamelan pengiring lengkap dengan lagu-lagu kliningan.
Pertunjukan Ronggeng Kaler khusus disajikan sebagai hiburan dalam perhelatan perkawinan atau khitanan, tidak ditampilkan dalam konteks ritual. Sementara Ronggeng Amen, meskipun merupakan perkembangan dari Ronggeng Gunung, memiliki nuansa tersendiri. Awalnya disebut Ronggeng Ngamen, pertunjukan ini berkembang menjadi Ronggeng Amen. Dalam penyajiannya, Ronggeng Amen lebih mengajak penonton untuk turut menari bersama, dan lagu yang dibawakan lebih bervariasi, mencakup genre dangdut atau kliningan.
Makna mendalam terkandung dalam Tari Ronggeng Gunung, tidak hanya sebagai hiburan semata, tetapi juga menyiratkan pesan keharmonisan dan kekompakan. Dengan melibatkan banyak penari yang berposisi melingkar, setiap gerakan harus seiring irama, menciptakan keselarasan dan rasa kebersamaan. Sarendeuk saigel sabobot sapihanean, mengajarkan arti pentingnya hidup beriringan, saling menghargai, dan rukun meski berbeda pendapat.
Seiring dengan perubahan zaman, Tari Ronggeng Gunung Pangandaran tetap eksis dan menjadi bagian integral dalam tradisi hiburan masyarakat setempat. Di prosesi hajatan, event, atau syukuran, pesona Tari Ronggeng Gunung tetap menghibur dan mengajak semua yang menyaksikannya untuk merasakan keindahan tradisi yang kaya dan bermakna. Keberlanjutan dan apresiasi terhadap tarian ini menjadi kunci untuk melestarikan warisan budaya yang telah menjadi identitas Pangandaran selama bertahun-tahun.