Dalam bahasa Bugis, Mappalili diartikan sebagai tanda dimulainya masa tanam. Ritual ini tidak hanya menjadi permulaan teknis bagi petani, tetapi juga sebuah peristiwa budaya yang menghubungkan generasi dengan leluhur mereka. Dipimpin langsung oleh Puang Matoa, gelar bagi pimpinan bissu, sebuah kelompok khas di Pangkep, Mappalili menjadi salah satu momen yang paling dinantikan oleh masyarakat setempat.
Mappalili bukanlah semata-mata ritual kosong. Ia terdalamkan dengan makna dan simbolisme yang kaya. Dimulai dari malam hari, para bissu, yang diamanahi sebagai pelaksana ritual, mengawali prosesi dengan matteddu arajang. Dianggap sebagai membangunkan benda pusaka, arajang adalah benda yang dihormati oleh bissu dan masyarakat sekitar. Kayu ini diyakini berasal dari langit, dan menjadi simbol kesucian dan koneksi dengan alam.
Dalam ritual maggiri, masyarakat dihadapkan dengan pemandangan yang menarik perhatian. Para bissu menunjukkan kekebalan mereka terhadap senjata tajam dengan menusukkan keris ke tubuh mereka sendiri, sambil berjalan, duduk, bahkan mengentakkan kaki dengan keras. Ini bukan hanya sekadar pertunjukan, melainkan sebuah simbol dari kekuatan spiritual dan ketangguhan batin yang dimiliki oleh bissu.
Pada hari puncak Mappalili, yang disebut Makecce-kecce, masyarakat Segeri berdiri di depan rumah masing-masing, siap dengan ember-ember berisi air untuk menyiram rombongan bissu yang melintas. Tradisi ini tidak hanya menggambarkan keramahan dan kegembiraan masyarakat Segeri, tetapi juga simbol dari harapan akan kesuburan dan kelimpahan hasil panen yang akan datang.
Prosesi kemudian dilanjutkan menuju sawah di Kelurahan Bawasalo, di mana ritual majori, atau menggaris tanah di persawahan, dilakukan. Di sini juga, ritual maccera, menyembelih ayam sebagai simbol kesyukuran, menandai dimulainya persiapan turun sawah. Puang Matoa kembali memimpin ritual maggiri di sawah, menandai komitmen dan kesiapan spiritual dalam menghadapi tantangan masa tanam yang akan datang.
Kepulangan Puang Matoa disambut hangat oleh masyarakat, yang siap menyiram semua orang yang melintas di jalan itu sebagai simbol keberkahan dan harapan akan hasil panen yang melimpah. Tak hanya sekadar tradisi, Mappalili di Pangkep adalah penjaga warisan budaya yang harus dilestarikan dan dihargai.
Ahmad Djamaan, Kepala Dinas Pariwisata Pangkep, menegaskan pentingnya Mappalili sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat istiadat di Pangkep. Ritual ini tidak hanya menjadi kebanggaan bagi masyarakat setempat, tetapi juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang ingin merasakan kekayaan budaya dan spiritual Pangkep.
Mappalili bukanlah sekadar serangkaian ritual, melainkan representasi dari kearifan lokal, semangat gotong royong, dan spiritualitas yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Pangkep selama berabad-abad. Dalam setiap langkahnya, terpatri harapan akan masa depan yang gemilang, kekuatan dalam persatuan, dan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Sungguh, Mappalili adalah warisan yang tak ternilai harganya bagi masyarakat Pangkep, sebuah tanda kekuatan dan keindahan dari kultur yang terus hidup dan berkembang.