Suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal
dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum
(tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula
dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah
pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk)
yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan,
dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui
berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan
mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf
(tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang
Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan
ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd
(ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’
(hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam
Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).
Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi
yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan
baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf,
ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki
apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang
faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia
bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi
tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan Jalan Cinta
(mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang
Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai
kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan
mendalam tentang Yang Satu (Ibid).
Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat
didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan
gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana
pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan
metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di
jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias
atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut
tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku
dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan
merupakan prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel
1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara
seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan
sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).
Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang
memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau
Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas
Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan
tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang
ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang
pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam
kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula
berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa
segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu
sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.
Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah
kerohanian para wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin
memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan
pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya
menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk
Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan
cukup panjang.
Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di
dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai
kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan
dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian
terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim.
Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang
lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat
kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi
tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan
(suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas
tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau
kewujudan jasmaninya.
Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa
pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat
melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di
dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya
tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh
idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88,
“Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan
asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan
substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang
dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan
dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). Menurut Sunan Bonang, ada
tiga macam syahadat:
1. Mutawilah
(muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah
(muta`akhira)
Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia
dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana
dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku
menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). Yang ke dua ialah
syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap
“Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. Yang ketiga
adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati.
Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan
seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran
kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas,
isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak
bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang
merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana
hati itu bersih, tulus dan jujur.
Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan
ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa
saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang
menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat
dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi
dan Lamacat karya `Iraqi.
Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali, untaian
puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh
rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar
sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi
“Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).