Ketika Malin tumbuh dewasa, ia merasa bahwa kehidupan di desa mereka terlalu sederhana. Dengan tekad bulat, Malin memutuskan untuk pergi merantau bersama seorang saudagar untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Sebelum berangkat, Malin berjanji kepada ibunya, "Malin akan pulang setelah berhasil. Malin akan menjemput Ibu. Doakan Malin, ya."
Bertahun-tahun berlalu, Malin Kundang berhasil menjadi seorang pedagang yang sukses. Ia terkenal karena integritasnya dan telah menikah dengan putri seorang kepala kampung. Namun, di tengah keberhasilannya, Malin lupa akan janjinya untuk menjemput ibunya. Malah, ia berbohong kepada istrinya bahwa ayah ibunya sudah tiada.
Suatu hari, Malin dan istrinya memutuskan untuk berlayar. Cuaca di laut menjadi sangat buruk, dan nakhoda kapal memutuskan untuk berlabuh di pulau terdekat. Saat kapal merapat, Malin terkejut. "Bukankah ini kampung halamanku?" bisiknya cemas. Ia ingin memerintahkan nakhoda untuk berbalik arah, tetapi sudah terlambat.
"Suamiku... lihat! Kapal nelayan itu sedang membongkar ikan. Aku ingin sekali makan ikan segar. Ayo kita turun dan membeli ikan!" ajak istri Malin. Meski Malin berusaha menolak, istrinya tak peduli.
"Minggir... minggir... Saudagar Malin hendak lewat," teriak anak buah Malin. Tak jauh dari situ, ibu Malin yang kebetulan sedang membantu para nelayan terkesiap. "MALIN? Apakah aku tidak salah dengar?"
Dia mendekat dan melihat. Benar, itu Malin, anaknya yang telah lama pergi. "MALIN... MALIN KUNDANG anakku!" teriaknya sambil memeluk Malin erat. Malin cepat melepaskan diri dari pelukan ibunya.
"Hei, kau wanita tua, siapa kau hingga berani memanggilku sebagai anakmu?" teriak Malin lantang. Ibu Malin terkesiap mendengar ucapan Malin. Istri Malin berusaha menengahi keadaan. "Wahai Ibu, apakah Ibu bisa membuktikan bahwa Malin benar-benar anak Ibu?" tanyanya dengan santun.
Ibu Malin kemudian menyebutkan bekas luka di tangan Malin yang didapatnya saat masih kecil. Itu adalah luka yang diperoleh Malin akibat dipatuk ayam tetangga. Istri Malin teringat, memang ada bekas luka tersebut di tangan suaminya.
"Suamiku, mengapa kau mengingkari ibumu sendiri?" tanyanya dengan sedih. Malin tak peduli. Dia tetap tak mengakui ibunya dan mengajak istrinya untuk meninggalkan tempat itu. Ibu Malin terus meratap, dan tepat pada saat itu, hujan turun deras sekali. Petir menggelegar dan angin bertiup kencang.
Tiba-tiba, duarrr... petir menyambar tepat di kaki Malin. Kaki Malin mendadak kaku dan keras seperti batu. Malin amat ketakutan. Dia sadar bahwa dia telah berdosa pada ibunya. "Ibu, ampuni aku. Tolong selamatkan aku," teriaknya. Ibu Malin berusaha menolong, tetapi terlambat.
Tubuh Malin mengeras menjadi batu. Konon, batu yang menyerupai bentuk Malin Kundang masih dapat ditemui di sebuah pantai bernama Aia Manih, di sebelah selatan Kota Padang, Sumatera Barat. Legenda Malin Kundang menjadi pelajaran bagi mereka yang melupakan bakti kepada orang tua dan ingkar janji.